Walter Spies dan Cermin Bali Kini: Antara Warisan Budaya dan Luka Pariwisata
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Bali akan menjadi tuan rumah pameran seni rupa bertaraf internasional bertajuk ROOTS yang digelar di Museum ARMA, Ubud pada 24 Mei hingga 14 Juni 2025.
Pameran ini merupakan bagian dari peringatan Seratus Tahun Walter Spies di Bali, menyoroti warisan abadi seniman Jerman kelahiran Rusia yang memainkan peran penting dalam transformasi budaya di Pulau Dewata.
Setelah sukses ditampilkan di Basel, Swiss, ROOTS hadir di Bali sebagai bagian dari upaya merangkai memori kolektif dan membahas kembali warisan pascakolonial yang masih membekas hingga kini.
Sosok Walter Spies yang datang ke Bali pada 1927 telah memengaruhi seni, budaya, bahkan citra Bali di mata dunia. Melalui pameran ini, publik diajak merefleksikan jejak Spies dalam lanskap budaya Bali modern—yang kini tak lagi steril dari tekanan pariwisata massal, degradasi lingkungan, dan komersialisasi budaya.
“Pameran Roots dan dokumenter yang berjudul sama, harus dipahami sebagai proyek memori kolektif dalam membahas aspek penting sejarah pascakolonial Bali: pengaruh budaya modern Barat terhadap tradisi budaya Bali. Sejarah Walter Spies yang penuh gejolak di Pulau Bali dan dampaknya terhadap transformasi Bali, selanjutnya berkembang menjadi destinasi wisata global dapat dipahami sebagai ‘warisan bersama’,” kata Michael Schindhelm, kurator pameran dan sutradara dokumenter fiksi ROOTS.
Di jantung pameran ini adalah Villa Iseh di Karangasem, tempat tinggal Spies yang juga menjadi titik temu antara seniman dunia dan keindahan alami Bali. Pameran ini akan menampilkan karya seniman kontemporer Bali seperti Made Bayak dan Gus Dark, yang menyoroti pergulatan menjaga identitas budaya Bali di tengah gempuran modernitas.
Selain itu, seniman lain juga turut menyemarakkan pameran di antaranya; penari Dewa Ayu Eka Putri, musisi Putu Tangkas Adi Hiranmayena, dan kolaborator seniman Bali lainnya, termasuk koreografer terkenal berkelas internasional Wayan Dibia, pendiri dan pemilik Museum Arma Agung Rai, serta banyak lainnya.
“Saya harap 100 tahun Walter Spies ini menjadi momentum bagi kita lewat tulisan media untuk masyarakat Bali bisa berefleksi kembali mau dibawa kemana Bali, pariwisata, dan industrinya yang sudah mengakar di tanah Bali ini apakah kita akan membiarkan saja semua berjalan secara liar atau kita mencari kiblat apa yang ingin sebenarnya yang diinginkan oleh rakyat Bali,” ujar Gus Dark.
Sementara itu, Made Bayak menyuarakan refleksi lewat karya seninya sebagai upaya memengaruhi arah kebijakan budaya Bali.
“Ketika refleksi bisa memengaruhi kebijakan itu bagus,” katanya.
“Tentunya saya bukan antipembangunan sama sekali, perkembangan pembangunan itu tidak bisa kita setop, tapi kita bisa memperbaikinya idealnya seperti itu,” katanya.
ROOTS bukan sekadar pameran visual, tetapi juga pengalaman naratif tentang Bali dari masa ke masa. Melalui film dokumenter fiksi ROOTS, pengunjung akan menyaksikan sosok "hantu" Walter Spies yang menyusuri Bali masa kini, berinteraksi dengan seniman dan tokoh budaya, menyelami warisan yang ditinggalkannya dan dampaknya terhadap perkembangan Bali selama seabad terakhir.
Selain pemutaran film di berbagai lokasi, rangkaian acara akan ditutup dengan seremoni khusus di ARMA Ubud pada 14 Juni, termasuk pemberian penghargaan kepada pelajar pemenang kompetisi ulasan film.
Melalui pameran ini, Bali diajak untuk kembali merenung: apakah "surga terakhir" seperti yang dibayangkan Spies masih ada, atau justru kini berada di ambang kehilangan identitasnya?
Di tengah tantangan lingkungan dan tekanan industri pariwisata, pesan Walter Spies seolah hadir kembali sebagai cermin untuk masa depan Bali.
Perjalanan Walter Spies ke Bali
Pada tahun 1923, Walter Spies memulai perjalanan dari Eropa ke daerah tropis untuk mencari adanya dunia baru dan inspirasi artistik. Meskipun pengaruhnya yang signifikan sebagai seniman, namun kisahnya sebagian besar telah memudar dari kesadaran Barat. Lahir di Moskow pada tahun 1895 dan meninggal secara tragis di laut lepas Sumatra pada tahun 1942, warisan Spies tetap berpengaruh abadi di Bali seabad setelah kedatangannya.
Keberadaan Spies juga telah dianggap oleh masyarakat Bali sebagai pelopor modernisme di pulau yang menjunjung warisan budaya luhur, Spies mengalami transformasi artistik yang mendalam di bawah pengaruh seni Bali yang meresap pada dirinya.
Meskipun pernah menggelar pameran di Berlin dan Dresden serta menjalin persahabatan dengan seniman ternama mulai dari Oskar Kokoschka dan Otto Dix hingga Friedrich Murnau, Margaret Mead, dan Charlie Chaplin, reputasi Spies di tanah kelahirannya tidak seberapa dibandingkan dengan statusnya yang disegani di Bali.
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/tim