search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Mengembalikan Program KB "Keluarga Bali" 4 Anak
Kamis, 29 November 2018, 11:00 WITA Follow
image

beritabali.com/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Gubernur Bali I Wayan Koster merealisasikan janjinya untuk mengembalikan program KB “Keluarga Bali” dengan 4 anak. Koster meminta sosialisasi program keluarga berencana (KB) dengan dua anak dihentikan.  

Program KB dua anak cukup, dinilai tidak sejalan dengan adat, kultur dan budaya Bali. Program tersebut juga dinilai telah memutus generasi Bali yang telah sekian lama ada secara turun-temurun, yaitu putusnya generasi Nyoman dan Ketut. Saat peringatan HUT PGRI di Taman Budaya, Denpasar pada Senin (26/11) lalu, Koster mengakui sudah sempat menyampaikan kepada Kepala BKKBN pusat untuk tidak mengkampanyekan dua anak di Bali.

Ketua Yayasan Bali Sruti Dr. Luh Riniti Rahayu menyatakan program KB sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan. Mengingat pada dasarnya jumlah 4 anak juga merupakan program KB, hanya jumlah yang berbeda.

“Yang penting direncanakan dengan baik agar hak-hak anak yang lahir kelak tidak terabaikan,” ungkap Riniti Rahayu saat dikonfirmasi melalui telepon pada Rabu (28/11).

Menurut aktivis perempuan ini, himbauan gubernur Bali untuk melestarikan nama Nyoman dan Ketut kepada masyarakat Bali adalah sesuatu yang sah. Apalagi masyarakat Bali mempunyai budaya 4 anak, sehingga dalam rangka menghidari musnahnya budaya Bali maka ajakan tersebut tidak bermasalah. “Bagaimana pun program dua anak yang disebutkan dalam undang-undang, kan tidak ada sanksinya, jadi mau punya anak berapapun, lebih dari dua tidak ada sanksinya” tegas Riniti Rahayu yang juga merupakan akademisi dari Universitas Ngurah Rai, Denpasar.

Hal senada juga disampaikan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Mahendradatta Dr. AA Ngurah Agung Wira Bima Wikrama, ST., M.Si. Menurut Ngurah Bima, program nasional KB mengamanatkan keluarga berencana, yang artinya setiap keluarga harus merencanakan keluarganya agar sejahtera. Bukan justru membatasi jumlah kelahiran anggota keluarga.

“Coba dilihat kembali, adakah dalam UUD 1945 menyebutkan pembatasan kelahiran, tidak ada. Undang-undang juga demikian. KB itu keluarga berencana, keluarga yang direncanakan oleh setiap rumah tangga, sehingga kualitas keluarga menjadi lebih baik” ucap Ngurah Bima.

Ngurah Bima yang juga merupakan penglingsir Puri Denpasar menegaskan bahwa pernyataan Gubernur Bali terkait pelestarian tradisi 4 anak dalam keluarga Bali perlu mendapat dukungan dari masyarakat adat di Bali. Apalagi tujuannya adalah pelestarian adat, tradisi dan budaya daerah Bali. Dalam UUD 1945 juga menyebutkan bahwa pemerintah diwajibkan untuk membangun kebudayaan nasional.

“Dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah. Jadi pernyataan gubernur saat ini sudah tepat dan perlu didukung” jelas Ngurah Bima.

Komisioner Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPAD) Bali Ni Luh Gede Yastini mengungkapkan istilah dua anak cukup sebenarnya hanya sebuah slogan dan tidak ada larangan punya anak lebih dari dua. Jadi perdebatannya bukan soal jumlah 2 atau 4 anak, tetapi bagaimana upaya  pemenuhan terhadap hak anak dan perlindungan anak dilakukan.

“Bagi saya berapa pun jumlah anak yang ada di keluarga di Bali, tentu pemerintah provinsi Bali harus memastikan hak-hak anak terpenuhi. Untuk itu berbagai upaya harus dilakukan termasuk melakukan penyadaran pada masyarakat tentang hak anak. Selama ini ada atau tidak anjuran pemerintah, banyak juga orang tua yang mempunyai anak 4, bahkan lebih,” tegas Yastini.

Yastini menegaskan yang terpenting dilakukan saat ini adalah penyadaran, sehingga orang tua bisa menentukan dan merencanakan  jumlah anak dalam keluarga. Tentu perencanaan yang dibuat dilandasi dengan kesadaran tentang tanggungjawab yang juga harus dipenuhi. “Intinya punya anak berapa pun jumlahnya yang penting hak-haknya bisa dipenuhi, baik oleh orang tua dan juga Negara” ungkap Yastini.

Dalam Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, sangat jelas diberikan batasan bahwa Keluarga Berencana adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi, perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas. Sedangkan keluarga berkualitas diberikan definisi sebagai keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah dan bercirikan sejahtera, sehat maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan kedepan, bertanggungjawab, harmonis dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009, terutama pasal 5 poin i disebutkan bahwa hak penduduk menetapkan keluarga ideal secara bertanggungjawab mengenai jumlah anak, jarak kelahiran dan umur melahirkan. Dalam pasal 5 poin n juga ditegaskan bahwa hak penduduk yaitu mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai adat yang hidup dalam masyarakat.

Sebelumnya Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar Dr. I Nyoman Subanda sempat menyampaikan bahwa salah satu persoalan kependudukan di Bali yang cukup mendasar adalah permasalahan penduduk pendatang. Persoalan penduduk pendatang ini bukan masalah ras, tetapi bagaimana melakukan penataan dan pengelolaan. 

“Penelitian saya tentang desa, di Pecatu saja, penduduk pendatangnya jauh lebih banyak dari penduduk aslinya, bukan masalah penduduk pendatang dan asli tetapi efek dari akibat tidak terkelola bisa menimbulkan kejahatan dan kriminalitas yang tinggi,” papar Subanda.

Mengutip hasil penelitian Ida Putu Mudita dari BKKBN Provinsi Bali yang berjudul “Perbedaan Fertilitas Antara Penduduk Pendatang dan Penduduk Lokal: Sebuah Studi Kasus di Daerah Perkotaan di Kota Denpasar" yang dipublikasikan dalam Jurnal Piramida, Volume V nomor 1 tahun 2009 menyebutkan jika tingginya Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) di Provinsi Bali lebih disebabkan karena adanya migrasi netto, selain adanya sumbangan angka kelahiran.

Disebutkan usia kawin pertama wanita (UKPW) di kalangan penduduk pendatang mencapai 20,6 tahun. Penduduk pendatang yang usia kawin pertama wanitanya di bawah 20 tahun umumnya berlangsung di daerah asal, sedangkan yang melangsungkan perkawinan di Bali rata-rata usia kawin pertama wanitanya sudah di atas 20 tahun. Selain itu, rata-rata jumlah jiwa di kalangan penduduk tinggal sementara (PTS) 3,1 anak. Penyebabnya karena sebagian besar dari mereka merupakan pasangan usia subur muda. Pada kalangan penduduk pendatang yang sudah menjadi penduduk tetap rata-rata jumlah jiwa dalam keluarga mencapai 4,3 anak. Etnis Jawa rata-ratanya paling besar 4,5 orang, dan yang paling kecil adalah Etnis Madura 3,0 orang.

Reporter: bbn/mul



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami