search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Mendepolitisasi Desa Adat
Minggu, 26 Juli 2020, 17:00 WITA Follow
image

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Usaha negara untuk “memberdayakan” desa adat kembali hadir. Setelah lahirnya Perda Desa Adat, kini kembali keluar kebijakan Pergub (Peraturan Gubernur) Sipandu Beradat (Sistem Pengamanan Terpadu Berbasis Desa Adat). 

[pilihan-redaksi]
Pergub Bali Nomor 26 Tahun 2020 mengatur tentang keberadaan desa adat dengan petugas keamanan tradisional pecalang dalam sistem keamanan terpadu. Kehadiran Pergub ini beradasar atas keinginan untuk memperkuat desa adat dalam menjaga wewidangannya (wilayahnya). 

Gubernur Koster mengungkapkan bahwa system pengamanan lingkungan secara terpadu berbasis desa adat diperlukan dalam menjaga kesucian dan keharmonisan alam Bali beserta isinya. Hal ini untuk mewujudkan kehidupan krama Bali yang sejahtera sekala dan niskala. 

Tujuan Pergub ini adalah untuk mewujudkan ketertiban dan keamanan serta ketentraman lingkungan, memberikan perlindungan wilayah dan krama adat, krama tamiu (tamu/pendatang) dan tamiu secara berkelanjutan. 

Programnya adalah memberikan peningkatan kemampuan pecalang, sarana-prasarana, pemberdayaan pecalang, dan pendanaannya. Sipandu Beradat ini dibentuk di desa adat, kecamatan, kabupaten/kota, dan di tingkat Provinsi Bali. 

Tugasnya adalah melakukan pengumpulan data yang berpotensi memunculkan siatuasi gangguan keamanan, ketertiban, dan kerawanan sosial. Termasuk di dalamnya adalah menganalisis laporan mengenai potensi terjadinya gangguan ketertiban, ketentraman, keamanan, dan kerawanan sosial. 

Instrumen-instrumen pengaturan terhadap desa adat memiliki sejarah yang panjang. Bahkan tidak hanya terjadi di Bali. Desa sesungguhnya tidak pernah sepi dari pengaruh luar. Ini merupakan kenyataan yang tidak hanya terjadi di desa-desa di Bali, tetapi juga desa-desa di berbagai wilayah di Asia Tenggara. 

Dalam konteks relasi seperti ini, yang paling mungkin terjadi adalah Tarik-ulur antara kekuatan internal desa dan kekuatan eksternal desa, yang dinamikanya antara lain menghasilkan berbagai fenomena perubahan social. Scoot (2009) menyatakan bahwa desa-desa di Asia Tenggara dalam sejarahnya tidak pernah sepi dari pengaruh kekuasaan kekuatan pemerintahan supra desa atau negara. 

Apakah pengaruh itu dalam bentuk kekuatan pemerintahan nasional. Masyarakat desa di pegunungan Asia Tenggara sejak lama menjalankan strategi bertahan agar bisa otonom dari pengaruh supra-desa, terutama dari berbagai pengaruh kekuasaan negara.  

Cermin Masa Kolonial

Nordholt (2006) dalam studinya tentang birokrasi kolonial mengungkapkan bahwa raja dan penguasa lokal membentuk kelompok pejabat subak yang disebut dengan sedahan untuk menangani pengelolaan system irigasi. Bersama-sama dengan mekel, para sedahan menghubungkan puri dengan rakyatnya. 

Tugas utama mekel adalah menggerakkan masyarakat untuk menggabdi para puri. Sedangkan sedahan sendiri memiliki tugas dalam pengaturan irigasi. 

Kelompok pejabat itu diambil dari orang-orang yang memiliki hubungan atau bahkan masih kerabat raja dan penguasa lokal. Artinya, para pejabat tersebut direkrut dari golongan bangsawan tinggi atau yang lebih rendah. Dengan kata lain, hanya golongan bangsawan lah yang bisa menduduki jabatan ini. 

Lewat berbagai mekanisme seperti inilah kekuatan-kekuatan supra-desa mengukuhkan kehadirannya di desa-desa di Bali. Tentu saja relasi antara desa/masyarakat desa dengan kekuasaan supra-desa berkembang dinamis. Artinya, tidak selamanya seluruh kepentingan desa atau penduduk desa terpinggirkan oleh kepentingan supra-desa. 

Kekuasaan raja-raja di Bali diekspresikan bertalian dengan kepemilikan (druwe), yang menjelma dalam sumber daya manusia yang dimobilisasi. Namun, hubungan pemguasan dan “pengiringnya” tidaklah stabil. Raja memiliki kewajiban tertentu terhadap pengikutnya dan diharapkan untuk memberikan penghargaan terhadap kesetiaan mereka. Raja tidak bisa hanya serta merta memberi perintah, namun ia harus mampu memotivasi mereka terlebih dahulu.    

Namun, seringkali terjadi desa-desa berusaha melepaskan diri dari pengaruh kekuasaan kerajaan atau penguasa lokal (puri). Hal ini terjadi terutama bila desa-desa yang bersangkutan sudah merasa diri tidak aman dan tidak terayomi lagi ketika berada di bawah pengaruh kekuasaan kerajaan atau pengusa lokal. 

Dalam situasi seperti ini, maka desa-desa yang bersangkutan akan menggeser loyalitasnya pada kekuasaan local lainnya yang berdekatan, yang dianggap akan lebih mampu memberikan keamanan dan pengayoman. Dalam konteks seperti ini, maka bisa dipahami loyalitas desa-desa terhadap kekuasaan supra-desa bisa berpindah-pindah, bergantung dinamika relasi kekuasaan politik yang ada (Gunawan, 2014: 109-110). 

Depolitisasi

Titik balik usaha mengendalikan rakyat Bali dalam desa adat terjadi pasca peristiwa Puputan Klungkung dan Badung (1906 dan 1908). Pemerintah kolonial Belanda mengubah secara drastis kebijakan kolonialnya di Bali, dan mengenalkan suatu konsep kebijakan yang disebut dengan nama Baliseering atau “Balinisasi Bali”. 

Inti dari kebijakan ini adalah membiarkan dan bahkan melindungi orang Bali untuk meneruskan pola hidupnya sendiri yang (dinilai) “indah dan bebas” dari gangguan apapun. Dalam perspektif kolonial, orang Bali dengan kehidupannya yang”unik” dipandang sebagai suatu “museum hidup” dunia yang mesti dilindungi dan dipertahankan keberadaannya. 

Untuk mengendalikan hal itu, pemerintah kolonial mulai membangun jaringan birokrasi pemerintahan sampai pada tingkat paling bawah, khususnya dengan membentuk dan mengembangkan apa yang kemudian disebut sebagai desa dinas (dienst), maka keberadaan desa lama (desa adat) sejak zaman pra-kolonial tidak diganggu gugat. Meskipun perlu dicermati, pembentukan dan pengembangan desa dinas itu sendiri sesungguhnya justru merupakan bagian dari upaya pihak kolonial untuk mengosolidasikan kekuasaannya di seluruh wilayah Bali. 

Namun, sebelum mengembangkan jaringan birokrasi di tingkat desa, pemerintah colonial ternyata telah lebih dulu menata dan memodernisir struktur politik kekuasaan pemerintahan pada tingkat daerah, atau wilayah-wilayah kerajaan Bali dengan menempatkan raja-raja Bali sebagai bagian dari administrasi pemerintahan kolonial (Nordholt, 2006: Gunawan, 2014: 119). 

Kebijakan Baliseering yang pada mulanya dikonstruksi oleh kolonial Belanda memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam membentuk pandangan banyak orang dan terutama pengambil kebijakan, yaitu tentang bagaimana masyarakat dan kebudayaan Bali yang asli itu hendaknya “jangan diganggu gugat”. Institusi tempat masyarakat dan kebudayaan Bali itu hidup dan “jangan diganggu gugat” tak lain adalah desa adat. 

Sejarah pedesaan di Bali mengalami perubahan terutama karena pengaruh kekuatan-kekuatan di luar desa. Terjadi tergeseran bandul antara kekuatan desa adat dan desa dinas, yang justru didorong oleh kekuatan-kekuatan perubahan yang berasal dari luar desa (reformasi dan kebijakan terhadap desa adat). Dalam prosesnya, kekuatan luar desa itu bukan merupakan kekuatan pendorong perubahan terus-menerus. 

Hasil dari dorongan proses perubahan di luar desa itu diharapkan mampu menginspirasi rakyat Bali dalam desa adat untuk mampu perubahan dari dalam tubuh atau struktur internal desa. Namun tentu, permasalahannya tidak sesederhana itu. Mengharapkan loyalitas ataupun perlawanan desa adat terhadap otoritas bergantung dari konteks dan relasi kekuasaan yang berlangsung. Di dalamnya, keseluruhan instrumen pengaturan, kooptasi, dan termasuk pendanaan menjadi jarring-jaring kekuasaan yang melingkupi relasi desa adat dengan kekuasaan negara.

Merujuk argumentasi Nordholt (1991), dinamika yang sangat penting diperhatikan adalah hubungan antara negara “modern” yang ingin mengembangkan kekuasaan politik dan akumulasi kapital dengan lembaga adat yang ingin mempertahankan tradisi dan otoritasnya. Pada saat rezim Orde Baru, hal yang dilakukan adalah dengan mendepolitisasi masyarakat Bali dan “menggunakan” adat dan ritual Bali yang secara tradisional untuk mensukseskan kekuasaan negara atas Bali. 

Setali tiga uang pada masa kini, replikasi perspektif Baliseering serta mendepolitisasi desa adat sedang berlangsung tanpa henti. Instrumennya adalah berbagai macam pengaturan yang menciptakan panggung sekaligus mengontrol gerak langkah desa adat. Akankah desa adat berani kritis dan melawan?  

I Ngurah Suryawan
Antropolog dan Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Warmadewa

Reporter: bbn/opn



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami