search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Ida Pedanda Gede Oka, Sang Pengabdi Keindahan
Minggu, 25 November 2018, 10:51 WITA Follow
image

beritabali.com/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Sebelum Amari aran (berganti nama), di-diksa menjadi seorang pendeta, nama beliau adalah Ida Bagus Oka. Lahir di Geria Ngenjung, Banjar Kualon, Denpasar, Maret 1909.
 
Ayah beliau, Ida Bagus Anom, seorang undagi (arsitek tradisional Bali) dan pematung terkenal pada zamannya. Sang ibu, Ida Ayu Putu, merupakan sosok wanita yang dalam kehidupannya tak pernah lepas dari rutinitas tradisi geria, penuh dengan ritus dan upacara.
 
Kendati hanya mengenal pendidikan sekolah rakyat, tradisi brahmana telah melahirkan Ida Perande Gde Oka sebagai seorang cendekiawan tradisional yang dihormati. Apalgi beliau memang dikondisikan untuk menjadi ‘patirtan jagat’. Hal-hal yang menyangkut pembekalan rohaniah, yang meliputi banyak aspek kehidupan diantaranya sastra, agama, sasana, wariga, tatwa, weda pujadan wiswakarma jelas menjadi sesuatu yang diharuskan sebelum di-tapak oleh guru nabe menjadi pendeta.
 
Semasih welaka, Ida Pedande Gde Oka memang mempunyai bakat turunan sang ayah, yakni seorang undagi yang serba bisa. Seorang yang memahami dengan jelas aporisme Asta Kosala-Kosali, Asta Bumi, dan Wiswakarma dan sejenisnya. Semua teks ini berhubungan dengan tuntunan didaktis tentang bagaimana seharusnya seorang menjalani inisiasi diri sebagai undagi, termasuk pemahaman praktisnya. Ida Pedande juga paham betul tentang Walatanda, yakni ilmu membuat patung dan pratima (benda yang disakralkan), terbukti beliau juga adalah seorang pembuat patung dan tapel (topeng) yang berbakat. Dalam tradisi India, Walatanda mungkin sama dengan Silpasastra, yaitu buku petunjuk tentang pengarcaan (iconografi).
 
Menurut pengakuan Ida Pedanda, sejak usia 8 tahun beliau telah mulai belajar membuat togog dan belajar langsung dari sang ayah. Dalam usianya yang relatif masih muda, beliau telah berguru menimba ilmu ke berbagai daerah di Bali, misalnya, beliau sempat berguru ke Klungkung, Singaraja, dan Tabanan. Pada masa itu pula beliau telah mampu menciptakan sendiri patung Gajah Kecala, garuda, dan sebagainya. Bakatnya semakin tumbuh dalam bidang-bidang yang lain, meliputi bidang petapelan dan arsitektur.
 
 
Sebagai seorang undagi, Ida Pedanda tidak hanya ahli dalam pembuatan bale (bangunan) Bali, palinggih dan sejumlah bangunan suci lainnya. Namun kerap dalam sosialisasi diri beliau sangat rajin melakukan pengabdian, terutama dalam hal membuat wadah, jempana, lembu. Pendeknya, seluruh peralatan yang berhubungan dengan upacara pengabenan (upacara kematian). Setelah menjadi seorang pendeta, kerja seperti memang secara berangsur-angsur dikurangi. Kerap beliau hanya memberikan gegulak saja. Di samping karena usia sudah lingsir (tua), tugas-tugas sebagai sulinggih menghalangi beliau untuk mengambil pekerjaan, mengabdikan diri sebagaimana ketika beliau masih welaka. Sekarang rasanya cukup hanya memberi saran-saran dan petunjuk.
 
Dalah keseharian beliau, usai melakukan Siwa-arcana (nyurya sewana, pemujaan saat matahari terbit) untuk kedamaian semua makhluk hidup, di waktu senggang beliau sering menghabiskan hari-hari dengan membuat arca maupun pratima. Membuat pratime Ardanareswari dengan uang kepeng. Tangan beliau begitu lincah, sama lincahnya ketika beliau melakukan mudra. Kerja semacam ini memang penuh ritualistik dan penyerahan diri, saat itu asap dupa mengepul, berjejer bentuk-bentuk sesajen, seperti daksina, sesayut, sodaan, serta segehan. Maklum, yang dirangkai adalah symbol dewa dewi ---yang setelah jadi akan diarcanakan di tempat suci.
 
Pendeta yang telah dikaruniai 7 orang putra dari sang istri tercinta, Ida Pedanda Istri, seperti hanya menunggu hari-hari peniadaan. Telah banyak kerja dan pengabdian di persembahkan, begitu panjang riwayat hidup telah dituturkan, namun tapel dan pratima itu seperti memberi kesaksian, betapa Pedande Gde Oka adalah seorang pengabdi seni, pengabdi keindahan. Seorang seniman yang telah menjalankan konsep ganda sesa, yakni jalan asta gina menuruti jejak Bagawan Wiswakarma. 

Reporter: bbn/rls



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami