Biang Kerok China Mengalami 'Resesi Seks'
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DUNIA.
China dikabarkan mengalami 'resesi seks'. Ini dikarenakan angka populasi di negara itu semakin berkurang dalam beberapa tahun terakhir.
Baca juga:
Rusia Ungkap Kapan Akhiri Perang di Ukraina
Berdasarkan penelitian berjudul 'The Challenges of the Low Birth Rate in China,' angka kelahiran di China hanya menyentuh 7,52 kelahiran per 1.000 orang pada 2021.
Angka tersebut lebih rendah ketimbang tahun sebelumnya, yang mencapai 8,52 kelahiran per 1.000 orang. Tak hanya itu, angka kelahiran pada 2021 disebut-sebut menjadi yang paling rendah di China sejak 1949.
Lantas, apa penyebab China mengalami resesi seks?
Beberapa perempuan di China mengaku takut untuk punya ataupun menambah jumlah anak mereka. Qiu Xiaojia, perempuan milenial dari Kota Hangzhou mengatakan ia tak berencana punya anak.
"Kami telah membeli rumah, dan biaya pinjaman bulanannya lebih tinggi daripada gaji bulanan saya. Jadi dari mana saya bisa mendapat uang untuk anak saya?" katanya kepada Radio Free Asia.
Warga China lain dari Kota Changsha, bermarga Li, mengatakan ia tak ingin menambah anak lagi.
"Saya tak bisa menambah anak. Membesarkan satu anak seperti menempatkan uang Anda ke mesin penghancur kertas," tutur Li.
Warga di Kota Chongqing, Ma Jing, mengatakan ia dan suaminya tidak berencana punya anak meski pemerintah menjanjikan insentif.
"Saya hidup dari bayaran demi bayaran, dan saya sangat mengandalkan orang tua saya. Properti tempat saya tinggal milik mereka, saya menyetir mobil ibu saya, dan saya masih tak bisa menabung uang," tutur Ma.
"Kebijakan ini mungkin mengizinkan saya memiliki tiga anak, tetapi saya tak akan melakukannya, saya tak memiliki keinginan itu," lanjutnya.
Ketakutan tersebut muncul kala standar kehidupan di China semakin meningkat. Meski pemerintah China mengizinkan pasangan untuk memiliki maksimal tiga anak, banyak pasangan yang tak mau melakukannya karena biaya anak di China mahal.
Alasan lain yang muncul adalah perempuan di China, yang kebanyakan berpendidikan tinggi, tak lagi melihat pernikahan dan kehidupan orang tua sebagai aspek penting kehidupan.
Salah satu perempuan di Shanghai, Li Dan, memilih hidup tanpa suami, meski secara ekonomi ia sanggup membiayai anak.
"Alasan utama bagi saya, seorang perempuan tua usia subur, tidak ada hubungannya dengan uang. Alasan utamanya karena saya perempuan lajang," tutur Li Dan.
Selain itu, pendaftaran pernikahan China turun selama tujuh tahun berturut-turut juga ikut menjadi penyebab resesi seks di Negeri Tirai Bambu.
Angka pendaftaran pernikahan di China turun selama tujuh tahun berturut-turut pada 2020. Pada tahun ini, hanya 8,1 juta pasangan di China yang menikah.
Angka ini turun 12 persen dari 2021, pun turun drastis ketimbang pendaftaran pernikahan pada 2013. Kala itu, sebanyak 13,4 juta pasangan di China menikah.(sumber: cnnindonesia.com)
Editor: Juniar
Reporter: bbn/net