search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Tren Gugat Cerai Istri dan Fungsi Preventif Lembaga BP4
Sabtu, 12 September 2020, 16:40 WITA Follow
image

bbn/ilustrasi/net

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, NASIONAL.

Kepala Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4), Nasaruddin Umar mengaku prihatin dengan apa yang terjadi. Pandemi bisa jadi memang mendorong kenaikan jumlah perceraian di berbagai wilayah.

Sebaliknya, perceraian yang terjadi selama pandemi sebenarnya juga meningkatkan risiko penularan. Dampak pandemi yang sebelumnya bisa dihadapi bersama oleh keluarga secara utuh harus ditanggulangi sendiri setelah perpisahan.

Pada 2018, 73, 25 persen dari total 444,358 gugatan perceraian adalah gugatan cerai dari istri. Pada 2019, proporsi gugat cerai istri meningkat menjadi 74,04 persen dari 480.618 perceraian. Tahun ini, gugat cerai istri mencapai 228.240 atau 74,42 persen dari 306.688 perceraian dari Januari- Agustus.

“Kenapa makin hari, makin kesini, semakin banyak istri yang menceraikan suami. Kalau kita lihat era tahun 60-an, 90 persen perceraian di pengadilan itu adalah suami yang menceraikan istri. Sekarang 75 persen perceraian dilakukan oleh istri,” kata Umar dikutip dari voaindonesia.com.

Merunut sejarahnya, lanjut Umar, fenomena gugat cerai mulai naik sekitar 1975. Dia menduga ini terkait dengan pemberdayaan perempuan, dan kemunculan setidaknya tujuh undang-undang di awal masa Orde Baru. Salah satu tonggaknya adalah UU No 1 Tahun 1974 yang memperkuat posisi perempuan. Sebelum UU itu lahir, poligami bebas dilakukan di Indonesia. Ditambah lagi dengan keluarga PP No 10 Tahun 1974 yang melarang pegawai negeri dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) beristri lebih dari satu.

“Ibu Tien Soeharto pada waktu itu sangat terkenal sebagai pahlawan PP 10 pada waktu itu. Tidak boleh ada pegawai negeri dan BUMN yang poligami. Kalau ada itu ancamannya dipecat,” kata Umar.

Berbicara dalam forum yang sama, Zahrotun Nihayah dari Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Nihayah membagikan pengalamannya dalam dua posisi berbeda yang pernah dijalani, yaitu mediator pasangan yang akan bercerai dan konselor. Dia menemukan fakta, keberhasilan mediator jauh lebih kecil.

“Peluang untuk islah jauh lebih besar karena preventif. Jauh lebih berhasil daripada yang sudah masuk ke pengadilan, itu secara proses sudah bulat, sudah niat dan sudah melalui pertimbangan-pertimbangan sehingga sulit dimediasi lagi, ketika sudah mendaftarkan gugatan cerai atau talak ke pengadilan,” ujar Nihayah.

Karena itulah, Nihayah merekomendasikan peran penting BP4, sebagai lembaga nasional penasehat perkawinan, untuk menjalankan fungsi preventif. Konsultasi dan nasehat seharusnya diberikan jauh sebelum pasangan datang ke pengadilan.

Reporter: bbn/net



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami