Belajar di Bale Banjar: Potret Pendidikan di Tengah Pandemi
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Momentum adaptasi kebiasaan baru memaksa transformasi ke berbagai lini kehidupan termasuk pendidikan. Digital is the now normal.
[pilihan-redaksi]
Penerapan sistem pembelajaran daring secara resmi dianjurkan oleh Menteri Pendidikan Republik Indonesia melalui Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19.
Upaya ini tentu tidak terlepas dari percepatan penanggulangan penyebaran wabah penyakit yang disebabkan oleh virus corona. Singkat cerita dalam situasi genting saat ini pembelajaran dengan tatap muka tidak dianjurkan dilaksanakan. Semua aktivitas belajar dilakukan secara daring dari rumah. Sudah siapkah kita?
Perubahan masif menuju pembelajaran daring bukan lagi pilihan namun telah berubah menjadi tuntutan. Badai pandemi yang belum menemui ujung akhirnya bukan menjadi alasan untuk tidak melanjutkan proses pembelajaran.
Pro dan kontra sistem pembelajaran daring tidak dapat dihindari. Sistem pembelajaran jarak jauh menjadi salah satu strategi dalam akselerasi pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas, apalagi di era revolusi industri 4.0. Laporan World Economic Forum (WEF) pada tahun 2019 mencatat capaian Global Competitiveness Index Indonesia menduduki peringkat ke-50 dunia turun lima peringkat dari tahun sebelumnya.
Dengan demikian percepatan pembangunan dengan literasi teknologi untuk mendongkrak capaian dasar kesejahteraan sosial termasuk pendidikan sebaiknya tidak ditunda lagi meskipun di masa pandemi.
Di sisi lain, pembelajaran daring masih menyisakan problematika yang tidak mudah. Dari segi infrastruktur tidak semua peserta didik memiliki akses internet dan perangkat penunjang yang memadai untuk mengikuti pembelajaran secara daring. Selain itu kondisi pandemi menyebabkan sebagian orang tua siswa mereka mengalami kesulitan ekonomi.
Pengeluran tambahan untuk paket data, penunjang perangkat sekolah seperti gawai dan komputer tentu tidak dapat dianggap enteng. Seorang siswa di Rembang Jawa Tengah bahkan harus ke sekolah seorang diri demi mengikuti pelajaran di kelas karena tidak memiliki telepon pintar seperti dikutip dari Kompas.com.
Tantangan ini mungkin saja tidak hanya terjadi di Jawa Tengah tapi sangat berpotensi terjadi di wilayah di luar Jawa. Disparitas infrastruktur dan topografi wilayah berpotensi memicu ketimpangan yang lebih dalam.
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2019 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik melaporkan bahwa di Provinsi Bali diperkirakan 18,62 persen penduduk berumur 5 tahun ke atas yang menggunakan computer (PC/Dekstop, Laptop/Notebook, Tablet) dalam 3 bulan terakhir.
Sementara itu persentase penduduk yang mengakses internet untuk kelompok umur dan periode waktu yang sama diperkirakan mencapai 54,08 persen. Ketimpangan antara penduduk perkotaan dan perdesaan tempampang nyata dimana persentase penduduk perkotaan yang mengakses internet mencapai 61,27 persen sementara penduduk perdesaan nyaris separuhnya yaitu 38,29 persen.
Salah satu strategi yang diterapkan untuk mendukung berjalannya proses belajar selama masa pandemi adalah dengan mengoptimalkan fasilitas publik seperti yang dilakukan di salah satu desa di Provinsi Bali. Kelian Adat Banjar Petangan Gede menginisiasi penggunaan wifi di bale banjar atau balai desa untuk membantu mengurangi beban biaya kuota internet untuk menunjang penduduk di wilayah tersebut mengikuti kegiatan belajar daring.
Meskipun demikian jumlah yang ditentukan hanya mampu menampung sebagian kecil dari jumlah siswa akibat keterbatasan bandwith internet yang tersedia. Setiap harinya dibatasi sebanyak 20 orang siswa untuk dapat mengakses wifi secara gratis untuk belajar daring di bale banjar tentunya dengan mengutamakan protokol kesehatan. Mereka tetap menjaga jarak, menggunakan masker, dan melakukan pengecekan suhu tubuh sebagai bentuk pencegahan penyebaran virus Covid-19.
Gubernur Bali telah merancang program penyediaan internet gratis yang merupakan bagian dari Bali Smart Island bahkan sebelum badai pandemi datang dalam program kerja selama lima tahun kedepan. Program ini dilakukan dengan memperluas akses internet dengan pemasangan wifi gratis di 1.681 titik yang tersebar di sekitar 1.493 desa adat di seluruh Bali.
Penyediaan internet gratis awalnya dilakukan dengan tujuan agar seluruh masyarakat Bali bisa menjangkau informasi yang bersumber dari internet. Dengan memanfaatkan teknologi informasi diharapkan bisa menggali dan mengenalkan potensi desa. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan pelaksanaan program ini disesuaikan di masa pandemi dan jelas menjadi keunggulan tersendiri bagi Provinsi Bali untuk membantu pendidikan berbasis daring.
Keberadaan wifi gratis di bale banjar menjadi angin segar bagi pendidikan di masa pandemi. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali mencatat bahwa dalam situasi normal sebelum pandemi setiap rumah tangga mengalokasikan pengeluaran bukan bahan makanannya sebesar 5,76 persen untuk biaya informasi dan komunikasi.
Artinya, selain membantu siswa untuk mendapatkan hak dasar mendapatkan pendidikan, internet gratis juga membantu meringankan beban ekonomi penduduk di masa pandemi. Alternatif ini setidaknya bisa juga diadopsi oleh wilayah lain di seluruh Bali.
Badai pandemi memang telah membuat semua lini terpukul hingga babak belur. Momentum ini menjadi tantangan sendiri bagi semua pihak untuk bangkit. Pendidikan mungkin belum optimal dengan daring, perekonomian pun masih berada di ambang resesi.
Namun bukan berarti kita harus terpuruk meratapi badai pandemi yang belum jelas kapan akan berakhir. Pendidikan adalah hak bagi warga negara Indonesia yang tercantum sebagai cita-cita negara dalam pasal 31 ayat 1 UUD 1945. Pandemi bukanlah penghalang untuk menghentikan proses pendidikan. Proses belajar harus terus diupayakan demi generasi yang berkualitas menuju Indonesia emas 2045.
Penulis
I Gede Heprin Prayasta
Mahasiswa Magister Ilmu Ekonomi
Universitas Udayana
Reporter: bbn/opn