search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Harga Properti di Bali Kian Melonjak, Warga Lokal Kian Terpinggirkan
Selasa, 3 Desember 2024, 17:16 WITA Follow
image

bbn/ilustrasi/Harga Properti di Bali Kian Melonjak, Warga Lokal Kian Terpinggirkan.

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Bali, yang terkenal sebagai salah satu destinasi wisata paling populer di dunia, kini menghadapi fenomena yang memprihatinkan. 

Meningkatnya harga properti di Bali, yang didorong oleh lonjakan permintaan baik dari wisatawan asing maupun investor, membuat banyak warga lokal kesulitan untuk memiliki rumah atau tanah. Warga Bali yang berpenghasilan rendah hingga menengah kini terancam terpinggirkan dalam upaya memenuhi kebutuhan dasar mereka di tanah kelahiran sendiri.

Ni Made Fitri Apriyani, salah seorang warga Bali, mengungkapkan kesulitan yang dialaminya dalam mencari tempat tinggal. Dengan penghasilan bulanan yang hanya sekitar Rp3 juta hingga Rp5 juta, Fitri merasa impiannya untuk memiliki rumah di Bali semakin jauh.

"Belum lagi kalau ada keperluan upacara agama. Kayaknya buat beli tanah [atau rumah], jauh banget," keluhnya.

Harga tanah di Batubulan, Gianyar, misalnya, kini telah melonjak mencapai Rp300 juta per 100 meter persegi. Angka ini jauh di luar jangkauan banyak warga lokal. Data dari Realinfo mencatatkan bahwa harga properti di Bali meningkat 7 persen per tahun dalam lima tahun terakhir, dan di Kota Denpasar, harga properti residensial bahkan melonjak hingga 15,1 persen pada September 2024.

Gede, seorang pekerja dengan penghasilan bulanan sekitar Rp17 juta, juga mengaku kesulitan membeli rumah di Denpasar. "Kalaupun saya berhasil kumpulkan DP (uang muka), per bulannya kayaknya enggak cukup untuk cicilan," ujarnya. 

Di kota ini, harga rumah ukuran 100 meter persegi sudah menembus angka Rp1 miliar, sebuah jumlah yang sangat sulit dijangkau oleh Gede.

Peningkatan harga properti yang sangat pesat juga dirasakan oleh Ni Made Ariyanti di Tabanan, yang bersama suaminya telah setahun mencari rumah atau tanah yang terjangkau. "Kenapa beli tanah atau rumah sendiri jadi lebih mahal dan jauh? Enggak bisa dijangkau," keluh Ari.

Fenomena overtourism, yakni terlalu banyak wisatawan yang datang dan menetap di Bali, turut memperburuk keadaan. Ali, seorang migran asal Jawa Barat yang telah tinggal di Bali selama 10 tahun, menyaksikan banyaknya tanah yang dijual oleh warga lokal kepada pihak asing. 

"Tiga sampai empat kali," kata Ali, menceritakan pengalamannya ketika tawaran dari warga asing datang untuk membeli tanahnya yang tidak dijual.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah migran di Bali pada 2020 mencapai lebih dari 681.000 orang, dengan konsentrasi terbesar di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung. Banyak dari mereka yang tidak hanya datang untuk berlibur, tetapi juga untuk menetap, yang memperburuk tekanan terhadap pasar properti.

Menanggapi hal ini, Pemerintah Bali mengusulkan moratorium pembangunan hotel dan vila untuk menanggulangi lonjakan harga properti. Penjabat Gubernur Bali, Sang Made Mahendra Jaya, menjelaskan bahwa moratorium ini bertujuan untuk menciptakan pariwisata yang lebih berkualitas. Namun, pelaksana tugas Bupati Badung, Ketut Suiasa, mengatakan bahwa keputusan ini masih diperdebatkan, mengingat target investasi yang harus dicapai.

Tanggapan dari Kepala Dinas Pariwisata Bali, Tjokorda Bagus Pemayun, juga menyatakan bahwa kenaikan harga tanah dan properti disebabkan oleh permintaan yang meningkat, serta pengaruh sektor pariwisata yang semakin berkembang. 

"Namun, kami juga menyadari bahwa ada masalah perizinan yang mempengaruhi tata ruang di Bali," tambahnya.

Warga lokal seperti Gede, Ari, dan Fitri kini harus menghadapi kenyataan bahwa semakin sulit bagi mereka untuk memiliki rumah di tanah mereka sendiri. Mereka harus bersaing dengan investor asing yang memiliki modal lebih besar, sementara mereka yang berpenghasilan rendah terpaksa tinggal di kos-kosan dengan kondisi yang jauh dari layak. 

Gede menambahkan, "Sangat menyedihkan, mayoritas warga sepertinya menormalkan hidup di kos-kosan kecil dan tidak tahu bahwa harga properti di luar Bali itu terjangkau dengan UMR lokal." (sumber: merdeka.com) 

Editor: Redaksi

Reporter: bbn/net



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami