search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
“Desa Janda” di Bali Barat
Minggu, 11 Oktober 2020, 17:30 WITA Follow
image

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

“Wusan Gestok driki peteng dedet. Desane driki masih bet, cicing sai-sai pekraung,”
(Setelah gestok di sini gelap gulita. Desanya juga masih banyak semak, anjing sering melolong)

Itulah kesaksian Jro Mangku S mengenang pasca pembantaian 1965 di rumahnya yang sederhana. Ia melukiskan bagaimana Desa M—sebuah desa di ujung barat Bali—setelah Gestok (Gerakan 1 Oktober) dengan pembantaian massal anggota dan simpatisan PKI di tahun 1965 gelap gulita. 

Desa M saat itu penuh dengan semak-semak, seperti hutan, dan anjing terus-menerus menggonggong. Desa ini juga dikenal dengan sebutan “desa janda” karena hampir sebagian besar warga laki-laki di desa ini terbunuh, sehingga yang tersisa adalah perempuan-perempuan yang kehilangan suaminya. 

Kisah Jero Mangku S dan julukan “desa janda” itulah yang membuat langkah saya menginjakkan kaki di desa yang berada di wilayah sebuah kampung. Letaknya pun menjorok ke dalam dan dikelilingi rawa serta sawah. Jalan hot mik yang mengitari Desa M Sari dikelilingi oleh rawa dan sawah yang masih dikelola oleh masyarakatnya. 

Mesin traktor yang membajak sawah menderu-deru pada siang hari yang terik. Sementara para petani lainnya ada yang mengayunkan cangkulnya untuk menggarap sawah. Penduduk Desa M selain sebagai nelayan memang banyak yang bermatapencaharian sebagai petani. 

Setelah berkeliling mengitari desa, bertanya-tanya dimana rumah Jero Mangku S pada penduduk dan pedagang warung desa, akhirnya saya melihat sebuah pura bertuliskan “Pura Dhang Kahyangan A”. Suasana pura yang sepi tepat bersebelahan dengan hamparan sawah dengan padinya yang menguning. 

Jalan setapak membawa laju motor saya menuju rumah Jero Mangku S. Di depan sebuah rumah sederhana saya menunggu kedatangan Jero Mangku S yang sedang berkunjung ke rumah kerabat saat cucunya menolong saya untuk memanggilkannya. 

Desa Wayah

Suasana desa yang melingkar dikelilingi jalan-jalan setapak bebatuan. Rumah-rumah penduduk dihimpit pematang sawah dan rawa. Rumah-rumah penduduk berhimpitan, beberapa ada yang sederhana dan tidak jarang ada beberapa rumah yang dihiasi ukiran Bali. Suasana desa dengan rumah yang berhimpitan itulah dalam bayangan saya menjadi salah satu kemudahan untuk melakukan pembantaian massal di Desa M. Desa M termasuk desa wayah (desa tua) yang sebelumnya menjadi bagian Desa yang lebih besar. 

Setelah terjadi pelurusan tukad (sungai) G, sungai yang membelah dua desa bertetangga, Desa M kemudian bergabung dengan Desa L yang juga terdiri dari dua desa. 

Kisah kelam di Desa M berawal dari ketegangan dan persaingan antara PKI dan PNI yang berlangsung di hampir di seluruh desa di Bali. Di Desa M hanya 10 KK yang menjadi anggota PNI, selebihnya sekitar 50-an KK menjadi simpatisan PKI. Maka tidaklah heran jika Desa M dikenal sebagai salah satu desa basis PKI. 

Jero Mangku S mengenang saat malam-malam menegangkan terjadinya pembantaian massal di Desa M. “Desa duke nike hancur-hancuran. Masyarakat (Hindu) Bali ring Desa M telasange maka sami duk Gestok,” kisahnya (Desa M saat itu hancur-hancuran. Sebagian besar masyarakat di Desa M dihabiskan (dibunuh) semuanya saat Gestok). 

Saat itu Jero Mangku S masih remaja. Ia menyaksikan betul bagaimana pembantaian yang terjadi hingga menyisakan beberapa tetua desa yang masih berkeliaran di desa. Beberapa hari setelah itu ia tidak melihat lagi para tetua di Desa M yang masih bertahan hidup. Jadilah desa itu tanpa penghuni, sunyi senyap hanya suara jangkrik dan kodok yang mewarnai gelapnya malam.  

Jero Mangku S kini adalah seorang pemangku (pemimpin ritual) di Pura Gde yang terletak di desa tetangga, Desa L. Pada tahun 2001 ia ditugaskan oleh pemerintah menjadi pemangku di pura umum, pura yang diempon (dikelola) oleh pemerintah. Sebelumnya ia adalah seorang nelayan dan dibantu oleh istrinya juga berjualan ikan di sebuah pantai di barat Bali. Saat terjadinya pembantaian, Jero Mangku S mengisahkan, ada beberapa orang yang langsung dibantai di rumahnya atau dibawa ke lokasi lain pembantaian. 

Khusus untuk di Desa M, para korban pembantaian dibuang di sumur-sumur para penduduk di sekitar desa. Setelah pembantaian berlangsung, Jero Mangku S mengisahkan, ada beberapa sumur yang dibongkar. “Waktu nike mongkar semer, liu anake ane menekang tulang-tulang jelma uli semer nike,” tuturnya. (Waktu itu saat membongkar sumur, banyak orang yang menaikkan tulang-tulang dari dalam sumur itu). 

Sumur itu tidak begitu dalam. Ada sebuah sumur yang dimiliki oleh sebuah keluarga yang hanya dalamnya 12 meter. Sumur itu berada di belakang rumah dan sering airnya dipakai untuk mandi oleh seluruh anggota keluarga. Sama sekali tidak ada kecurigaan apapun. Tapi pada suatu ketika saat sumur itu akan dibongar banyak ditemukan tulang-tulang dan baunya menyengat hidung. 

Jero Mangku S memperkirakan di sumur itu terdapat hampir 20 korban pembantaian yang dibuang. Sedangkan di sumur-sumur yang lain hanya beberapa orang. Orang-orang yang dibantai bukan hanya berasal dari Desa M saja, tapi juga berasal dari desa-desa lainnya yang dimasukkan dalam satu sumur. 

Karang Suwung

Sesaat setelah pembantaian berlangsung di Desa M, semua warga yang tersisa tua muda dan anak-anak mengungsi entah kemana. Yang terbanyak adalah mereka mengungsi ke rumah-rumah saudara mereka di dekat desa. Desa mereka yang dikelilingi rawa-rawa membuat mereka sulit untuk melarikan diri saat pembantaian berlangsung. 

Jero Mangku S mengisahkan, saat dirinya remaja dan menyaksikan pembantaian berlangsung di Desa M, dia mengkeb (sembunyi) di rawa-rawa yang oleh warga Desa M sering disebut sebagai karang suwung (tanah yang sepi tidak berpenghuni). Rawa-rawa itu adalah tempat yang paling strategis untuk bersembunyi sekaligus sangat berbahaya karena duri pohon bakau yang tajam bisa menusuk kaki. Banyak warga Desa M yang mencoba melarikan diri saat malam-malam pembantaian tahun 1965 harus menghembuskan nafas terakhir di karang suwung ini. 

Jero Mangku S mengisahkan bahwa ia sempat bersembunyi selama sepuluh hari saat kejadian genting pembantaian massal berlangsung, “Tiang mengkeb dasa dina ring karang suwung, “ ungkapnya (Saya bersembunyi sepuluh hari di karang suwung). Saat itu dirinya sangat cemas akan menjadi salah satu korban pembantaian. 

“Dukke nike, dumun Gestok ngeri ten karuan. Cen kaden musuh ajak timpal. Bise saling matiang ajak nyama lan panak. Dumun nike nak ngorang main politik, ” tuturnya (Saat itu, dulu zaman Gestok ngeri tidak karuan. Yang mana musuh dan kawan. Bisa saling bunuh sesama saudara dan anak. Dulu itu orang-orang menyebutnya main politik).
 
Jero Mangku S menyebutkan saat itu—pembantaian massal—berlangsung di Desa M, dirinya memang dilindungi Tuhan, Ida Sanghyang Widhi Wasa. “Tiang dumun care gedenang Widhi, men ten kenten dumun tiang sampun mati.” (Saya dulu seperti dibesarkan, dilindungi oleh Tuhan, kalau tidak begitu dulu saya sudah mati). 

Jero Mangku S mengisahkan hal ihwal dirinya hampir tersangkut pembantaian massal 1965. Saat kelas 2 SR (Sekolah Rakyat)—SD saat itu—ia menumpang di rumah adik ibunya yang kebetulan menjadi klian banjar (ketua adat) Desa M. Saat itu istilah yang sering dipakai untuk orang terdidik, terpandang adalah nak kanggoang gumi (didengar dan dipandang oleh masyarakat). 

Sebagai klian banjar, paman Jero Mangku S tidak banyak berbicara dan bukan seorang orator yang tangguh, tapi seorang yang senang membantu dan bergaul dengan rakyat. “Sang pitara dumun kanggo ring desa malih dana, demenin ajak masyarakat.” (Leluhur dulu—untuk menyebut pamannya—dipercaya, didengar pendapatnya di desa dan juga senang membantu dan disenangi oleh masyarakat).
 
Ia adalah seorang petani yang ulet. Hari-harinya dihabiskan di sawah. Semua keluarga bertani sehingga dari pagi hingga sore hari tidak ada seorangpun yang berada di rumah. Jero Mangku S -pun ketika itu mengikuti paman dan keluarganya untuk bertani. Belakangan baru ia ketahui ternyata pamannya adalah tokoh dari BTI (Barisan Tani Indonesia) yang sangat terpandang di desa. 

Pamannya sangat pemalu dan jarang bicara banyak di keluarga. Saat pembantaian massal berlangsung, ia yang pertama kali menghilang di desa, entah dibawa kemana. Sepasukan tameng, milisi sipil pelaksana pembantaian dibawah instruksi RPKAD, mengambil pamannya untuk dibawa entah kemana. 

I Ngurah Suryawan
Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan, FISIP Universitas Warmadewa, Bali. Peneliti di Warmadewa Research Centre (WaRC).

Reporter: bbn/opn



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami