Banyak Orang Yang Dibantai Merupakan Korban Konspirasi
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Konflik di masa lalu berperan penting dan menjadi faktor penentu apakah seseorang layak masuk daftar yang akan dibantai atau tidak. Prosesnya tidak memakan waktu lama bahkan bisa secara dadakan.
Misalnya kelompok tameng bertemu seseorang di jalan lalu ditangkap. Lalu dikonfirmasi ke komandan Tameng. Jika Komandan Tameng setuju maka terjadilah pembantaian.
Hampir tidak ada verifikasi apakah seseorang punya afiliasi dengan partai komunis (PKI) atau tidak. Tidak ada jaminan aman dari pembantaian walaupun seorang pejabat pemerintahan sekalipun.
Lawan-lawan politik PKI senantiasa menaruh curiga pada orang-orang yang menyatakan kesetiaan kepada Soekarno walaupun tidak otomatis orang tersebut adalah PKI.
Sebagian dari mereka yang dibantai adalah memang PKI tapi sebagian lagi tidak dapat divalidasi. Banyak dari mereka yang hanya jadi korban konspirasi.
Kelompok tameng berpakaian hitam-hitam bersenjatakan kelewang (samurai) dan beberapa bedil. Mereka datang menjemput tidak peduli waktu pagi, siang atau malam.
Pintu rumah didobrak, penghuninya ditangkap, diseret masuk truk. Di sebuah ladang mereka dipenggal dan kemudian mayatnya didorong ke dalam lubang kuburan massal.
Pernah terjadi buruan tak ditemukan, lalu anggota keluarga yang lain dibawa sebagai gantinya. Bahkan ada komandan tameng yang memanfaatkan mencari jodoh dengan cara memaafkan calon korban asal bersedia menyerahkan adik perempuannya yang cantik untuk dijadikan istri komandan tameng.
Para tameng sangat berkuasa waktu itu. Ini karena mereka mendapat legitimasi dari pemuka agama Hindu maupun Islam bawha apa yang mereka lakukan bukan dosa.
Widagda, merupakan salah satu pimpinan gerombolan algojo tameng dari PNI Bali. Pada Juli 1967 Widagda divonis Pengadilan Negeri Denpasar 3 tahun penjara, karena terbukti berkali-kali melakukan tindak kriminal perkosaan terhadap sejumlah perempuan cantik, yang sebelumnya dituding secara sepihak sebagai anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).
Adalah mudah memberi legitimasi bagi para pemuka agama itu karena ideologi komunis menafikan keberadaan Tuhan, paling tidak itulah yang dipahami oleh masyarakat Bali di saat itu.
Disamping legitimasi pemuka agama, diperparah juga oleh ketakutan atas militasni PKI di masa sebelum G30S. Sebelum G30S terjadi, PKI sangat militan dengan berbagai "show of force" yang membuat lawan politiknya bergidik.
Reporter: bbn/tim