Memariwisatakan Kebudayaan dan Perdesaan Bali
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Desain besar pengembangan pariwisata Bali bisa dikatakan alpa untuk memperhatikan potensi konflik yang kemungkinan terjadi. Wacana pariwisata budaya sangat kental dengan nuansa menghindari konflik dengan mengandalkan konsensus.
Konsep pariwisata budaya menjadi “kebijaksanaan” yaitu tindakan yang bijak, arif, lihai, dan hati-hati yang bertujuan untuk memuaskan seluruh pihak yang berkaitan dengannya.
Rencana induk pengembangan pariwisata Bali tidak pernah diperbaharui sejak 1969. Pada saat itu, pada bulan Maret, utusan Bank Dunia mengunjungi Indonesia dan menyarankan untuk membuat Rencana Induk Pengembangan Pariwisata di Bali (Master Plan for the Development of Tourism in Bali). Melalui proses tender internasional, pemerintah Indonesia memesan penyusunan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Bali tersebut kepada perusahaan Perancis yaitu SCETO (Societe Centrale pour l’Equipment Touristique Outre-Mer).
Penyusunan Rencana Induk tersebut dimulai pada bulan April 1970 yang dibiayai oleh United Nations Development Program (UNDP) dan dilaksanakan di bawah bimbingan dari Bank Dunia. Bank Dunia juga yang diangkat sebagai lembaga pelaksana proyek tersebut. Hasil dari proyek ini adalah sebuah laporan yang terdiri dari 6 jilid yang diterbitkan pada April 1971 (Picard, 2006: 64; SCETO, 1971).
Proyek Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Bali tersebut menghadapi dilema dalam mengemas pariwisata menjadi destinasi baru Bali pasca 1965. Dilemanya adalah pada satu sisi melindungi kebudayaan Bali yang ada dengan cara apapun, dengan menjadikannya sejenis “museum hidup”. Sisi ini mengesampingkan semua pengaruh-pengaruh asing dan pertama-tama adalah pengaruh yang justru disebarluaskan oleh wisatawan yang diundang datang ke Bali.
Pada sisi yang lain adalah menjadikan kebudayaan Bali sebagai barang konsumsi. Ini artinya adalah memasukkan pariwisata ke suatu daerah dan menganggap pola hidup dan budaya masyarakat Bali sebagai sumber alam yang dapat dikelola selama periode waktu tertentu, dan pada akhir periode tersebut kebudayaan itu sudah dipastikan akan mati (Picard, 2006: 67; SCETO, 1971: jil 2, hlm. 97).
Merujuk dari pendapat yang diungkapkan oleh Picard (2006: 274-275), acuannya bisa ditelusuri dari wacana kebudayaan sebagai warisan eksklusif orang Bali berubah menjadi modal akibat minat wisatawan. Peralihan wacana kebudayaan Bali dari warisan ke posisi modal berimplikasi sangat serius dari keberhasilan “memariwisatakan” kebudayaan Bali.
Meski terbukti berhasil untuk menangkal berbagai kerikil yang menentangnya, pariwisata budaya tetap menjadi sebuah konsep yang cair, yang menawarkan berbagai macam penafsiran dari para pengikutnya. Jikalaupun bertentangan, penafsiran tersebut menjadi ambivalensi yang coba untuk diatasi di tengah kontradisiksi-kontradiksi yang tak terhindarkan dari laju kecang tanpa kendali pariwisata Bali.
Konsep pariwisata budaya ini jugalah yang menjadi justifikasi hilangnya tanah, natah, dan ruang-ruang hidup masyarakat Bali saat booming pariwisata tahun 1980-an. Mengabdi pada pariwisata (budaya) berarti mendukung pengembangan kebudayaan. Kebudayaan dipersolek dengan berbagai cara agar mampu untuk “dipariwisatakan”. Pariwisata budaya ini jugalah yang dikembangkan menjadi jargon, kemudian diwariskan menjadi “harga mati” dalam wacana pariwisata Bali hingga kini tanpa gugatan apapun.
Industrialisasi
Wajah dan denyut pariwisata yang kembang kempis, jatuh bangun, dan terpuruk dari satu krisis ke krisis lainnya, membuatnya memperbaharui diri. Esai tajam dari Winarya (2020) memberikan kita gambaran kemunculan desa wisata yang menjamur menjadi tawaran reaktif di tengah kejenuhan pariwisata massal. Kemunculan tren pengembangan desa wisata di berbagai daerah di Bali yang cenderung meniru tanpa rencana yang cermat. Pada tahun 2018, Bali memiliki 110 desa wisata atau meningkat hingga 124% dibanding tahun 2017.
Saya melihat kegandrungan pengembangan desa wisata ini berjalan beriringan dengan perubahan tata ruang perdesaan secara massif. Areal persawahan dan lahan-lahan yang tidak produktif secara mudah beralih fungsi menjadi areal perumahan yang sangat massif atau menjadi lahan produktif untuk industri.
Kabupaten Bangli adalah contoh kecil yang dalam lima tahun terakhir sudah 700 hektare sawah berubah fungsi. Berdasarkan data, pada 2013, luas lahan sawah di kabupaten berhawa sejuk itu mencapai 2.735 hektare. Namun, pada 2018 lalu, sesuai hasil pendataan dari Badan Pertanahan Nasional, luas lahan sawah di Bangli turun menjadi 2.036 hektare (Media Indonesia, 27 September 2019).
Pada periode inilah massif terjadi proses akumulasi yang dijalankan secara integral melalui kolaborasi antara modal (kapital) dan negara. Proses privatisasi terjadi di berbagai sector dan komodifikasi atas segalanya (commodification of everything). Komodifikasi yang massif inilah yang mengubah sector-sektor non-kapitalis dan tradisional menjadi komoditas-komoditas yang diperjualbelikan di pasar.
Komodifikasi ini menyebabkan korporatisme yang mencengkram sumber-sumber daya komunal dan menyingkirkan pengelolaan-pengelolaan konvensional yang dipandang tidak efisien (Harvey, 2003; 2004; Christian dan Desmiwati, 2018).
Salah satu bentuk dari perluasan neo-liberalisme adalah terjadinya proses privatisasi dan industrialisasi sebagai basis penciptaan sebuah ruang baru melalui urbanisasi. Urbanisasi bukanlah proses perpindahan masyarakat perdesaan ke kota-kota seperti yang jamak dipahami selama ini, melainkan sebuah proses industrialisasi perdesaan.
Industri tidak lagi dibangun di kota dengan menarik masyarakat-masyarakat desa yang tidak memiliki tanah untuk bekerja sebagai buruh. Industrialisasi perdesaan adalah membangun industry di jantung-jantung perdesaan dan mengubah tanah-tanah produktif maunpun non-produktif perdesaan menjadi pusat pembangunan industry baru.
Secara total masyarakat diubah tatanan social ekonomi politik dan budayanya menjadi berbasis industry, baik secara ekstratif maupun non-ekstraktif, baik green industry maupun non-green industry (Christian dan Desmiwati, 2018).
Problemnya adalah bagaimana proses industrialisasi yang green aau “ramah” menjadi alat untuk menjustifikasi untuk mengubah kawasan perdesaan dan pulau-pulau kecil menjadi industry pariwisata yang berlabel green industry melalui jargon ekowisata. Sayangnya green industry ini kadang dibangun melalui proses perampasan tanah dan sumber daya demi terciptanya sebuah industry wisata yang menjustifikasi diri “ramah lingkungan” (ecofriendly industrial tourism).
Tantangan-tantangan tersebut berada di depan mata Bali ke depannya. Dalih industrialisasi perdesaan dengan menggunakan ekowisata, green tourism, industry pro- lingkungan, patut diwaspadai sebagai komodifikasi ruang baru dari pariwisata yang mempersolek dirinya.
I Ngurah Suryawan
Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan, Universitas Warmadewa.
Peneliti di Warmadewa Research Centre (WaRC).
Reporter: bbn/opn