search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Larung Laut Sebagai Gerak Menyelaraskan Kehidupan
Kamis, 18 Oktober 2018, 06:00 WITA Follow
image

Beritabali.com/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Beritabali.com, Denpasar. Larung laut atau di Bali disebut dengan pakelem, merupakan sebuah upaya atau gerak untuk menyelaraskan kehidupan. Dimana manusia wajib melakukan kerja atau berprilaku positif. Demikian disampaikan pemerhati budaya Bali Made Nurbawa ketika dikonfirmasi melalui telepon pada Rabu (17/10).

[pilihan-redaksi]
Menurut ayah satu putri ini, ngelarung adalah prosesi untuk penghormatan dan penyucian  diatas landasan keyakinan. Dimana laut merupakan tempat melebur atau mengembalikan ke unsur aslinya atau unsur yg seharusnya menurut hukum alam.

“Laut sebagai komponen alam yg menyebabkan aliran hidrologi yaitu dari air, uap, hujan dan kembali jadi air. Jadi jelas laut sangat berhubungan dengan semua makhluk termasuk manusia,” kata Nurbawa.

Nurbawa menegaskan bahwa larung konsepnya ucapan rasa syukur. Sedangkan "upacara ngelarung" itu adalah sarana atau media budaya agar manusia sadar akan  gerak alam. Dengan memahami gerak alam yg seimbang itulah baru muncul istilah Tri Hita Karana. Jadi Tri Hita Karana adalah dampak dari adanya  6 langkah positif (sad kertih).

Ketua Prodi Magister Ilmu Komunikasi, Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar Dr. I Gede Sutarya mengungkapkan bahwa sesaji larung adalah bentuk caru yg tujuannya untuk membangun keharmonisan dengan alam sesuai konsep Tri Hita Karana. Sesaji itu juga adalah bentuk komunikasi manusia dengan alam. Upacara adalah visualisasi dari komunikasi sedangkan kata-katanya adalah mantra yang diucapkan. Bentuk komunikasi ini sudah ada sejak 5000 tahun lalu

“Hasil yg muncul dari komunikasi itu adalah memahami alam dengan sesungguhnya. Dengan memahami alam, manusia menjadi peka dengan setiap getarannya sehingga mereka bisa selamat dari berbagai bentuk bencana” ujar Sutarya yang juga merupakan Pengurus Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali

Dalam Hindu disebutkan bumi memiliki jiwa yg bersumber dari Tuhan seperti juga manusia. Dalam upanisad disebutkan Brahman Tat Twam Asi yang artinya Tuhan itu adalah engkau dan aku, yang artinya kita semua termasuk bumi.

“Itu artinya jiwa-jiwa itu memiliki sifat yang sama yaitu sifat-sifat Tuhan itu sendiri. Sifat-sifat itu muncul jika kita berada pada kesadaran upanisad itu. Karena itu untuk harmonis dengan bumi kita harus berada dalam kesadaran upanisad atau yang disebut kesadaran atma. Itulah pandangan manusia nusantara dari dulu yg menyatakan bumi adalah hidup. Bumi bukan benda mati. Karena itu bumi bisa diajak berkomunikasi,” papar Sutarya.

Peneliti dari Coral Reef Alliance, Made Jayaratha menyampaikan secara filosofi dasar tujuan larung adalah memohon agar keseimbangan alam tetap terjaga dan dijauhkan dari bencana.

Sekaligus sebagai ucapan terima kasih dan permohonan agar musim-musim berikutnya panen tetap melimpah. “Jadi ujung-ujungnya semua harapan hanya akan terjadi kalau alam selalu seimbang. Contohnya, ketika penyu digunakan dalam pakelem maka kita juga diingatkan untuk tetap melestarikan penyu” ujar pria asal Tabanan tersebut.

[pilihan-redaksi2]
Larung laut juga terdapat di berbagai daerah di Indonesia dengan nama yang beragam, salah satunya di di Pantai Cilacap yang disebut dengan Upacara Adat Sedekah Laut. Dalam sebuah artikel Ilmiah berjudul “Upacara Adat Sedekah Laut di Pantai Cilacap” yang ditulis oleh Ani Suryanti dan dipublikasikan dalam Jurnal Kajian Kebudayaan, Volume 3, Nomor 2 tahun 2008 disebutkan tujuan diadakan upacara ini yaitu untuk menyampaikan rasa syukur atas rejeki yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan memohon keselamatan bagi para nelayan dan keluarganya supaya dalam menunaikan tugasnya sehari-hari sebagai nelayan tidak mendapatkan gangguan apapun.

Ani Suryanti menuliskan tradisi-adat sedekah laut bermula dari perintah Bupati Cilacap ke III Tumenggung Tjakrawerdaya III yang memerintahkan kepada sesepuh nelayan Pandanarang bernama Ki Arsa Menawi untuk melarung sesaji ke laut selatan pada hari Jumat Kliwon pada bulan Sura tahun 1875.

Sejak itu muncul adat larung sesaji ke laut atau lebih dikenal dengan istilah upacara adat sedekah laut, yang hingga saat ini masih menjadi adat atau tradisi yang dilakukan secara rutin satu tahun sekali pada hari Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon di bulan Muharram. Bahkan mulai tahun 1983 upacara sedekah laut diangkat sebagai atraksi wisata yang menarik bagi wisatawan mancanegara.

Berbagai peralatan dan perlengkapan yang digunakan dalam sedekah laut memiliki makna tersendiri. Kepala kerbau atau kepala sapi atau kepala kambing sebagai simbol kebodohan yang harus dipendam, dikubur atau dilarung jauh-jauh ke laut, artinya sebagai manusia kita harus membuang jauh-jauh sifat kebodohan dan belajar untuk mencerdaskan bangsa.

Tebu wulung atau hitam melambangkan supaya diberi rasa manis atau kebahagiaan hidup yang langgeng. Cikal atau pohon kelapa yang baru tumbuh sebagai awal atau permulaan yang baik.

Bunga atau kembang atau sekar sebagai simbol permohonan dari keharuman, berupa kembang telon (bunga mawar, melati, dan kanthil) dan kembang setaman (bunga yang ada di taman).

Bunga mawar mengekspresikan winawar kanti tembung-tembung ingkang manis, artinya dipilih dengan kata-kata yang indah dan baik.

Bunga melati sebagai lumantar kedaling lathi, atau bibir terucap melalui bibir.

Bunga kantil, atau sekantil mugi-mugi tansah kuanthil-kanthil wonten salebeting nala, semoga selalu melekat dalam hati dan mengesankan.

Sedangkan kembang setaman melambangkan sebagai umat manusia supaya saling mencintai dan mengasihi. [bbn/mul]

Reporter: bbn/mul



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami