search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Rekonstruksi Pariwisata Budaya Pasca Pandemi
Kamis, 23 Juli 2020, 14:30 WITA Follow
image

beritabali/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Sebuah foto mengingatkan saya akan ramainya pulau Bali di kala itu. Triwulan telah terlewati, namun kegiatan pariwisata pun masih terhenti hingga kini. Deburan ombak di pantai kuta, pertunjukan seni di Ubud, dan tari kecak di Uluwatu seakan mulai samar-samar untuk diingat. 

Jika dilihat secara seksama, pariwisata di Bali telah menggunakan aspek budaya sebagai fondasi untuk menarik wisatawan. Hal ini pun didukung oleh survei yang menyebutkan 65% turis lebih menyukai pesona dari budaya lokal daripada wisata alam maupun buatan. 

Bangga rasanya pulau yang disebut The Island of God ini telah dinobatkan menjadi pulau terbaik se-dunia selama lebih dari 10 kali oleh DestinAsian Readers Choice Award (RCA). Semua hal itu tidak terlepas dari dukungan pariwisata budaya itu tersendiri.  

Seperti halnya sepeda yang harus terus dikayuh agar tidak jatuh, begitu pula dengan nasib pariwisata di Bali. Sudah cukup rasanya untuk berdiam diri di rumah, belajar di rumah, bekerja di rumah. Orang-orang saat ini sedang memikirkan tentang tatanan hidup baru pasca pandemi. Musibah ini telah melumpuhkan ekonomi Bali yang mayoritas berasal dari industri pariwisata. 

Arahan dari Gubernur Bali, Wayan Koster, beberapa minggu lalu yang menyebutkan akan membuka pariwisata kembali pada bulan Juli 2020 seakan memberi angin segar. Walaupun belum terdapat tanggal pasti, masyarakat telah menyambut hal tersebut dengan optimis.  

Memikirkan pariwisata untuk ke depan, tentu diharuskan untuk mematuhi tatanan hidup baru yang mengedepankan aspek kesehatan, kebersihan, dan keamanan. Sementara itu, budaya yang biasanya menjadi atraksi wisatawan seperti seni tari, seni tabuh, seni pertunjukkan, maupun upacara adat lokal sangat bertentangan dengan aspek-aspek “New Normal” tersebut. Kemudian muncullah pertanyaan, “Apakah pariwisata budaya kita masih bisa bertahan?”.

Pusat Budaya Baru

Pariwisata budaya, pada kenyataannya, tidak semata-mata hanya pementasan tari di sebuah tempat, tidak hanya sebatas mengunjungi prosesi upacara adat setempat. Itu hanya sebagian kecil dari pariwisata budaya karena faktanya ia mencangkup banyak hal seperti mempelajari keadaan rakyat, kebiasaan, maupun adat istiadatnya.

 Selama ini wisata budaya identik dengan kunjungan ke dalam kegiatan-kegiatan budaya. Para turis pun menikmati “proses” dari sebuah budaya tersebut. Tidak dapat dipungkiri, sebagian besar budaya yang telah menjadi ciri khas Bali itu pun telah dilarang karena ketidaksesuaiannya dengan protokol kesehatan. 

Namun, tanpa disadari Bali masih memiliki banyak warisan budaya yang dapat diperlihatkan kepada turis yang datang ke Bali. Semua itu masih bisa kita gali, kembangkan dan lestarikan sehingga menjadi daya tarik wisata.

Dalam situasi saat ini, kita bisa memaksimalkan pemanfaatan museum sebagai pusat budaya untuk sementara waktu. Walaupun nantinya mereka yang datang ke Bali tidak dapat merasakan secara langsung kebiasaan masyarakat, tapi mereka dapat menikmatinya dalam bentuk hasil budaya (output). Seumpamanya, jika turis tidak dapat menikmati pawai ogoh-ogoh di Bali, mereka bisa melihat ogoh-ogoh tersebut di museum. 

Alternatif Jangka Pendek

Museum di Bali terkenal akan cerminan aspek budaya dan sejarah pulau Dewata. Museum tersebut sangat berkaitan dengan pariwisata budaya karena mengandalkan potensi kebudayaan sebagai daya tarik paling dominan. 

Berdasarkan buku dari Pariwisata dan Dinamika Kebudayaan Lokal, Nasional, Global., museum menyimpan 9 dari 10 elemen budaya yang menjadi daya tarik wisata, yaitu: koleksi berupa kerajinan, tradisi, sejarah dari suatu tempat, arsitektur Bali, kesenian, cara hidup masyarakat, agama, bahasa, dan pakaian tradisional (Geriya, 1995).

Merujuk pada situasi saat ini, museum pun nyatanya memang tidak sesuai dengan tiga aspek penting dari konsep “New Normal”, yaitu kesehatan, kebersihan, dan keamanan. Museum dapat menarik orang-orang untuk berkumpul yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah pembatasan jarak aman antar manusia. 

Namun tidak sama seperti pariwisata budaya lainnya, perihal konsep “New Normal” sebenarnya dapat disesuaikan dengan museum tanpa mengurangi makna dari setiap budaya. Seperti, museum dapat memakai sistem tiket untuk mengontrol pengunjung yang datang, menyediakan hand sanitizer di beberapa titik, maupun protokol kesehatan lainnya yang sesuai.

Situasi akan berbeda jika pertunjukan seperti tari kecak yang disesuaikan dengan kaidah physical distancing sehingga hal tersebut memang tidak mungkin untuk dilakukan. Jadi kiranya museum dapat dijadikan alternatif untuk jangka pendek yang tepat di kala pariwisata budaya berada di ambang batas.  

Sebuah Harapan Besar

Terlepas dari potensi museum sebagai pusat budaya, Jurnal Destinasi Pariwisata menyebutkan ada dua hal yang mendapat tanggapan tidak baik mengenai museum di Bali, yaitu tentang pelayanan informasi dan atraksi budaya (Wirayathi & Suryasih, 2017). Hal ini memang benar adanya. Mungkin ini saatnya kita membenahi dan mengembangkan museum di Bali menjadi pusat budaya. 

Peran pemandu wisata yang dapat memahami makna dan cerita dari setiap koleksi museum akan sangat krusial bagi museum di Bali di era baru ini. Hal ini dikarenakan minimnya informasi yang tersedia di setiap koleksi museum. Apalagi didukung dan dikembangkannya atraksi budaya yang cocok dengan konsep “New Normal”. 

Tentu, museum di era “New Normal” seharusnya berbeda seperti apa yang dibayangkan sebelumnya. Akan lebih menarik lagi jika museum kita bisa didukung dengan teknologi augmented reality ataupun virtual reality. Mungkin para turis tidak merasakan perbedaan lagi antara wisata budaya sebelum dan sesudah pandemi. Rekonstruksi inilah yang mungkin diperlukan untuk mendukung museum sebagai alternatif wisata budaya.

Mungkin hal ini seakan tidak lagi memperlihatkan bagian budaya Bali yang sesungguhnya terutama yang bersifat hidup, seperti pawai budaya. Maka dari itu, marilah para budayawan Bali, mari memikirkan bersama untuk jangka panjang seperti apa budaya kita akan dilihat nantinya. 

Karena kita sama-sama tahu bahwa pandemi ini tidak akan selesai dalam beberapa bulan. Situasi seolah memaksa kita untuk memodifikasi budaya yang ada. Tapi yang terpenting adalah bagaimana perubahan yang bersifat jangka panjang ini dapat berjalan tanpa menghilangkan sedikit pun makna dari budaya itu sendiri. 

Karena itu, sangat diperlukan peran pemerintah dalam mengembangkan era baru pariwisata budaya. Pemerintah harus tetap mempertahankan wisata budaya yang menjadi ciri khas Bali dengan tetap mengikuti konsep tatanan hidup baru. Kita harus bisa mempertahankan wisata budaya kita melalui wisata museum, walaupun mungkin hanya bersifat sementara. 

Harapannya di era “New Normal” ini, kita tidak perlu khawatir jika tari Kecak atau kolosal lainnya, untuk sementara waktu, tidak bisa dipentaskan. Karena kita yakin dan memang harus yakin, pariwisata budaya akan tetap bisa bertahan.

Penulis : I Nyoman Teja Semara Pradipta
[Undergraduate Student at The University of Arizona]

Reporter: bbn/opn



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami