I Made Monog: Penari Calonarang Harus Mampu Lolos dari Cobaan Gaib
Minggu, 21 Oktober 2018,
08:45 WITA
Follow
IKUTI BERITABALI.COM DI
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Beritabali.com,Denpasar. Sebutlah seniman Bali yang dikenal memiliki ketabahan sekaligus keberanian, maka nama I Made Monog akan masuk salah satu diantaranya. Di tengah kekejaman aksi kolonial Belanda maupun Jepang laki-laki asal Banjar Kedaton, Denpasar ini tetap mampu meloloskan dirinya sebagai seniman.
[pilihan-redaksi]
Tidak tanggung-tanggung berkat keuletannya, selain menguasai tari baris dan arja Monog juga diakui sebagai seniman Calonarang yang berani. Ketika pemerintahan kolonial bercokol di tanah Bali bisa dibayangkan kehidupan dihadang berbagai kesulitan, bahkan ketakutan. Karenanya, untuk merabut ‘jatah’ sebagai penari seseorang harus beradu kiat dan siasat agar mampu lolos dari batasan-batasan yang dibuat pemerintah kolonial. Namun, Monog kecil (berusia 10 tahun) tidak peduli dengan penderitaan kala itu. Ia tetap bersikukuh dengan tekadnya, memuaskan kehidupan dengan melakoni seni.
Tidak tanggung-tanggung berkat keuletannya, selain menguasai tari baris dan arja Monog juga diakui sebagai seniman Calonarang yang berani. Ketika pemerintahan kolonial bercokol di tanah Bali bisa dibayangkan kehidupan dihadang berbagai kesulitan, bahkan ketakutan. Karenanya, untuk merabut ‘jatah’ sebagai penari seseorang harus beradu kiat dan siasat agar mampu lolos dari batasan-batasan yang dibuat pemerintah kolonial. Namun, Monog kecil (berusia 10 tahun) tidak peduli dengan penderitaan kala itu. Ia tetap bersikukuh dengan tekadnya, memuaskan kehidupan dengan melakoni seni.
Maka, Ia pun mulai belajar menari baris pada Guru Sriada di Banjar Gemeh, Denpasar. Tak puas belajar dari satu guru, ia pun belajar pada Pekak Kredek (ayah mantan Ketua STSI Denpasar, Prof Dr I Made Bandem) dan Made Kengguh asal Singapadu, Gianyar. Sebelum menempa diri pada empu seni tari yang dikenal polos dan tidak pelit berbagi ilmu ini, Monog telah melapisi dirinya dengan penguasaan tari kecak saat ia bergabung dengan Sekaa Janger Banjar Kedaton.
Menjadi pragina baginya tiada lain sebagai panggilan nurani yang dilandasi konsep ngayah (pengabdian). Memang, sebagai manusia biasa Monog tidak munafik dengan pahala kesenimanannya yang berupa materi. Jika laris atau sering dicari orang untuk keperluan pementasan, kata dia, sudah tentu akan banyak mendatangkan sekaya (penghasilan) untuk keperluan sandang dan pangan.
Visi seniman sebagai utamaning lungguh menjadikan Monog tak cepat puas lantas mandeg setelah menguasai satu jenis tari. Ia terus belajar dan belajar. Setelah belajar baris dan penasar, ia pun menekuni pementasan Calonarang yang tergolong sacral dan angker. Ini sebuah pilihan yang terbilang langka, karena seorang penari Calonarang tak cukup Cuma mengandalkan kepiawaian menari secara fisikal, tapi juga ketangguhan batin.
[oilihan-redaksi2]
Dalam bahasa sehar-hari di Bali, seorang penari Calonarang harus mampu lolos dari kepintonan, cobaan gaib. Lebih-lebih bila penari Calonarang tadi memilih peran sebagai pengrancab (patik sakti yang membunuh raja ilmu hitam) ataupun Rangda (raja ilmu hitam), sebagaimana sering dilakoni Monog.
Dalam bahasa sehar-hari di Bali, seorang penari Calonarang harus mampu lolos dari kepintonan, cobaan gaib. Lebih-lebih bila penari Calonarang tadi memilih peran sebagai pengrancab (patik sakti yang membunuh raja ilmu hitam) ataupun Rangda (raja ilmu hitam), sebagaimana sering dilakoni Monog.
Kearifan hidup demikian pula ditularkannya kepada puluhan muridnya yang tersebar mulai dari Banjar Kedaton, Tanjungbungkak, hingga Tanjung Benoa, termasuk di beberapa daerah lain di Bali. Dan, kini, di tengah-tengah kondisi fisiknya yang terus melemah, Monog hanya bisa berpesan kepada generasi penerus penekun kesenian Bali agar tetap berkesenian dengan dasar bakti. (bbn/rls/rob)
Berita Denpasar Terbaru
Reporter: bbn/rls