search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Seni Cekepung, Tandai Penaklukan Kerajaan di Lombok oleh Raja Karangasem
Sabtu, 25 Agustus 2018, 23:20 WITA Follow
image

beritabali.com/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Beritabali.com,Denpasar. Selepas Kerajaan di Lombok ditaklukan Kerajaan Karangasem, Raja Karangasem pada zaman itu merayakannya dengan seni sasakan atau cekepung. Dan sang raja menginginkan kesenian itu hadir di Bali. Tiga seniman Karangasem pun digaetnya kala itu.
 
[pilihan-redaksi]
Adalah Ida Wayan Oka Tangi, Ida Made Putu, dan Ida Ketut Rai yang menjadi utusan raja untuk mempelajari kesenian Cekepung yang kemudian dibawa ke Pulau Dewata. Menurut Ida Wayan Oka Adnyana, Ketua Sanggar Seni Citta Wistara, “Seni cekepung ialah seni kerakyatan, seni sastra, ada juga seni drama, dan seni tarinya. Dasarnya pementasan ini berfokus pada vokal dengan diiringi musik seperti rebab, suling, dan penting (gitar khas Bali).” Dirinya juga mengungkapkan, kesenian ini terus berevolusi sejak dahulu hingga saat ini.
 
Kendati demikian, kesenian tersebut ternyata sepi peminat. Alasannya orang-orang sulit membaca lontar yang menggunakan tulisan Bali dan berbahasa sasak. Untungnya niat baik datang dari Oka Adnyana. “Ada tuntutan orang tua terdahulu agar tetap dilestarikan. Dan saya merasa bersalah seandainya ini tidak bangkit lagi. Makanya kami lestarikan,” ucap Oka Adnyana. 
 
Alhasil Oka dan rekan-rekannya  menghadirkan kesenian cekepung dari panggung ke panggung. Dan kali ini mereka hadir sebagai perwakilan Sanggar Seni Citta Wistara, Desa Budakeling, Kecamatan Karangasem dalam rangka  memeriahkan Bali Mandara Mahalango Ke – V, Jumat (24/08). Penampilan mereka kala itu berlangsung di Kalangan Ratna Kanda yang bertajuk “Diah Winangsia”.  
 
Dikisahkan tiga raja bersaudara masing masing menjadi raja di Indra Pandita, Layang sari, dan Indra Sekar. Raja di Indra Pandita memiliki putri bungsu bernama Diah Winangsia yang kerap difitnah oleh kakak-kakaknya dan menyebabkan Putri Diah Winangsia diasingkan ke taman dengan ditemani Inak Rangda, pengasuhnya. Sementara itu Raja Indra Sekar memilki dua orang putra bernama Raden Kitap Muncar dan Raden Witarasari ( Raden Una). Mendengar kesengsaraan Diah Winangsia, Raden Una menuju Kerajaan Indra Pandita dengan menyamar sebagai seekor kera. Indra Pandita dan sang kera pun menjalani hari-hari bersama. Hingga suatu ketika kedok penyamaran itu terungkap. Raden una menjelaskan bahwa dirinya mencintai Indra Pandita. Mereka pun hidup bahagia di kerajaan tersebut, akhirnya.
 
[pilihan-redaksi2]
Penampilan ini melibatkan generasi ke tiga dan ke empat Sanggar Seni Citta Wistara, Ida Wayan Gautama, Pemain Cekepung Sanggar Seni Citta Wistara menuturkan. Kelompok itu telah sering mementaskan kesenian cekepung, memang. Namun tak dipungkiri Wayan Gautama, ada rasa letih yang menyelimutinya. “Dalam proses latihan kurang lebih dua minggu. Dan ya jelas capek,” ujar Wayan Gautama. 
 
Walau demikian, itu bukanlah suatu yang teramat berarti. Adanya kolaborasi dengan anak-anak yang dimana dalam prosesi latihan menjadi pelipur lara tersendiri bagi Wayan Gautama. Itulah barangkali kenikmatan dalam bermain Cekepung Bagi Wayan gautama. Lain lagi kenikmatannya bagi Oka Adnyana. “Kesenian ini mengajarkan bagaiman rasa kebersamaan, toleransi, dan melestarikan sastra,” ucap Oka Adnyana santai. (bbn/rls/rob)       
             

Reporter: bbn/rls



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami