Membayangkan Bali Pasca "Gering" Covid-19
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Wabah, gering pandemi Covid-19, awalnya adalah soal virus. Soal kesehatan. Namun, tak terbantahkan, implikasinya menyeruak ke seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat global, tak terkecuali Bali. Mungkin ada baiknya jika kita melihat gering pandemi Covid-19 sebagai titik balik untuk merefleksikan tentang peradaban manusia. Sejarah peradaban kita dipaksa dipercepat saat seluruh umat manusia memacu diri menangani pandemi ini. Cara kita menangani wabah ini akan berdampak besar terhadap sejarah kehidupan di masa depan.
Bagi Bali, sudah tentu wabah ini menggoyahkan seluruh sendi kehidupan. Denyut nadi dan panglima ekonomi Bali ngeseksek, tergelepar menanti ajal. Begitu banyak manusia di pulau ini yang (dibuat) tergantung kepada industri pariwisata. Namun, meski menawarkan gelimang dollar, industri ini begitu rapuh. Saat seluruh pilihan alternatif kehidupan disingkirkan demi panglima pariwisata, tidak ada lagi pilihan lain sebagai sumber penghidupan. Kita seolah kehilangan daya, siasat, dan tauladan untuk memberikan ruang alternatif kehidupan lain mewarnai pemikiran kita kini.
Cara kita berpikir, bernegosiasi, mengambil kebijakan, berkebudayaan, hingga mentransmisikannya kepada generasi berikutnya tidak lepas dari bayang-bayang pariwisata. Meski gering Covid-19 yang begitu mematikan, kita masih berhalusinasi untuk mendatangkan wisatawan dan membuka pintu seluas-luasnya untuk investasi masuk ke Bali.
Jika tidak salah, Yuval Noah Harari dalam satu artikelnya, “The World After Coronavirus”, di Financial Times, 20 Maret 2020, menyentak kita dengan mengungkapkan bahwa cara kita menangani pandemi Covid-19 ini akan menunjukkan watak dasar kita sebagai manusia, pemerintah, dan bangsa macam apa kita sebenarnya.
Saat mengisi waktu merenung di masa gering ini, saya mencoba untuk membayangkan Bali pasca Covid-19. Seperti apakah wajah Bali nanti? Hal apa saja yang kemungkinan akan terjadi? Jika para leluhur telah mengajarkan kita bahwa wabah adalah momentum untuk mawas diri, berefleksi, nyiksik dewek, apakah pasca pandemi Covid-19, Bali bisa bangkit yang mengambil momentum perubahan yang lebih baik? Atau justru seperti keledai yang tidak sadar diri untuk berkubang dalam lubang kesalahan yang sama?
Titik Balik Pariwisata?
Bali sebenarnya mendapatkan beberapa "pelajaran” untuk tidak begitu tergantung terhadap industri pariwisata yang rapuh. Bom Bali 2002 dan 2005 dan beberapa travel warning pernah melanda Bali. Namun, kebanggaan menjual “pariwisata murah”, dan berbagai sanjungan sebagai “primadona tujuan pariwisata”, menutup mata dan kesadaran masyarakat dan pemerintah untuk memikirkan alternatif lain, jika suatu nanti pariwisata ambruk terkena krisis atau gangguan keamanan.
Poin pertama yang saya lihat pasca pandemi Covid-19 adalah momentum yang tepat sebagai titik balik pariwisata Bali. Saat inilah waktu yang tepat untuk memikirkan Bali pasca pariwisata. Hal ini sangat penting untuk menyusun skenario menyeluruh ketahanan lingkungan, ekonomi, sosial, kependudukan, budaya, dan seluruh aspek kehidupan manusia dan tanah Bali di masa depan secara sungguh-sungguh. Pemerintah daerah dan otoritas publik hingga ke tingkat desa sepatutnya memikirkan untuk memproteksi sumber daya alam yang masih tersisa. Lewat sumber daya alam itulah yang akan menjadi modal dasar untuk kemandirian masyarakat Bali ke depan. Diperlukan kebijakan yang betul-betul menegakkan martabat manusia Bali, bukan menggadaikannya.
Pada masa krisis seperti sekarang, menstimulus bisnis pariwisata di tengah ancaman kematian manusia adalah kesalahan besar. Masa penanganan wabah ini, pilihan kebijakan seharusnya berorientasi pada korban. Hal ini justru bertolak belakang dengan paket stimulus kebijakan senilai kurang lebih Rp.10 triliun pada sector pariwisata termasuk memberi subsidi kepada maskapai penerbangan. Hal ini jelas menyimpang jauh dari tujuan untuk memitigasi pandemi Covid-19 itu sendiri. Pelajaran pentingnya adalah segala macam kebijakan pada masa wabah ini harus terutama berorientasi pada korban, yaitu mengupayakan keselamatan dan kesehatan manusia, bukannya memberikan stimulus pada sektor pariwisata (A.Prasentyantoko, Pendemi, Resesi, dan Mitigasi, Kompas, 31 Maret 2020).
Pasca pandemi Covid-19, saatnya juga untuk menunjukkan martabat dan kemandirian Bali, yang tidak selalu menjadi obyek proyek ambisius Jakarta dan para predatornya. Saatnya galak untuk menolak investasi dari “pusat” yang hanya akan menggali kubur manusia dan tanah Bali. Sembari itu, dengan seluruh pikiran dan tenaga, seluruh elemen masyarakat Bali dan otoritas pemerintah, harus memikirkan ketahanan lingkungan, ekonomi, dan sosial budaya serta jaringan pengaman sosial yang komprehensif jika Bali dilanda krisis. Potensi bidang lain yang dipaksa minggir oleh panglima pariwisata harus dihidupkan kembali. Saya masih sangat meyakini menghidupkan pertanian pada masa digital ini masih sangat memungkinkan. Belum lagi bidang perkebunan, perikanan, dan potensi-potensi yang harus ditemukan mengantisipasi Bali tanpa pariwisata.
Kekuatan sumber daya penghidupan lokal itulah yang menggerakkan perekonomian lokal. Seperti misalnya pasar desa. Pada masa wabah krisis Covid-19 ini, LPD (Lembaga Perkreditan Desa) dan desa adat telah membuktikan dirinya sebagai lembaga yang mempunyai potensi besar untuk mengatur dan memproteksi sumber daya manusia dan sumber penghidupan masyarakat lokal. Sayangnya, sumber penghidupan local itu harus dipaksa menyingkir dengan arus utama penghidupan dari pariwisata. Kini lah saatnya untuk kembali menggali semuanya. Tentu jika itu masih ada dan tidak tergerus menjadi hotel atau villa.
Solidaritas
Fenomena kedua Bali pasca gering Covid-19 adalah potensi besar solidaritas sosial dan kemanusiaan pada komunitas desa adat, generasi muda, dan kelompok komunitas-komunitas volunterisme lainnya. Disamping itu, gerakan-gerakan volunterisme yang lahir pada masyarakat urban dan perdesaan menunjukkan modal sosial yang kuat pada masyarakat Bali. Solidaritas dan empati kemanusiaan menjadi nilai yang sangat berharga dalam masyarakat global sekarang. Bahkan Harari (2020) berani untuk membuat garis demarkasi yang jelas saat manusia menghadapi wabah virus Covid-19 ini yaitu pengawasan totaliter atau pemberdayaan warga serta nasionalisme yang terisolasi atau solidaritas global.
Namun, solidaritas sosial ini bisa bermata dua jika tidak berlandaskan pada kemanusiaan (humanism). Bahayanya adalah, solidaritas “ke dalam” akan memantik fanatisme, melihat orang lain yang bukan dari komunitasnya adalah ancaman yang merusak keharmonisan local yang mereka bayangkan. Saya melihat solidaritas lokal yang terbangun di tingkat desa dan komunitas-komunitas adalah jaring pengaman sosial sesungguhnya saat terkena musibah. Modal inilah yang sepatutnya diperluas, bukannya dipersempit menjadi parokialisme yang menyesatkan. Dikembangkan seluas-luasnya menjadi solidaritas kemanusiaan tanpa sekat.
Wabah ini juga menjadi momentum untuk mengedukasi secara bersama-sama di tengah masyarakat. Pada momen inilah kita merasakan begitu pentingnya kesehatan, nyawa manusia, dan juga begitu mulianya kita sebagai manusia untuk bersolidaritas dan mempraksiskan nilai-nilai kemanusiaan pada kehidupan sehari-hari. Tentu, bukan hanya sekadar retorika.
Pada masa-masa gering ini, menjadi sangat penting pembelajaran bersama bagi komunitas desa adat misalnya, untuk perlu memikirkan manajemen penanggulangan krisis, selain melaksanakan swadharma adat dan budaya. Ini tentu sebagai bentuk kewajiban untuk memperhatikan hak-hak warganya. Pandemi Covid-19 memberikan pelajaran berharga bahwa dengan modal sosial dan solidaritas yang dimiliki oleh desa adat dan komunitas lainnya di Bali, tidaklah mengherankan jika posisi dan suaranya selalu menjadi rebutan untuk berbagai kepentingan pragmatis ekonomi politik kekuasaan.
Pada masa mendatang, desa adat dan komunitas-komunitas sipil lainnya di Bali, bisa menilai dan menentukan sikap terhadap berbagai gelagat kooptasi dan pragmatisme dari Negara dan korporasi, yang hanya menjadikan desa adat sebagai alat. Atau justru malah memperdaya desa adat dengan jargon pemberdayaan. Pada momen inilah modal solidaritas sosial dan empati kemanusiaan, yang dimiliki desa adat dan komunitas lainnya di Bali, menjadi spirit baru di masa depan untuk melandasi gerakan-gerakan sosial melawan kerakusan negara dan investasi yang ingin menghancurkan Bali.
Kepercayaan
Satu hal yang menjadi poin penting Harari (2020), terkhusus dalam melihat masa depan dunia pasca virus Covid-19, adalah pentingnya untuk mempercayai ilmu pengetahuan, otoritas publik, dan media. Dengan demikian, warga negara akan berdaya. Masyarakat akan berusaha untuk mendapatkan informasi yang baik dan berkualitas, dan juga memiliki motivasi untuk selamat dari krisis bahkan membantu antar sesama. Kepercayaan terhadap otoritas publik, dalam hal ini adalah negara, sangatlah penting.
Dalam konteks Bali, justru inilah sumber permasalahannya. Hal ketiga yang saya lihat, di masa mendatang, kepercayaan publik terhadap otoritas Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali akan menurun drastis. Publik dikejutkan dengan kelambanan dan keragu-raguan Pemprov dalam mengambil kebijakan di tengah situasi yang tidak normal. Pada awalnya otoritas pemerintahan menerbitkan berbagai intruksi, surat edaran, himbauan, hingga pembentuan Satgas (Satuan tugas) Gotong Royong Penanganan Covid-19 Berbasis Desa Adat, yang hadir silih berganti. Surat edaran bersama dengan PHDI (Parisada Hindu Dharma) dan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali pada awalnya cukup efektif untuk membatasi keramaian pada perayaan Nyepi Saka 1942 pada 26 Maret 2020. Pembentukan Satgas dengan berbasiskan desa adat awalnya juga cukup produktif untuk mengawasi dan mencegah penularan virus hingga ke tingkat desa. Dan lagi, kesemuanya adalah sebatas administrasi surat edaran, intruksi, intruksi yang tidak membumi di lapangan, yang menggambarkan kehadiran negara dalam situasi krisis ini.
Persoalan mulai muncul ketika di tengah ketidakjelasan situasi dan terus bertambahnya jumlah positif Covid-19, Bali menjadi pintu terbuka yang menerima para warga yang masuk melalui jalur darat, laut, dan udara. Di tengah gempuran tersebut, masyarakat Bali mulai terdesak untuk memikirkan kelanjutan hidupnya. Hal ini terutama menimpa para warga yang rentan menganggur saat terjadi pemutusan kerja. Masyarakat yang terpapar menganggur dan kemiskinan berada di depan mata. Hal itu berarti pemenuhan kebutuhan pokok menjadi yang utama.
Pada momen inilah negara lamban untuk membentuk jarring pengaman sosial bagi warganya. Baru kemudian belakangan kebijakan strategis dilahirkan untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Dari rentetan situasi tersebut, secara gamblang publik dipertontonkan ketidakterbukaan, menutup-nutupi, dan kemungkinan (dugaan saya dan semoga salah) anti-pengetahuan dari negara untuk menyikapi berbagai situasi genting untuk kemudian mengambil berbagai kebijakan yang cepat dan urgen. Saya mempercayai dan meyakini banyak para ahli dalam bidang virus, kesehatan, dan bidang lainnya yang dengan sukarela memberikan masukannya kepada otoritas negara. Hal ini semata untuk secepat mungkin mencegah menyebarnya virus mematikan ini.
Seperti yang dinyatakan dengan tegas oleh Prasentyantoko (2020), pencegahan penularan virus ini harus dilakukan secara ketat serta penanganan korban harus memadai. Selain itu, implikasi langsung pada penurunan pendapatan masyarakat yang terpapar harus segera dikompensasi. Urgensi stimulus ekonomi dalam rangka memitigasi pendemi sangat tinggi mengingat semakin lama penanganan dilakukan, semakin parah kerusakan ekonomi yang ditimbulkan.
Maka dari itu, lupakan dulu mimpi untuk mengembalikkan citra pariwisata Bali. Di atas segala-galanya, kini saatnya untuk menyelamatkan nyawa anak manusia. Secepatnya.
Penulis: I Ngurah Suryawan, Antropolog dan Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Warmadewa.
Peneliti di Warmadewa Research Centre (WaRC).
Reporter: bbn/opn