search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Bank-Bank Top Dunia Ambruk dan Bangkrut, Ini Sebenarnya Terjadi
Minggu, 26 Maret 2023, 15:26 WITA Follow
image

beritabali.com/cnbcindonesia.com/Bank-Bank Top Dunia Ambruk dan Bangkrut, Ini Sebenarnya Terjadi

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DUNIA.

Sederet bank-bank besar dunia, dari Amerika Serikat (AS) hingga Eropa, kini tengah mengalami krisis luar biasa. Kolapsnya sejumlah bank tersebut ditenggarai oleh ketidakpastian ekonomi pascapandemi Covid-19, mulai dari kenaikan suku bunga acuan hingga kejatuhan aset kripto.

Tak pelak, sejumlah bank besar asal Amerika Serikat (AS) sedang mengalami krisis besar dalam sepekan ini. Para regulator di AS pun tengah berjuang keras menyelematkan perbankannya.

Sebuah studi baru bahkan memprediksi sebanyak 186 bank beresiko gagal dan dapat kolaps seperti yang dialami Silicon Valley Bank (SVB), meski hanya setengah dari deposan mereka yang memutuskan untuk menarik dana dari bank tersebut.

Menurut studi tersebut, prediksi ini dapat terjadi karena kenaikan suku bunga agresif Federal Reserve (The Fed) untuk meredam inflasi yang telah mengikis nilai aset bank seperti obligasi pemerintah dan sekuritas yang didukung hipotek.

"Penurunan baru-baru ini dalam nilai aset bank sangat signifikan meningkatkan kerapuhan sistem perbankan AS untuk menjalankan deposan yang tidak diasuransikan," tulis para ekonom dalam makalah yang diterbitkan di Social Science Research Network, dikutip USA Today, Senin (20/3/2023).

Tidak hanya AS, bank Eropa seperti Credit Suisse juga turut diterpa krisis yang bisa berujung pada kejatuhan bank legendaris tersebut.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh CNBC Indonesia, setidaknya ada lima bank besar yang tengah diterpa krisis.

1. Silicon Valley Bank (SVB)

Silicon Valley Bank (SVB) resmi kolaps setelah perusahaan perbankan komersial berbasis California, AS ini mengalami krisis modal dan bangkrut dalam 48 jam terakhir.

SVB kolaps akibat gagal mendapatkan suntikan modal dan penarikan dana dari nasabah dan investor. Dahsyatnya, SVB bangkrut hanya 48 jam setelah berencana mengumpulkan dana sebesar US$ 2,25 miliar atau setara Rp34,75 triliun untuk menambah modal pada Rabu pekan lalu.

Bank yang berdiri pada 1983 tersebut membutuhkan suntikan modal karena banyaknya klien mereka yang menarik simpanan. Namun, rencana ini pun gagal, karena pasar khawatir melihat kondisi keuangan bank. Hingga Kamis (9/3/2023), penarikan modal dari SVB menembus US$ 42 miliar atau Rp648,69 triliun.

Alhasil, SVB pun terpaksa menjual kepemilikan obligasi mereka senilai US$ 21 miliar atau Rp324,5 triliun untuk mendapatkan dana. Sebagian besar obligasi yang dimiliki SVB adalah surat utang pemerintah AS.

Akan tetapi, dengan kondisi saat ini, penjualan bond malah membuat bank tersebut rugi hingga US$ 1,8 miliar atau sekitar Rp27,8 triliun. SVB rugi besar karena nilai obligasi tengah jatuh. Kenaikan suku bunga agresif The Fed tersebut membuat yield atau imbal hasil surat utang melonjak tajam. Sebaliknya, harga obligasi ambruk.

2. Signature Bank

Signature Bank adalah bank yang berbasis di New York. Bank ini ditutup oleh regulator pada Minggu malam waktu AS, dua hari setelah SVB. Salah satu bank utama untuk industri kripto ini menambah daftar kegagalan bank besar di AS.

Runtuhnya Signature terjadi setelah terjadinya ketidakstabilan di pasar stablecoin. Mulai dari keruntuhan TerraUSD Mei lalu, regulator telah memperhatikan stablecoin dalam beberapa minggu terakhir.

Stablecoin yang dipatok dolar Binance, BUSD, mengalami arus keluar besar-besaran setelah regulator New York dan Securities and Exchange Commission memberikan tekanan pada penerbitnya, Paxos.

Signature Bank sendiri mulai beroperasi pada tahun 2001, baru mulai berfokus ke industri kripto dalam lima tahun terakhir. Perlahan bank tersebut mulai berkembang pesat dan setelah krisis keuangan 2008 menjadi salah satu bank kesayangan investor karena memberikan layanan dan birokrasi yang tidak rumit dan berkepanjangan.

3. Credit Suisse

Kejatuhan Credit Suisse tampak pada pergerakan saham bank besar tersebut yang merugi lebih dari seperempat nilai sahamnya pada Rabu pekan ini.

Saham Credit Suisse juga sempat terkena gonjang-ganjing setelah Saudi National Bank (SNB), bank Arab Saudi pemegang saham mayoritas, mengatakan mereka tidak akan menyuntikkan lebih banyak uang ke Credit Suisse.

SBN yang dimiliki dana abadi Arab Saudi (Public Investment Fund/PIF), diketahui memiliki 9,88% di bank Swiss tersebut. Saat ini, UBS Group memutuskan aksi akuisisi darurat Credit Suisse Group. Akuisisi ini ternyata berdampak signifikan terhadap para pemegang obligasi paling berisiko. Ini karena 'pencaplokan' tersebut bakal menghapus sama sekali nilai obligasi 'additional tier one' (AT1) milik Credit Suisse.

Menurut regulator keuangan Swiss, Finma, obligasi AT1 senilai 16 miliar franc Swiss atau setara dengan US$17,3 miliar (Rp265,55 triliun) akan sepenuhnya terkena write off (hapus buku).

Sebelumnya, Credit Suisse juga sudah diberitahu oleh Finma bahwa obligasi tersebut akan dihapus hingga bernilai nol. Obligasi AT1 banyak diterbitkan oleh bank Eropa pasca-krisis finansial 2008 demi meningkatkan modal tanpa harus menerbitkan efek ekuitas baru.

Tujuan adanya obligasi AT1 adalah untuk menambah lapisan perlindungan bagi fundamental bank.

Apabila rasio modal sebuah bank berada di bawah ketentuan, atau jika otoritas mengintervensi, obligasi AT1 bisa dihapus sama sekali dan dikonversi menjadi saham demi menahan risiko kolaps.

Intinya, ini demi mencegah terjadinya bail-out atau penggunaan dana para pembayar pajak (masyarakat) untuk menyelamatkan suatu bank.

Dibandingkan dengan obligasi biasa, obligasi AT1 berada di peringkat bawah. Jadi, ketika suatu institusi keuangan bangkrut, para pemegang obligasi tersebut pada umumnya akan mendapatkan urutan klaim di bawah obligasi biasa.

4. Silvergate Bank

Silvergate Bank ternyata mengalami nasib yang sama. Silvergate mengatakan bahwa mereka akan menghentikan operasi dan melikuidasi banknya. Baik Signature dan Silvergate adalah dua bank utama untuk perusahaan kripto. Sehingga Silvergate ikut jatuh setelah terjadinya ketidakstabilan di pasar stablecoin.

5. First Republic Bank

Daftar bank yang terancam kolaps pascakejatuhan SVB terus bertambah. Baru-baru ini sebanyak 11 bank sepakat untuk menyetor dana senilai US$ 30 atau sekitar Rp462 triliun (kurs Rp15.400) ke First Republic Bank untuk menghindarkan bank tersebut dari kebangkrutan.

Kabar itu muncul setelah saham First Republic terpukul dalam beberapa hari terakhir, dipicu oleh ambruknya SVB Jumat lalu dan Signature Bank pada akhir pekan lalu. Adapun, aksi 11 bank tersebut dimaksudkan sebagai tanda kepercayaan pada sistem perbankan.

Bank of America, Wells Fargo, Citigroup, dan JPMorgan Chase masing-masing akan menyumbang sekitar US$ 5 miliar. Sementara Goldman Sachs dan Morgan Stanley akan menyetor sekitar US$ 2,5 miliar.

Sementara itu, Truist, PNC, US Bancorp, State Street, dan Bank of New York Mellon masing-masing akan menyetor sekitar US$ 1 miliar.

"Tindakan oleh bank terbesar Amerika ini mencerminkan kepercayaan mereka pada First Republic dan bank dari semua ukuran, dan itu menunjukkan komitmen keseluruhan mereka untuk membantu bank melayani pelanggan dan komunitas mereka," kata kelompok itu dalam sebuah pernyataan, dikutip dari CNBC International.(sumber: cnbcindonesia.com)
 

Editor: Juniar

Reporter: bbn/net



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami