search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Inhaler Penangkal Corona Selesai Diuji Coba ke Hewan, Hasilnya?
Jumat, 7 Mei 2021, 12:10 WITA Follow
image

beritabali.com/ist/suara.com/Inhaler Penangkal Corona Selesai Diuji Coba ke Hewan, Hasilnya?

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, NASIONAL.

Setelah tahun lalu Badan Litbang Kementerian Pertanian (Kementan) sempat menghebohkan Indonesia, dengan produk eucalyptus penangkal corona. Salah satunya yang berbentuk kalung dan produk hisap hidung (Inhaler), yang akhirnya banyak dikritisi dan diminta untuk diuji lebih lanjut.

Kini secara resmi Balitbang Kementan RI mengumumkan hasil uji in vitro produk terhadap virus SARS CoV 2. Uji in vitro ini adalah pengujian menggunakan hewan sebagai model ujicoba.

Sebelum nantinya diuji pada manusia atau yang disebut dengan uji klinis, yang akan dilakukan dengan menggandeng Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Hasil uji in vitro ini kata Kepala Balai Besar Penelitian Veteriner NLP Indi Dharmayanti hasilnya menggembirakan karena mampu mengikat virus SARS CoV 2, sehingga sulit bereplikasi atau memperbanyak diri, dan berpotensi jadi obat Covid-19.

Tidak kurang dari satu tahun uji in vitro, toksisitas dan uji klinis dilakukan dengan melibatkan para akademisi, termasuk Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Terbukti baik bahan utama maupun produk eucalyptus racikan Balitbangtan saat diuji pada hewan, mampu mengurangi kerusakan sel akibat infeksi Covid-19, termasuk mengurangi jumlah dan kemampuan bertahan hidup virus di dalam tubuh.

"Uji toksisitas per-inhalasi pada mencit tidak menunjukkan perubahan klinis, patologi dan histopatologi pada mencit yang diuji," terang Indi, dalam keterangan pers yang diterima suara.com, Rabu (5/5/2021).

Mencit adalah sejenis hewan pengerat seperti tikus berwarna putih dan berukuran kecil, yang kerap dijadikan sebagai model penelitian pengobatan maupun metode praktik medis lainnya, sebelum dilakukan pada manusia.

"Hasil penelitian tersebut dinilai berdasarkan peningkatan CT Value uji real time PCR/rRT-PCR, peningkatan nilai Optical Density uji MTT, dan mencegah munculnya cytopathic effect (CPE) pada kultur sel," terang Indi lagi.

CT value adalah singkatan dari cycle threshold yaitu ambang batas siklus atau jumlah maksimal dan minimal virus menginfeksi sel atau tubuh seseorang. Sehingga mencit menjalankan tes PCR dan didapatkan jumlah CT value sebagai bahan penelitian.

Sedangkan nilai optical density uji MTT adalah nilai yang digunakan untuk melihat hasil uji toksisitas, yaitu pengujian untuk melihat seberapa banyak dosis yang diberikan efektif untuk pengobatan.

Terakhir, CPE adalah efek sitopatik berupa adanya kelainan struktural sel manusia yang berubah atau mengalami kelainan akibat terinfeksi virus. Sehingga bila CPE tidak terjadi atau rendah akibat uji coba obat yang diberikan, maka zat tersebut terbukti efektif melawan virus.(sumber: suara.com)

Reporter: bbn/net



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami