Pasamuhan Sabha Pandita Tentang Teluk Benoa Fokus ke Kawasan Suci
Sabtu, 9 April 2016,
06:05 WITA
Follow
IKUTI BERITABALI.COM DI
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Pasamuhan Sabha Pandita Parisada, Sabtu (9/4), diharapkan fokus dan berkomitmen membahas soal Kawasan Suci Teluk Benoa, dan tidak terseret pada pro-kontra reklamasi Teluk Benoa.
Soal menolak ataukah menerima reklamasi Teluk Benoa, merupakan domain dari elemen-elemen masyarakat Bali di luar Sabha Pandita. Keputusan Sabha Pandita diharapkan bersifat lebih umum menyangkut Kawasan Teluk Benoa, didasarkan pada kajian-kajian yang terkait dengan kompetensi Parisada.
Demikian rangkuman pendapat beberapa Pandita Parisada yang dikonfirmasi media, terkait pelaksanaan Pasamuhan Sabha Pandita Parisada, 9 April. Pasamuhan Sabha Pandita di Jakarta pada Oktober 2015 yang lalu ‘’gagal’’ menetapkan Teluk Benoa sebagai Kawasan Suci, karena para Pandita ‘’terjebak’’ pada pro-kontra reklamasi Teluk Benoa.
Karena memang bukan bidangnya, Pasamuhan Sabha Pandita 2015 tidak bisa menelorkan Keputusan tentang Teluk Benoa, karena mereka masuk pada masalah ‘’reklamasi Teluk Benoa.’’ Padahal, soal reklamasi merupakan domain lembaga dan ahli lingkungan, kependudukan, ekonomi dan sosiologis, norma hukumnya, norma budayanya, maupun aspek politiknya.
Kebuntuan itu dijawab dengan membentuk Tim 9 Sulinggih yang mengkaji Teluk Benoa dan KSPN (Kawasan Strategis Pariwisata Nasional) diluar Pura Besakih dan sekitarnya untuk dikaji. Padahal, Sabha Walaka telah memberikan batasan dalam Keputusan Pasamuhan bulan Oktober 2015, bagaimana Sabha Pandita cukup dalam domain menetapkan Teluk Benoa sebagai Kawasan Suci.
Dasarnya, nilai filosofis Sad Kertih, Bhisama Parisada tahun 1994 tentang Kesucian Pura, serta kajian ilmuwan independen yang menginventarisasi sejumlah titik suci di kawasan Teluk Benoa maupun situs tirtayatra Ida Dang Hyang Nirarta dan Dang Hyang Astapaka di sejumlah Pura di Kawasan Teluk.
‘’Sebagai Wakil Dharma Adyaksa, kami sudah menyerap denyut hati umat Hindu, bagaimana agar titik-titik suci di Kawasan Teluk dilestarikan, dijaga kesuciannya. Domain Sulinggih tentu dalam batas norma agama, seperti filosofi Sad Kertih, Nyegara Gunung, Tri Hita Karana, juga Bhisama Parisada tahun 1994 tentang Kesucian Pura.
Jadi, tidak bisa memaksakan Sabha Pandita pada kajian lingkungan ataupun ekonomi, lalu dikaitkan dengan pro-kontra reklamasi. Namun, tidak berarti Pandita mengabaikan aspirasi umat tentang reklamasi, karena dari status Teluk Benoa sebagai Kawasan Suci, aspirasi-aspirasi umat bisa diperjuangkan untuk berdialog dan bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah,’’ kata Ida Mpu Siwa Budha Daksa Dharmita, Wakil Darma Adhyaksa Bidang Pujastawa.
Ida Mpu juga tidak sependapat dengan wacana sebagian Pandita yang menilai, Teluk Benoa sepenuhnya hak pemerintah, untuk melakukan dan membangun apa saja untuk kesejahteraan rakyat. Pemerintah tidak boleh hanya melihat kesejahteraan secara parsial dan pragmatis, karena ada nilai-nilai serta keyakinan yang harus diperhatikan dan tidak boleh dilabrak begitu saja. Dan untuk bisa duduk membahas detil seperti ini, dibutuhkan landasan berpijak yang sama, yakni menghargai keyakinan umat Hindu tentang nilai Sad Kertih yang menyucikan enam elemen alam semesta termasuk laut, loloan, campuhan,’’ kata Ida Pandita.
Hal senada dilontarkan Ida Rsi Bujangga Hari Anom Palguna, Wakil Dharma Adhyaksa Bidang Dharma Sewaka. ‘’Kalau kita fokus pada norma agama, pada konsep kesucian, pada Sad Kertih, pasti Pasamuhan Sabha Pandita akan lancer.
Norma hukum dan norma-norma yang terkait implementasinya, yang bukan kompetensi Sabha Pandita, tidak boleh dimasuki dan dijadikan ranah Sabha Pandita,’’ katanya. Sabha Walaka yang menyiapkan bahan Pasamuhan, menyatakan Rancangan Keputusan Sabha Pandita memang tentang penetapan Teluk Benoa sebagai Kawasan Suci, dan sama sekali tidak masuk dalam problem reklamasi. Walaupun, selama pembahasan di sidang komisi khususnya, serta kajian yang dijadikan referensi mencakup analisis pakar tentang ekonomi pariwisata, sosial budaya, demografi, lingkungan hidup dan lain-lainnya.
"Referensi itu memperkaya wawasan, karena filosofi dan norma agamanya tentu tidak terpisah sama sekali dengan implementasi dan realitas," kata Putu Wirata Dwikora, Ketua Sabha Walaka PHDI.
Berita Denpasar Terbaru
Reporter: bbn/rls