Masyarakat "Frontier" di Tengah Pandemi
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Jurnal Masyarakat dan Budaya (JMB), Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya (PMB), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengadakan diskusi webinar menarik pada 11 Juli 2020.
Diskusi ini sekaligus juga peluncuran edisi khusus JMB tentang masyarakat pinggiran. PMB LIPI sebelumnya menginisiasi penelitian bertajuk “Menelaah Masyakarat Pinggiran sebagai Bagian dari negara-Bangsa Indonesia”.
Dr. Riwanto Tirtosudarmo sebagai koordinator penelitian melihat bahwa peminggiran sebuah masyarakat, selain mempertimbangkan untuk membongkar pengaturan atau konstitusi yang ada, yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan analisis prosesual. Analisis ini berkaitan dengan proses-proses sosial, politik, ekonomi maupun kebudayaan yang dianggap telah mengakibatkan terjadinya peminggiran sebagian warga bangsa, seperti dialami oleh komunitas-komunitas adat, penganut agama minoritas, kaum difabel, LGBT, buruh migran dan kelompok marginal lainnya.
Analisis sistemik ini sangat diperlukan selain untuk memahami proses yang terjadi, juga untuk mengenali dinamika internal yang terjadi di dalam masyarakat-masyarakat pinggiran itu sendiri. Analisis perlu menekankan pentingnya melihat dimensi relasi-kuasa (power relations) antara institusi-institusi, para aktor dan agensi-agensi yang terlibat dalam proses sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan yang terjadi (Tirtosudarmon, 2017; Acciaioli dan Nasrum, 2020).
Frontierisation
Studi tentang kelompok-kelompok terpinggirkan dan termarginalkan ini memiliki sejarah yang panjang. Merujuk kepada konsep frontier, Acciaioli dan Nasrum (2020) dalam penelitiannya mengajukan terminology frontierisation yang mengacu kepada pemahaman zona social yang berfluktuasi antara pihak yang menduduki dan pihak yang diduduki dalam kompleksitas social dan kekuatan institusional. Selain pemahaman frontierisation sebagai zona social yang fluktuatif, perspektif lainnya melihat pada agensi golongan marjinal yang diduduki serta pengaruh mereka pada pihak yang menduduki.
Tsing (2005) mengacu kepada frontier yang ditandai dengan koeksistensi yang saling berlawanan dari pemaksaan ekonomi yang terorganisasi, hamparan luas perkebunan monokultur akasia, kelapa sawit, dan tanaman lainnya, serta keliaran para individu yang masuk ke area untuk melakukan “perusakan” melalui penebangan, pertambangan, dan usaha lainnya. Tsing mengacu kepada ide tentang frontier dari Turner (1994) yaitu sebagai tempat pertemuan antara kebiadaban dan kebudayaan. Argumentasi krusial Tsing (2005) adalah menganggap frontier bukan sebagai suatu tempat maupun proses, melainkan “proyek” yaitu sebuah wilayah yang dipandang sebagai kumpulan sumber daya alam yang patut dieksploitasi oleh pengusaha dan pekerja.
Acciaioli dan Nasrum (2020: 59) juga mengacu kepada perspektif frontier yang diajukan oleh Danilo Geiger (2008) yang menyatakan, “areas remote from political centres which hold strategic significance or economic potentials for human exploitation, and are contested by social formations of unequal power” (wilayah yang jauh dari pusat-pusat politik yang memegang arti strategis atau potensi ekonomi untuk eksploitasi manusia dan diperebutkan oleh formasi social kekuasaan yang tidak setara).
Penekanan pada potensi ekonomi mengacu kepada gagasan frontier sumber daya alam dari Tsing. Tetapi, penyebutan signifikasi strategis menyoroti dimensi politik kendali negara. Mendefinisikan frontier sebagai suatu “wilayah” memadukan gagasan suatu daerah dengan bingkai yang dibebankan kepadanya. Gagasan frontier bisa ditafsirkan sebagai pembingkaian suatu wilayah oleh negara atau “formasi social tidak setara” lainnya yang mendefinisikan ulang wilayah itu dengan cara yang memiliki konsekuensi terhadap pola-pola kendali, pemukiman dan eksploitasi.
Merujuk kepada studi yang dilakukan oleh Turner (1994), Tsing (2005), Acciaioli dan Nasrum (2020) dalam melihat masyarakat terpinggirkan, kita menyaksikan pada masa pandemi ini, kelompok tersebut semakin membesar dan sangat rentan. Pandemi yang mengakibatkan krisis multidimensi juga melahirkan kelompok-kelompok marginal baru yang tidak terhitung jumlahnya.
Kelompok marginal baru tersebutlah yang perlu ditelusuri. Oleh sebab itulah menjadi sangat penting untuk mengidentifikasi struktur kerentanan multidimensional yang terjadi di tengah masyarakat. Struktur tersebut memberikan kita pelajaran bahwa pandemi ini alih-alih menuju new normal, tetapi malah menjadi-jadi memunculkan new marginal (Novenanto dan Suryawan, 2020: https://eutenika.org/publications/new-marginals).
Masa pandemi Covid-19 ini menjadi kondisi yang sulit bagi masyarakat pinggiran dan kelompok-kelompok rentan. Sektor informal dimana sebagian besar kelompok marginal menggantungkan kehidupannya mengalami keterpurukan. Data dari ILO (2020) menggambarkan, pandemic Covid-19 telah berdampak pada bisnis dan sector tenaga kerja terutama bagi kelompok masyarakat yang paling rentan di hamper 187 negara. Yang nyata terlihat di Bali adalah masyarakat buruh migran, tunawisma, dan para pekerja sector informal yang menggantungkan kehidupannya pada upah harian.
Pada masa pandemi ini, kita menyaksikan kemunculan kelompok masyarakat yang terpinggirkan karena resesi ekonomi akibat pandemic Covid-19. Pengambilan kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh negara sering alpa merekognisi kelompok marginal ini. Kebijakan untuk kelompok marginal ini cenderung menempatkan mereka hanya sebagai obyek. Hal ini disebabkan karena kondisi krisis menyebabkan kelompok marginal dalam posisi yang rentan.
Oleh karena kebijakan yang tidak merekognisi kelompok marginal ini, kebijakan penanganan krisis dari negara bersifat state centric dan birokratis. Negara sepenuhnya yang mengendalikan kebijakan (Policy Brief Edisi 5, Menyelamatkan Kelompok Rentan: Kebijakan Inklusif Penanganan Dampak Covid-19, FISIPOL UGM, 2020).
Soldiaritas Pangan Bali (SPB) menjadi salah satu inisiatif komunitas di Bali yang menyapa kelompok termarginalkan ini. Inisiatif komunitas urban ini lahir dari melihat kelompok masyarakat marginal yang tak terhitung jumlahnya. Negara luput untuk memperhatikan dan mengurusnya. Slogan hastag #rakyatbanturakyat menjadi cermin solidaritas social masyarakat untuk saling meringankan di masa krisis seperti sekarang ini. SPB memiliki program dapur rakyat yang menyediakan nasi bungkus kepada kelompok rentan. Mereka juga menginisiasi lumbung pangan pertanian sebagai sumber penghidupan.
Penulis
I Ngurah Suryawan
Antropolog dan dosen ilmu politik dan pemerintahan Universitas Warmadewa.
Peneliti di Warmadewa Research Centre (WaRC).
Reporter: bbn/opn