Normal Baru, Kewaspadaan Baru
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Tidak hanya Pemerintah Provinsi (Pemprov) yang bersiaga penuh pada masa pandemi dan kini (katanya) menuju new normal (normal baru) ini. Tanggap darurat dan kewaspadaan itu diturunkan kepada masyarakat di tapak.
[pilihan-redaksi]
Yang diwaspadai adalah manusia yang (diduga) menyebarkan virus bernama Covid-19. Karena virus menyebar, salah satunya, karena arus perpindahan manusia, maka identifikasi dan pengawasan terhadap manusia harus diperketat. Asumsinya, arus migrasi datang ke Bali adalah potensi untuk menyebarkan virus.
Siapa pelaku arus migrasi ke Bali itu? Salah satunya adalah para migran yang bekerja dan mengadu nasibnya di Bali. Pada konteks inilah perbincangan menjadi meluas. Pengendalian yang diistilahkan duktang (penduduk pendatang), yang dicurigai membawa virus dari daerah asalnya, menjadi gencar dilakukan di Bali. Sudah jamak pemberitaan bagaimana permasalahan yang terjadi pada arus masuk ke Bali, terutama di Gilimanuk dan Padangbai.
Terutama di Gilimanuk, berbagai pemberitaan tentang lolosnya para duktang yang tidak mampu menunjukkan surat rapid test akhirnya tertangkap. Belum lagi kecurigaan kongkalikong petugas dengan para duktang dan surat rapid test palsu. Masyarakat selalu mempunyai siasat untuk mengatasi situasi.
Terbaru, sebanyak 29 duktang dari Jawa Timur langsung dipulangkan ke daerah asalnya hanya beberapa jam setelah sampai di daerah tujuannya di Kota Denpasar pada 12 Juni 2020. Para duktang ini lolos ke Bali dari Pelabuhan Gilimanuk, Kecamatan Melaya, Jembrana. Para duktang ini bermodalkan surat rapid test awal yang hasilnya negatif. Para duktang tersebut tersebut tinggal di dua kamar kos seperti pipil pindang (jejeran ikan pindang).
Tapi nasibnya apes, baru tiba dini hari pukul 03.00 di Denpasar, 29 duktang ini langsung dijemput oleh Satpol PP Kota Denpasar dan diangkut ke Pelabuhan Gilimanuk. Kecurigaan kepala desa bersama dengan Satpol PP adalah duktang ini berasal dari daerah yang terpapar Covid-19. Mereka waspada dan mengantisipasinya. Akhirnya, duktang ini kembali dipulangkan ke daerah asalnya (Nusa Bali, 13 Juni 2020).
Kewaspadaan Baru
Pada awal Juni 2020, kompleks perumahan saya dikejutkan dengan suara keras beberapa orang di sebuah rumah. Beberapa proyek pembangunan rumah tengah berlangsung. Para pekerja bangunan membuat bedeng sederhana tempat mereka tidur. Pikiran mereka, daripada mengeluarkan biaya untuk menyewa kos. Mereka memutuskan untuk berisitirahat di proyek bangunan yang dikerjakan.
Malam itu sekira pukul 20.00, lima orang pecalang mendatangi lokasi proyek rumah bertingkat tersebut. Pada saat itulah saya mendengar suara yang keras.”Mas, Mas, Mas, ayo turun semua. Pecalang desa ini. Turun, turun. ”Seminggu paling tidak tiga kali barisan pecalang desa ini mengawasi seluruh kompleks perumahan di kawasan yang saya tinggali. Mereka biasanya akan masuk ke gang-gang menggunakan motor.
Sementara di jalan utama, mobil patrol akan menunggu. Mobil patrol berguna untuk mengangkut para duktang yang bermasalah untuk dibawa ke kantor desa atau banjar. Beberapa diantara mereka akan dikenai iuran baru atau dengan terpaksa dipulangkan ke daerah asalnya. Namun kebanyakan terhenti pada administrasi semata.
Pasca transmisi lokal yang meningkat di Kota Denpasar pada minggu kedua Juni 2020, Satgas Gotong Royong yang dibentuk desa adat dan kelurahan semakin intensif bergerak. Para pecalang juga dikerahkan untuk menyisir beberapa wilayah di perumahan kami yang padat dengan duktang. Himbauannya adalah tidak menerima penghuni kos baru bahkan tamu yang berasal dari luar Kota Denpasar.
Kewaspadaan baru yang semakin meningkat ini tentu bukan hal yang baru di Bali. Cerita-cerita razia, penggerebekan seperti itu—dan mungkin banyak peristiwa lain lagi di seluruh pelosok Bali—sering kita dengar dan baca di media-media lokal di Bali pasca Bom Bali Oktober 2002. Selama hampir 2 tahun lebih, aksi yang diistilahkan oleh pemerintah daerah di Bali ini adalah “penertiban penduduk” dirasa penting untuk memulihkan keamanan di Bali.
Pasca Bom Bali, masyarakat Bali sungguh gerah dengan begitu banyaknya penduduk yang mengadu nasib ke Bali. Masyarakat Bali mulai waspada dan siaga dengan pengaruh krama tamiu (saudara tamu) yang dicurigai sebagai “penggangu keamanan dan ekonomi“. Pertarungan dalam perebutan sumber daya ekonomi menjadi pemicunya. Masyarakat Bali merasa terancam dengan kepungan para duktang ini dan merasa perlu untuk membentengi diri dengan sikap waspada dan siaga. Salah satunya adalah melakukan razia dan menyebarkan kewaspadaan baru terhadap para duktang.
Saya pernah berada di dalam barisan razia penduduk pendatang tersebut. Saya bersama kawan-kawan menerobos dingin yang menyengat berkumpul, berjongkok-jongkok, bergerombol dan menunggu perintah. Kami menggunakan kamen (kain) dan udeng (ikat kepala). Kami berkumpul di banjar (balai desa) menjelang tengah malam, pukul 23.00. Kami akan melakukan razia, sweeping karena ada situasi gawat yang mengancam dan merusak citra daerah. Para krama (warga) di salah satu wilayah di Kota Denpasaar gerah. Daerah tempat kelahiran mereka sangat identik dengan tempat pelacuran, lokalisasi.
Saya yang berada dalam rombongan tersebut melihat bagaimana sigap dan ganasnya para pecalang (satuan pengamanan tradisional Bali) bersama Hansip (Pertahanan Sipil) serta puluhan krama adat lainnya merazia tempat yang mereka curigai melakukan praktek prostitusi. Dan memang benar, dalam semak-semak pohon, berhamburanlah perempuan dan laki-laki. Mereka panik dihardik para pecalang dan krama adat yang melakukan razia menggunakan pakaian adat Bali.
Selanjutnya saya mendengar cerita, bukan hari itu saja, tapi tiga hari berturut-turut hal itu dilakukan. Dan kini meluas sampai merazia rumah-rumah penduduk disekitarnya. Memeriksa identitas diri dan menanyakan pekerjaan. Jika tidak bisa menunjukkan identitas, “penduduk liar” ini akan dibawa ke banjar, disuruh membuat KTP (Kartu Tanda Penduduk), membayar iuran surat tinggal sementara dan kembali dibebaskan.
Mengawasi (Sesama) Manusia
Jauh sebelumnya, kewaspadaan dan pengawasan (sesama) manusia telah lama tumbuh subur di Bali. Pemicunya tidak lebih dari politik curiga dan adu domba antara kelompok dan kepentingan. Masih teringat bagaimana di tahun 1980-an, terjadi pencurian pretima (simbol dewa di pura-pura Bali) yang begitu meresahkan masyarakat Hindu Bali. Pura-pura tempat mereka bersembahyang berantakan dan emas yang berada di dalam pura tersebut hilang dicuri. Masyarakat panik.
Selain penyelesaian secara ritual, merekapun waspada dan bersiaga, siapa kira-kira yang melakukannya? Setelah itulah muncul gerakan untuk mengantisipasi dan mewaspadai orang luar, para pendatang yang datang ke Bali. Politik kecurigaan dan kewaspadaan terlihat dengan munculnya papan pengumuman di gang-gang kecil di seluruh pelosok Bali; “Pemulung Dilarang Masuk”, atau spanduk “Masuk Daerah Denpasar, Lengkapi Diri Anda dengan Identitas” Bisa ditangkap, masyarakat mulai saling curiga, saling mewaspadai dan inilah awal dari bagaimana politik kewaspadaan melekat pada diri masyarakat.
Kewaspadaan siaga satu pun diberlakukan. Masyarakat Hindu Bali di beberapa daerah diwajibkan untuk mekemit (jaga malam) dan hingga kini masyarakat Bali masih bertanya-tanya siapa yang melakukan perusakan tersebut. Masyarakat Bali sedang siaga, meningkatkan kewaspadaan dan sudah pasti menaruh curiga didalamnya pada orang-orang tertentu. Entah siapa dia Politik kecurigaan dan kewaspadaan telah terpelihara dengan kuat dalam ajang-ajang yang berbeda dan dalam konteks politik yang berbeda-beda pula.
Bali menyisakan lubang menganga bagaimana politik pengawasan, kesiagaan, kecurigaan, dan kewaspadaan dan kecurigaan itu tumbuh sumbur di Pulau Seribu Pura Sejuta Ruko ini. Benar ada yang mengatakan bahwa Bali tercipta dari pengingkaran sejarah masa lalu, bagaimana kebudayaan Bali tercipta kini tidak terlepas dari pengaruh, jejak-jejak sejarah sebelumnya.
Bali paling cepat untuk bereaksi dan menghakimi orang yang dituduh komunis misalnya di tahun-tahun mencekam 1965-1969. Hingga pembantaian, penyembelihan terhadap nyama (saudara) sendiri terjadi di Bali. Penyembelihan dengan cara sederhana, dengan keringat dan alat seadanya, menewaskan kurang lebih 80.000 orang Bali adalah harga mahal yang harus dibayar atas nama kewaspadaan. Semuanya atas nama kewaspadaan, kecurigaan dan kesiagaan akan bahaya dan hantu-hantu komunisme yang tak pernah terbukti.
Berikutnya, reproduksi politik kewaspadaan dan kecurigaan itu terus tumbuh subur saat negara bertambah kuat saat orde baru berkuasa pasca 1965. Stigma sampah masyarakat bagi mantan aktivis komunis terus dipelihara dan politik kewaspadaan muncul dalam jargon Awas Bahaya Laten Komunis dan cap-cap komunis bagi anak muda yang coba kritis terhadap kekuasaan. Dan akhirnya, orang Bali melupakan dan kembali menerapkan kewaspadaan baru; perusak kebudayaan Bali.
Politik kewaspadaan baru ini terbilang mempan untuk menyumbat gerakan-gerakan kritis di Bali. Istilah yang kemudian menjadi senjata sakti untuk merangkul masyarakat Bali: Mengajegkan Bali. Ajeg dalam konteks ini berarti kuat, kokoh. Dan orang Bali berkewajiban untuk memperkuat dan memperkokoh budaya Bali. Orang Balilah yang memiliki dan menjaga kebudayaan Bali tersebut.
Konsep Ajeg ini menjadi obat dahaga di tengah kehausan masyarakat Bali untuk mencari benteng dan pertahanan baru. Benteng ini semakin hari semakin kuat dengan bertemunya korporasi media, negara, politisi, kelompok masyarakat adat, kelompok sipil/milisi/preman di dalamnya. Lebih menukik adalah pendalaman dari Ajeg Bali yang disampaikan haruslah juga Ajeg Hindu. Benteng dan wacana yang bisa lari ke esensialisme dan sudah pasti fundamentalisme agama. Sesuatu yang tidak terhindarkan meskipun dibantah habis-habisan oleh think thank Ajeg Bali sendiri. Dengan wacana inilah kemudian menciptakan politik kewaspadaan dan pengawasan baru. Siapa yang tidak Ajeg Bali? Siapa yang tidak menjaga kebudayaan Bali?
Bangunan ini berfungsi sebagai panopticon atau semacam lampu sorot yang ada pada sebuah benteng. Yang mengamati segala gerak-gerik warganya yang mungkin mencoba berpikir di luar frame-frame budaya (Ajeg Bali). Pada konteks inilah kuasa (negara) menyebar dalam berbagai bentuk dan relasinya dalam masyarakat. Kadang-kadang juga, masyarakat berbicara layaknya sebagai negara.
Budaya dan kuasa di Bali menyebar hebat dalam bentuk kehidupan sosial dan budaya sehari-hari masyarakat Bali. Dari mulai upacara ritual agama, pendidikan dengan disiplinya, pemerintahan, rumah tangga hingga institusi lokal masyarakat desa adat di Bali. Dalam ruang-ruang imaji itulah kuasa dan budaya berkontestasi, saling mengisi dalam jaring-jaring kuasanya.
Pada masa pandemi dan kini new normal (normal baru) tanpa kita sadari muncul politik kewaspadaan baru, kesiapsiagaan, pengawasan, dan kecurigaan terhadap sesama manusia (yang diduga menyebarkan virus). Pengetahuan tersebut muncul atas asumsi pengawasan yang diproduksi oleh otoritas pengetahuan dan kekuasaan. Pengetahuan atas otoritas mengawasi atau saling diawasi ini dibentuk dari disiplin.
Celakanya, sasaran pengawasan dalam sejarah politik kebudayaan Bali adalah “orang luar”, para duktang, atau orang-orang Bali yang dianggap menyimpang dari himbauan tertib harmoni kebudayaan Bali. Masa pandemi dan transisi menuju normal baru ini membuat saya merenungi munculnya produksi pengetahuan kewaspadaan baru kita terhadap sesama manusia.
I Ngurah Suryawan
Antropolog, dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan, Universitas Warmadewa
Peneliti di Warmadewa Research Centre (WaRC).
Reporter: bbn/opn