search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Membangun Mitigasi Bencana Alam Berbasis Kearifan Lokal Bali
Kamis, 31 Januari 2019, 06:00 WITA Follow
image

beritabali.com

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Berbagai literatur telah menyebutkan jika Bali merupakan salah satu daerah yang sangat rentan terhadap bencana alam. Berbagai bencana sudah pernah terjadi di Bali, mulai dari gempabumi, letusan gunung api, banjir, longsor, kekeringan dan angin kencang.

Apalagi Bali memiliki dua gunung api aktif, yaitu Gunung Agung dan Gunung Batur. Sejarah mencatat sebuah peristiwa gempa bumi besar di tahun 1815. Pusat gempa bumi diperkirakan berada di laut sebelah utara kerajaan Buleleng di Bali utara. Ibukota Buleleng yaitu Singaraja mengalami kerusakan parah.

Gempa bumi tersebut menggetarkan seluruh pulau Bali, sehingga disebut juga "Gejer Bali" yang artinya Bali bergetar. Sebagai daerah yang rawan bencana maka sudah sepantasnya upaya mitigasi dilakukan secara maksimal di Bali. Namun bila dicermati Bali memiliki konsep-konsep mitigasi bencana alam yang dikemas dalam kearifan lokal.

Konsep mitigasi bencana yang dikemas dalam kearifan lokal dan yang ada dimasyarakat selama ini tentu sudah teruji, sebab mengandung nilai tradisi yang sudah turun-temurun dijalankan. Memang pada akhirnya tidak jarang muncul pandangan yang meletakkan kearifan lokal sebagai metode atau cara yang lama dan harus ditinggalkan.

Padahal kearifan lokal yang ada cenderung terbungkus dalam sebuah pesan yang harus dijabarkan agar dapat diimplementasikan. Contoh sederhana yaitu proses mitigasi dalam menghadapi bencana gempabumi. Saat terjadi gempa maka masyarakat Bali akan berhamburan ke ruang yang lapang atau berlindung dibawah meja atau kolong tempat tidur.

Sambil meneriakkan kata linuh, linuh, linuh (gempa, gempa, gempa), teriakan ini merupakan bentuk peringatan kepada warga lainnya bahwa terjadi bencana gempa. Teriakan linuh kemudian diikuti dengan hidup, hidup, hidup, sebagai bentuk penyampaian kondisi diri yang telah berada dalam keadaan aman dan selamat.

Mitigasi bencana gempa ini, selama ini cenderung dilakukan secara spontan dan proses sosialisasi serta pembelajarannya juga dilakukan secara turun-temurun. Bentuk kearifan lokal Bali yang lain yang juga dapat dipandang sebagai bentuk mitigasi bencana yaitu menempatkan gunung dan laut sebagai kawasan suci. Hal yang terpikirkan selama ini mengenai kawasan suci terbatas pada keberadaan bangunan pura.

Namun jika dipahami dalam sudut pandangan mitigasi bencana, penetapan kawasan suci merupakan bentuk upaya membangun kesadaran akan pentingnya pemilihan lokasi dalam membangun pemukiman atau infrastruktur lainnya. Apalagi daerah pegunung cenderung memiliki kemiringan tanah yang terjal dan apabila membangun didaerah tersebut tentu rawan terhadap bencana longsor.

Begitu juga daerah pesisir pantai jika dijadikan daerah pemukiman maka akan rawan terkena ombak besar. Tetapi ditengah kemajuan industri pariwisata yang begitu pesat, upaya mitigasi bencana dalam konsep kearifan lokal kawasan suci seperti terabaikan.

Buktinya sepanjang bibir pantai di Bali kini dipenuhi dengan bangunan hotel dan villa. Begitu juga kawasan jurang telah menjadi lokasi favorit pembangunan hotel dan villa dengan label pariwisata alam.

Dalam hal pembangunan pemukiman yang mitigatif terhadap bencana, Bali juga memiliki kearifan lokal yang lumrah disebut dengan istilah “tenget”. Tenget dalam bahasa Bali memiliki makna tempat atau daerah yang angker, mistis dan berbahaya.

Tenget dalam keseharian masyarakat Bali selama ini selalu hanya dipandang sebagai tempat yang mistis dan dihubungan dengan kekuatan magis.

Apabila dipandang dari sisi mitigasi bencana alam, maka kearifan lokal yang disebut tenget ini berkaitan dengan peringatan bahwa tempat atau daerah tersebut rawan terhadap bencana, sehingga tidak sesuai untuk dijadikan tempat tinggal.

Dalam sebuah artikel berjudul Inces Dalam Kehidupan Sosial Religius Masyarakat Bali” yang ditulis oleh I Nyoman Duana Sutika  dan I Gusti Ngurah Jayanti dari Fakultas Sastra Universitas Udayana menyebutkan beberapa kriteria tempat yang harus dihindari untuk dijadikan tempat tinggal.

Karang matundun klipes, yakni karang tempat tinggal yang letaknya paling tinggi sementara di samping kanan kiri dan depan belakang agak rendah sehingga kesannya mudah terjatuh baik ke kiri maupun ke kanan atau ke depan dan ke belakang. Serupa pula dengan karang matundun jaran, yaitu karang tempat tinggal yang posisinya di ketinggian sementara di samping kanan dan sebelah kirinya curam.

Selanjutnya karang tuang, yakni sepetak tanah tempat tinggal yang diyakini sangat angker karena di tempat tersebut sering terjadi hal-hal aneh/gaib di luar akal sehat. Kenyataanya kini ditengah semakin padatnya pemukiman, larangan yang pada dasarnya merupakan konsep mitigasi bencana seakan terabaikan.

Dalam upaya mitigasi bencana, masyarakat Bali pada dasarnya sudah dibekali secara turun-temurun cara membaca tanda alam. Sebagai sebuah contoh ketika aktivitas Gunung Agung mulai meningkat pada tahap awal, masyarakat di daerah Karangasem dihebohkan dengan mulai turunnya kera dari kawasan hutan, termasuk turunnya kera putih. Dahulu saat hutan di daerah pesisir Bali masih lestari, para orang tua menjadikan kemunculan biota laut sebagai pertanda akan adanya kemungkinan bencana di daerah pesisir.

Para tetua dulu tentu sudah menyadari dan memahami bagaimana cara bertahan hidup di wilayah yang rawan bencana. Bahkan hingga struktur dan bentuk bangunan rumah yang ada di Bali pada dasarnya sejak dulu sudah mengadopsi konsep mitigasi bencana. Satu hal yang dapat dilihat adalah tidak adanya penggunaan paku dalam pembangunan rumah tradisional Bali.

Hal ini menyebabkan rumah tradisional Bali dapat di bongkar-pasang. Pada saat terjadi bencana seperti gempa, rumah kayu tradisional akan bergoyang, namun tidak menyebabkan rumah roboh. Pada bagain atap rumah juga cenderung menggunakan bahan yang ringan seperti alang-alang atau sirap. 

Tentu masih banyak lagi kearifan lokal Bali yang terkait dengan upaya mitigasi bencana. Kearifan lokal yang ada harus mulai kembali digali dan diadaptasi serta dikombinasikan dengan perkembangan teknologi. Sebuah kearifan lokal sudah barang tentu tidak dapat diterjemahkan mentah-mentah dan hanya dilihat sebagai sebuah pesan semata. Tantanganya kemudian adalah merevitalisasi kearifan lokal tersebut sehingga menjadi adaptif ditengah kemajuan teknologi saat ini.

Penulis :

I Nengah Muliarta

Pemred Beritabali.com

Reporter: bbn/mul



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami