search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Enny Arrow, Misteri di Balik Sastra Lher
Selasa, 8 April 2014, 09:48 WITA Follow
image

beritabali.com/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, NASIONAL.

Generasi usia tengah baya tampaknya sempat mendengar—atau bahkan menggemari, Enny Arrow dan novel-novel picisan tulisannya. Tak jelas siapa sosok di balik nama itu. Kalau ditera dengan ukuran best seller dunia perbukuan saat ini, novel-novel stensilan karya Enny Arrow tentu saja bisa disebut mega best seller. Meski dijual secara sembunyi-sembunyi mengingat isinya yang ‘jorok’, peredaran buku Enny tersebar luas.

Tak ada data jelas, karena buku dicetak diam-diam, berkejar-kejaran dan main petak umpet dengan intel-intel Orde Baru. Tetapi melihat peredarannya yang menjangkau bahkan kota-kota kecil di Jawa dan Sumatera, tak pelak buku itu dicetak jauh lebih banyak di atas ukuran rata-rata satu kali cetak per judul saatb ini, sekitar 3.000 eksemplar.

Siapakah Enny Arrow sebenarnya? Tak ada data jelas siapa penulis novel-novel yang dibenci para ibu tapi diam-diam dibaca bapak-bapak di era 1980-1990-an itu. Tetapi novel-novel vulgar itu sempat dinisbahkan kepada Enny Sukaesih Probowidagdo.

Enny, yang lahir di Desa Hambalang, Bogor pada 1924 itu disebut-sebut memulai karir sebagai wartawan pada masa pendudukan Jepang. Ia disebutkan mempelajari steno di Yamataka Agency, sebelum direkrut menjadi salah satu propagandis Heiho dan Keibodan. Pada revolusi kemerdekaan, Enny disebutkan bekerja sebagai wartawan pro-republik di Bekasi.

Pada 1965, Enny Sukaesih menulis ‘Sendja Merah di Pelabuhan Djakarta’. Pada tulisannya itu ia memakai nama ‘Enny Arrow’. Kata Arrow ia dapatkan berdasar nama toko penjahit di pinggir Kalimalang, tempat ia pernah bekerja, ‘Toko Djahit Arrow’.

Hanya, ketika negara berada dalam kemelut usai G30S 1965, Enny memutuskan diri untuk berkelana. Tak jelas, apakah Enny sempat bergabung dengan Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra), lembaga seni pro-PKI, sehingga ia memutuskan keluar Indonesia. Kokon, perjalanannya itu sempat merambah Filipina, sebelum kemudian ke Hong Kong dan mendarat di Seattle, Amerika Serikat, pada 1967.

Di AS, kabarnya Enny Arrow belajar penulisan kreatif, saat gaya penulisan peraih Nobel, John Steinbeck, digemari. Disebut-sebut Enny sempat menulis untuk beberapa koran besar di AS, termasuk—kabarnya, novel ‘Mirror Mirror’ yang sempat mendapatkan pujian.

Masih dari sumber yang terverifikasi, pada 1974 dia kembali ke Jakarta dan bekerja di salah satu perusahaan asing sebagai copy writer. Saat itulah ia menulis beberapa, semisal ‘Kisah tante Sonya’. Cerita yang sebetulnya picisan itu disambut luar biasa banyak penerbit-penerbit rakyat di sekitar Pasar Senen. Sejak itulah, nama Enny Arrow berjaya.

Persoalannya, cerita di atas punya banyak cacat secara rasional. Satu hal saja, alangkah ganjilnya seseorang yang punya wawasan sastra setinggi murid Steinbeck bisa tega menulis cerita erotis sevulgar novel-novel yang beredar diam-diam di publik.

Lainnya, kalau disebutkan bahwa Enny adalah penantang karya sastra yang berpihak pada kaum pemodal—dan karena itu ia menolak distribusi via toko buku, alasan itu juga sangat lemah.

Pertama, tulisan Enny Arrow sangat rendah untuk disebut karya sastra. Ada beberapa karyanya yang ‘sok nyastra’ dengan pemakaian kata-kata ‘gemulai’ dan ‘lebay’. Misalnya pada :

Benny merasakan geli yang nyaman ketika Aningsih menggeser-geserkan rambutnya ke lehernya. Geli yang merambati pembuluh-pembuluh darahnya. Angin malam berkesiur dingin, menusuk tulang. ... Bayang-bayang pepohonan menimpa mereka.

Padahal, adalah informasi, bukan bahasa, yang merupakan batu bata penyusun sebuah tulisan yang efektif. ”Prosa adalah arsitektur, bukan dekorasi interior,” kata Ernest Hemingway.

Enny memilih mengedarkan bukunya diam-diam, karena memang buku itu tidak mungkin beredar via toko buku, karena vulgarnya.

Penulis cerita erotis itu, kemungkinan besar adalah seseorang yang memakai namanya. Entah sengaja atau tidak. Lebih mungkin lagi, kemudian ada banyak orang yang memakai nama tersebut untuk genre erotis.

 

Mungkin juga penerbit sendiri—penerbit Mawar dalam hal ini, yang otomatis menempelkan nama Enny Arrow untuk novel vulgar sejenis, siapa pun penulisnya. Enny Arrow kemudian menjadi nama generik.

 

Reporter: bbn/net



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami