Saput Poleng Pada Pohon, Bentuk Komitmen Masyarakat Bali Dalam Melestarikan Lingkungan
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Saput poleng atau kain bermotif kotak dan berwarna hitam-putih di Bali mungkin sudah sangat umum dan mudah ditemui. Selain digunakan sebagai wastra (kain yang dililitkan di pelinggih), saput poleng yang bermakna rwabhineda (dua sifat yang bertolak belakang) juga umum dililitkan pada pohon.
Namun saput poleng yang dililitkan pada pohon selama ini cenderung dikaitkan dengan kekuatan magis. Apalagi jika kemudian pohon yang dililit dengan saput poleng berada di daerah yang dikenal dengan istilah tenget atau angker. Padahal jika ditinjau dari sisi ilmiah maka saput poleng yang dililitkan pada pohon merupakan bentuk implementasi dari konsep Tri Hita Karana.
Sebuah konsep untuk menuju kehidupan yang harmonis melalui upaya menjaga hubungan manusia dengan tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Pemakaian saput poleng pada pohon bila ditinjau dari sisi hubungan manusia dengan Tuhan dapat diartikan sebagai ungkapan terima kasih kepada Tuhan atas pohon yang diciptakan. Cara mengungkapkan ucapan terima kasih tersebut yaitu dengan memperlakukan pohon layaknya manusia yaitu dengan memberikan pakaian berupa saput poleng. Selain itu juga dengan meletakkan canang atau sesajen yang berisi bunga warna-warni dan dupa dengan bau wangi semerbak. Sebuah ungkapan terima kasih yang tulus karena melalui pohon, manusia dapat menikmati buah, udara yang sejuk dan oksigen untuk hidup.
Dapat dikatakan ini cara sederhana warga Hindu Bali dalam mensyukuri ciptaan Tuhan. Saat pohon berbuah maka manusia mendapatkan stok pangan. Pohon juga setiap hari menyediakan oksigen secara gratis dan menyediakan dalam jumlah yang tak terbatas. Sahid, Rohmat, dan Malik dari Departemen Pendidikan Geografi, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia, dalam artikel ilmiah berjudul “Kajian Ruang Terbuka Hijau dan Pemenuhan Kebutuhan Oksigen di Kampus Universitas Pendidikan Indonesia Bandung” yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Antologi Geografi, Volume 4, Nomor 1 tahun 2016 menyebutkan Satu pohon dengan diameter batang 21 cm dapat menghasilkan produksi oksigen sebesar 957,36 gr/hari. Sedangkan konsumsi oksigen satu orang dewasa dalam aktivitas normal mencapai 864gr/hari.
Saput poleng pada pohon, bila kemudian ditinjau dari hubungan manusia dengan manusia dapat diartikan sebagai tanda untuk saling mengingatkan agar tidak menebang ataupun mengganggu pohon yang berselimut saput poleng. Sebuah tanda yang memiliki ajakan untuk bersama-sama menjaga dan melestarikan pohon. Hingga tidak jarang kemudian pohon yang diselimuti dengan saput poleng dikaitkan dengan kata tenget atau angker. Tatkala dikaitkan dengan istilah tenget maka mengandung maksud larangan. Larangan untuk tidak merusak dan termasuk larangan untuk tidak membangun di lokasi tenget. Jika kemudian terdapat tindakan merusak maka akan mengganggu keseimbangan alam di tempat tersebut, termasuk akan berdampak pada manusia.
Dalam kaitannya dengan hubungan manusia dan alam maka menyelimuti pohon dengan saput poleng memiliki arti bentuk komitmen untuk menjaga dan melestarikan pohon tersebut. Ketika pohon mampu dijaga maka akan berdampak tidak langsung terhadap kehidupan hewan lainnya. Mengingat tidak jarang pohon yang diselimuti saput poleng menjadi tempat burung atau hewan lainnya mencari makan hingga tempat membuat sarang. Dalam hal ini dapat pula diartikan bahwa pemakaian saput poleng pada pohon adalah sebuah kearifan lokal masyarakat Bali dalam menjaga kelestarian lingkungan. Kearifan masyarakat Bali dalam menjaga ekosistem alam dengan cara-cara yang sangat sederhana dan penuh makna.
Biasanya masyarakat Bali juga tidak sembarangan dalam memilih pohon untuk diberikan saput poleng. Pohon yang diberikan saput poleng umumnya erat kaitannya dengan fungsi dan manfaat pohon tersebut bagi masyarakat. Salah satu pohon yang sering kita jumpai diselimuti dengan saput poleng adalah pohon beringin. Pohon Beringin yang bagi masyarakat Bali termasuk kayu larangan, bukan hanya memiliki peran vital dalam upacara Ngaben bagi masyarakat Bali tetapi juga sebagai obat. Beringin sejak dahulu telah dimanfaatkan sebagai obat, untuk mengobati berbagai macam penyakit dari sperma encer hingga kencing nanah. Manfaat pohon beringin tersebut telah dituangkan dalam sebuah artikel ilmiah berjudul “Fungsi dan Makna Simbolis Pohon Beringin dalam Kehidupan Masyarakat Bali” yang ditulis oleh Ni Luh Sutjiati Beratha, I Made Rajeg dan Ni Wayan Sukarini, serta dipublikasikan dalam Jurnal Kajian Bali Volume 08, Nomor 02 tahun 2018.
Keberadaan pohon beringin sering dikait-kaitkan dengan tumbuhan sorga. Bijinya yang kecil dapat tumbuh menjadi tumbuhan besar yang memberikan kesejukan sekaligus peneduh bagi yang berteduh di bawahnya. Akarnya yang kuat melambangkan kekokohan yang tak tergoyahkan. Daun beringin secara filsafati bagi umat Hindu sebagai lambang kesucian, lambing agni, dan sebagai alas untuk kesucian, baik dalam upacara Dewa Yajnya, Pitra Yadnya, maupun pelaksanaan yajnya lainnya.
Jadi saput poleng yang dililitkan pada pohon bukanlah hanya sekedar hiasan semata, namun sebuah simbul dan bentuk kearifan lokal yang syarat makna. Sudah saatnya kearifan lokal seperti ini direvitalisasi dan dihidupkan kembali sebagai bagian untuk menjaga keseimbangan alam. Dalam era pembangunan yang menitik beratkan pada pertumbuhan ekonomi seperti saat ini, sudah saatnya kita kembali mempertimbangkan keseimbangan alam agar pembangunan berkelanjutan. Tentu tiada guna jika pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tidak disertai dengan kelestarian alam dan sangat tidak berguna dana yang jumlahnya triliunan rupiah jika tidak ada pohon yang menghasilkan oksigen. Meski oksigen dapat dibeli dan tersedia dalam bentuk tabung, tapi sayang jumlahnya sangat terbatas. Maka akan lebih baik menjaga dan melestarikan pohon yang menyediakan oksigen secara gratis dan berkesinambungan.
Reporter: bbn/mul