search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Yang Tak Terlihat dari Inflasi Rendah

Selasa, 3 Juni 2025, 09:59 WITA Follow
image

beritabali/ist/Yang Tak Terlihat dari Inflasi Rendah.

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Setiap bulan, kita mendengar istilah "inflasi" muncul di berita: naik, turun, terkendali. Angka-angka itu sering jadi penanda apakah ekonomi berjalan dengan baik. 

Tapi bagi banyak warga, pertanyaan yang lebih nyata terdengar seperti ini: “Harga sayur sekarang gimana, Bu?”, “Beras naik nggak?”, atau “Masih cukup nggak gaji buat seminggu ke depan?”

Pada Mei 2025, Kota Denpasar mencatat inflasi tahunan sebesar 2,48%—angka yang menurut para ekonom termasuk kategori aman. Bahkan bulan itu, Denpasar mengalami deflasi kecil, artinya sebagian harga barang malah turun. Ini tentu jadi kabar baik secara statistik. Tapi apakah kelompok rentan di Denpasar merasakan hal yang sama?

Harga Terkendali Tapi Tak Terjangkau Semua

Kalau kita lihat lebih dekat, beberapa harga kelompok pengeluaran justru naik cukup tajam. Perawatan pribadi dan jasa lainnya naik lebih dari 6% (andil inflasi 0,61%), penyediaan makanan dan minuman/restoran naik lebih dari 4% (andil inflasi 0,43%), pendidikan pun naik 4% (andil inflasi 0,31%). 

Sementara harga makanan, minuman, dan tembakau—yang menjadi pengeluaran terbesar bagi keluarga berpenghasilan rendah—naik 1,72% (andil inflasi 0,47%).

Deflasi memang tercatat di kelompok seperti informasi, komunikasi, dan jasa keuangan, tapi itu bukan belanja harian masyarakat kecil. Ibu-ibu di pasar masih harus menawar tomat, bertanya harga telur, dan menyiasati lauk seadanya. 

Sering kali, angka inflasi rendah tidak serta merta berarti biaya hidup menjadi ringan—terutama bagi yang menggantungkan penghidupan pada gaji harian, atau penghasilan dari usaha kecil.

Yang Bertahan dalam Kemiskinan, Kini Menanggung Lebih Banyak

Data menyebut angka kemiskinan di Denpasar menurun jadi 2,59%, terendah di Bali. Tapi di balik penurunan itu, ada cerita lain yang patut jadi perhatian. Kedalaman kemiskinan meningkat, keparahannya pun naik. Ini artinya, mereka yang masih dalam garis kemiskinan kini hidup dengan beban yang lebih berat.

Bagi mereka, inflasi 2 persen atau 3 persen itu bukan sekadar angka. Itu bisa berarti harus mengurangi porsi makan, menunda bayar kontrakan, atau memilih tidak membeli seragam sekolah anak. Karena hidup mereka sering kali digantungkan pada pilihan-pilihan sulit setiap hari.

Kerja Ada, Tapi Tak Selalu Memberi Rasa Aman

Angka pengangguran memang turun. Denpasar mencatat TPT hanya 2,11%, terendah di Bali. Tapi saat yang sama, banyak warga berhenti mencari kerja, dan jumlah pekerja informal meningkat.

Pekerja informal ini adalah tukang cuci motor, penjual makanan keliling, pengemudi ojek daring, hingga ibu-ibu yang membuka warung kecil di rumah. Mereka bekerja, ya. Tapi tanpa jaminan gaji tetap, tanpa asuransi kesehatan, dan tanpa hari libur. Satu hari tidak bekerja, berarti tidak ada penghasilan.

Mereka adalah tulang punggung ekonomi kota, namun masih berdiri di atas tanah yang rapuh. Maka saat harga kebutuhan naik—even tipis-tipis—mereka yang paling dulu terguncang.

Pemerintah Sudah Bergerak, Tapi Perlu Lebih Dekat ke Warga

Kita juga harus jujur bahwa pemerintah daerah tidak tinggal diam. Sepanjang 2024 hingga 2025, berbagai kebijakan pengendalian inflasi dilakukan: operasi pasar murah, subsidi ongkos distribusi pangan, dan program pelatihan keterampilan bagi UMKM serta pencari kerja. Semua itu menunjukkan arah kebijakan yang proaktif.

Pemerintah juga telah memulai penguatan sektor ekonomi kreatif dan digital, mendorong pelatihan vokasi, serta memperbaiki ekosistem usaha kecil. Itu langkah yang patut diapresiasi. Tapi di lapangan, kebijakan yang baik tetap butuh satu hal lagi: kedekatan dengan realitas warga.

Bagaimana agar bantuan benar-benar sampai ke orang tua tunggal atau lansia yang tinggal di gang sempit? Bagaimana memastikan pelatihan kerja benar-benar sesuai dengan kebutuhan warga dan dunia usaha? Di situlah pentingnya memperkuat pendekatan mikro yang empatik.

Dari Angka Menuju Rasa

Inflasi yang rendah adalah pencapaian penting. Tapi tugas pembangunan tidak berhenti di sana. Angka bisa stabil, tapi rasa hidup warga belum tentu ikut stabil. Kita butuh jembatan antara kebijakan makro dan keseharian masyarakat: dari grafik ke dapur, dari data ke nasi di piring.

Denpasar punya modal sosial dan ekonomi yang kuat. Pemerintah daerah juga sudah berada di jalur yang benar. Kini saatnya memperkuat langkah-langkah itu agar tidak hanya mengejar angka, tapi juga menyentuh rasa: rasa aman, rasa cukup, dan rasa bahwa pemerintah daerah hadir di tengah tantangan hidup sehari-hari.

Karena ketika inflasi rendah, tapi ibu-ibu di pasar tetap harus berutang untuk belanja sayur, maka ada tugas yang masih harus dilanjutkan. Bukan untuk menyalahkan siapa pun, tapi untuk memastikan bahwa pembangunan benar-benar merata. Karena kota yang maju bukan hanya tentang pertumbuhan, tetapi tentang siapa saja yang diajak tumbuh bersama.

Penulis

Dr. Andri Yudhi Supriadi
Kepala BPS Kota Denpasar
Alumni Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia

 

Editor: Redaksi

Reporter: bbn/opn



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami