Cerita Kehidupan Warga di Jembrana Tahun 1950-an
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, JEMBRANA.
Kehidupan warga di Jembrana Bali tahun 1950an masih sangat sederhana. Kehidupan pada zaman itu kalau bisa digambarkan hampir mendekati kehidupan masyarakat primitif.
Berikut cerita warga Bali bernama Made Suganda yang hidup dan mengalami masa masa itu. Saya dilahirkan di suatu tempat di belahan barat Pulau Bali. Namanya Desa Sangkar Agung Jembrana pada 4 Desember 1952. Orang tua saya yakni ayah I Nyoman Kondra berasal dari Banjar Tihingan, Desa Tihingan, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung, Bali.
Mengikuti perintah penugasan sesuai dengan SK (Surat Keputusan) Dinas Pendidikan pada masa itu, maka orang tua saya memulai karirnya sebagai guru di daerah Jembrana pada 1948. Setelah bertugas selama beberapa tahun kemudian ayah saya menikahi seorang gadis bernama Ni Nyoman Ayu yang berasal dari Kabupaten Karangasem, tepatnya Banjar/Desa Tampuagan Kota Karangasem (dulu belum bernama Amlapura).
Samar-Samar dalam ingatan saya mengenang masa lalu dimana kehidupan saya dimulai dari Dusun Sangkar Agung Jembrana. Kehidupan pada jaman itu kalau bisa digambarkan hampir mendekati kehidupan masyarakat primitif. Ada beberapa alasan yang melatar belakangi pandangan saya tersebut, antara lain sebagai berikut:
1. Bangsa kita baru mendeklarasikan diri sebagai bangsa yang merdeka di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu bangsa kita baru memulai untuk menata kehidupan masyarakat dalam segala bidang.
2. Sesuai dengan umur kemerdekaan bangsa kita yang baru berumur beberapa tahun maka dampak yang dirasakan oleh masyarakat kita tidak begitu banyak di berbagai bidang seperti pendidikan, perekonomian, kesehatan, maupun fasilitas-fasilitas sosial lainnya.
3. Peradaban atau kehidupan masyarakat pada masa atau jaman ini masih sangat terbelakang karena terkendala dengan fasilitas transportasi-komunikasi dan tingkat kesejahteraan masyarakat.
kehidupan pada zaman itu sangat sederhana sekali dari segi tiga pilar yakni pangan, sandang dan papan. Pada saat itu yang namanya kebutuhan hidup seperti papan, sandang, pangan sangat minim dan jauh dari mencukupi kuantitas maupun kualitasnya. Seperti halnya pangan pada masa itu sangat memprihatinkan dimana kebanyakan masyarakat mengonsumsi nasi gaplek (ketela pohon atau singkong) dan syukur-syukur kalau bisa dicampur beras.
Bagi kalangan tertentu seperti halnya kalangan "puri" tempat dimana keluarga raja-raja bertempat tinggal kondisi ini tidaklah berlaku, karena mereka pada umumnya memiliki kekayaan berlimpah ruah.
Begitu juga sandang. Kala itu kebanyakan masyarakat baru bisa atau wajib membeli pakaian baru menjelang hari raya. Kondisi setiap harinya kalau boleh saya katakan hampir 1,2,3 untuk seterusnya selama seminggu. Jarang sekali masyarakat yang mengganti baju setiap hari dan malah ada banyak anak yang bugil alias tidak berbusana sama sekali ketika berada di rumah.
Dan tidak banyak bedanya dengan kondisi papan. Pada saat itu yang namanya rumah tempat tinggal sangat jauh dari kriteria layak. Hanya golongan tertentu yang punya rumah "kantoran", istilah jaman itu untuk rumah yang terbuat dari batu batar atau citakan (batubata yang tidak dibakar). Selebihnya kebanyakan menyerupai gubuk atau kandang, dimana lantai terbuat dari tanah, dinding dari tanah "polpolan" atau tanah yang dikepal menyerupai bola kemudian ditumpuk setinggi dinding rumahnya atau setengah badan. Kemudian di atasnya ditambah dengan "bedeg" atau anyaman bambu untuk dinding. Sedangkan kerangka atap terbuat dari bambu dan atapnya terbuat dari alang-alang atau kelangsah (daun kelapa yang dianyam).
Untuk fasilitas rumah tangga seperti halnya tempat tidur sangat jarang bisa memakai kasur, cukup dengan tikar saja. Sedangkan untuk fasilitas masak memasak masih menggunakan "bungut jalikan" atau tungku yang terbuat dari tanah dan kayu api atau kayu bakar. Sedangkan penerangan rumah hanya menggunakan lampu "sentir" dengan bahan bakar minyak tanah. Bagi golongan masyarakat tertentu mereka memakai lampu "petromak" dengan tangki minyak lebih besar dengan sistem pompa.
Dengan adanya keterbatasan fasilitas sosial terutama ketiga pilar kehidupan tersebut diatas akan sangat berpengaruh kepada pertumbuhan tingkat kesejahteraan masyarakat. Keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh pemerintah pada jaman itu sangat rendah sekali sehingga belum bisa memberikan pelayanan yang optimal kepada warganya.
Sebagai seorang pegawai pemerintah dengan profesi guru pada saat itu hampir sama dengan pegawai pemerintah lainnya. Dengan kondisi perekonomian negara yang sangat minim makan dapat dibayangkan berapa besar gaji pegawau khususnya guru pada jaman itu.
Dari segi material yang mencakup tiga pilar kebutuhan masyarakat yaitu papan, sandang dan pangan memang sangat terbatas adanya, malah cenderung minus. Namun ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian yaitu sifat toleransi, gotong royong dan jiwa persatuan yang sangat tinggi.
Mengapa saya garis bawahi atau tekankan tiga hal tersebut di atas, karena rasanya tanpa itu keluarga saya tidak mungkin bisa hidup di daerah rantau yang jauh dari kampung halaman. Dengan gaji sebagai seorang guru di Sekolah Rakyat yang lazim disebut SR pada msa itu, tidak mungkin dapat menghidupi keluarga dengan dua anak yang masih balita. (sumber: buku bali jadul)
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/psk