Makna Tradisi Perang Api di Lombok Saat Jelang Nyepi
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, NTB.
Umat Hindu di Cakranegara, Kota Mataram saling serang menggunakan api, dalam tradisi perang api jelang perayaan Nyepi, Rabu (2/3).
Tradisi yang hanya ada di Lombok, Nusa Tenggara Barat ini untuk perayaan hari Nyepi tahun Saka 1944 tahun 2022 ini selain jumlah peserta dan penonton dibatasi. Durasi waktu Perang api berlangsung juga dipersingkat hanya 10 menit.
Dimulai semenjak abad ke-16, tradisi Perang Api dua kampung Umat Hindu di Cakranegara masih terjaga dan lestari hingga kini. Namun karena situasi pandemi, perang api berlangsung dengan pengawasan protokol kesehatan yang ketat.
Bahwa betapa perang tak harus bermusuhan. Perang yang ternyata penuh kedamaian. Itulah pesan yang disampaikan pada tradisi perang api menyambut hari raya Nyepi ini. Selain makna tersirat sebagai tradisi menolak bala wabah penyakit.
Perang api biasanya dilakukan jelang sandiwara atau magrib, ketika matahari mulai terbenam. Inilah tradisi Perang Api umat Hindu di Cakranegara, Kota Mataram. Perang yang digelar sebagai rangkaian perayaan Hari Raya Nyepi.
Tradisi ini sudah bertahan lama. Dan masih berlangsung hingga kini. Biasanya, digelar pada petang terakhir, sebelum perayaan Nyepi dimulai. Saat hari kian sore, warga yang ingin menyaksikan tradisi ini mulai datang berduyun-duyun.
Mereka berjejalan di simpang empat Jalan Selaparang, Lingkungan Negarasakah. Dan mulailah dua kelompok pemuda berdiri. Obor sebagai sumber api mulai dinyalakan. Hasrat menyerang pun tidak dielakkan saat kedua kubu mulai membakar bobok masing-masing. Pertempuran pun tidak bisa dihindari. Saling serang. Saling lempar dengan bobok yang menyala. Serangan pun acak-acakan.
Pukul memukul, menggunakan api dari jarak dekat. Bara api yang menyala-nyala berseliweran. Menerjang dari segala penjuru. Mendarat di punggung, pundak, perut, dada, tangan, leher, kepala hingga muka para pemuda yang sedang berperang.
Sesekali percikan api mengenai warga yang menonton. Pemuda yang terkena sambaran api tidak kalah beringas. Menyerang balik di tengah kepungan asap dan sisa api.
Meski api mulai padam, saling lempar sisa bobok masih terjadi. Para Pecalang dan petugas keamanan pun akhirnya memberikan aba-aba agar perang dihentikan.
Namun, mereka yang larut dalam pertempuran terus menyerang. Sampai akhirnya sorak sorai dan tepuk tangan penonton meredakan naluri saling serang. Ditambah semprotan air dari mobil water canon milik polisi yang memang telah disiagakan. Perang pun selesai.
Perang singkat itu diakhiri dengan damai. Tidak ada yang kalah, dan tidak ada yang menang. Setelah perang benar-benar usai, kedua kelompok pemuda saling berpelukan. Mereka mengangkat tangan dan berbalas tawa. Luka bakar di dada dan punggung tidak dihiraukan.
Lalu, dengan sendirinya mereka pulang ke kampung masing-masing yang jaraknya berdekatan. Tradisi ini digelar tiap tahun. Terus terjaga hingga kini. Dilakukan Umat Hindu Lingkungan Negarasakah dan Lingkungan Sweta Barat, Cakranegara. Perang api meraka lakukan setelah pawai ogoh-ogoh.
Perang api sudah dilakukan sejak abad ke-16. Saat Lombok masih menggunakan sistem kerajaan. Dulu, warga perang menggunakan gumpang, jerami sisa panen padi. Tapi karena sekarang sulit mendapatkan gumpang, sehingga beralih menggunakan bobok atau daun janur yang sudah kering.
Perang Api juga tidak dilakukan sembarangan. Warga yang ikut Perang Api harus menyiapkan diri baik-baik. Tidak punya niat buruk untuk melukai lawan saat perang. Karena itu sebelum perang api dimulai, ikatan bobok yang dipakai harus diperiksa terlebih dahulu. Warga memeriksa apakah di dalam bobok ada benda keras atau benda tajam.
Sementara itu Kapolsek Sandubaya, Kompol M Nasrullah menjelaskan, Perang Api yang dimulai pukul 17.30 Wita ini bertempat di Simpang Tiga Negara Sakah Cakranegara.
"Perang api dilakukan sekitar 10 menit, setelah itu baik peserta maupun penonton membubarkan diri," ujarnya.
"Pelaksanaan Perang Api dihadiri 300 penonton, yang mempertemukan warga Lingkungan Negara Sakah dengan warga Lingkungan Sweta Kecamatan Cakranegara.
"Pesertanya sekitar 70 orang," kata Nasrullah.
Untuk mengamankan jalannya tradisi itu, 80 personel pengamanan dikerahkan. Yakni personel gabungan Polda NTB, Polresta Mataram, Polsek Sandubaya, dan Koramil Cakranegara.
"Seluruh rangkaian berjalan dengan tertib, lancar, dan aman kemudian berakhir pada pukul 17. 40 Wita," tutup Nasrullah.
Reporter: bbn/lom