search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Resesi Global Makin Nyata, Ini 5 Tanda-Tandanya
Kamis, 6 Oktober 2022, 07:41 WITA Follow
image

beritabali.com/cnbcindonesia.com/Resesi Global Makin Nyata, Ini 5 Tanda-Tandanya

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DUNIA.

Ramalan terkait pelemahan ekonomi di seluruh dunia semakin nyata. Setidaknya sejumlah tanda sudah bermunculan. Lalu, apa saja bukti-buktinya? Berikut seperti dikutip CNN Business, Rabu (5/10/2022):

1. Kuatnya Dolar Amerika Serikat (AS) dan Suku Bunga The Fed yang Tinggi

Dolar AS memainkan peran besar dalam ekonomi global dan keuangan internasional. Dan sekarang, mata uang itu lebih kuat dari dua dekade sebelumnya.

Kuatnya mata uang nomor satu dunia ini akhirnya akan melemahkan nilai mata uang lainnya seperti Euro, Yen, bahkan Rupiah. Ini menjadikan impor semakin mahal.

Selain itu, ketika bank sentral AS menaikkan suku bunga, seperti yang telah dilakukan sejak Maret, itu membuat dolar lebih menarik bagi investor di seluruh dunia. Ini akhirnya membuat dana investasi berpindah menuju Negeri Paman Sam dari negara-negara lain di dunia.

2. Macetnya Mesin Ekonomi AS

Sebagai ekonomi terbesar dunia, kondisi perekonomian AS juga merupakan pertimbangan penting bagi negara-negara lain. Dan kali ini, penggerak ekonomi nomor satu negara itu mulai terhenti.

Penggerak ekonomi nomor satu AS adalah konsumsi atau belanja. Namun akhir-akhir ini, konsumen di negara itu mulai perlahan mengurangi belanjanya akibat inflasi dan suku bunga yang meninggi.

"Kesulitan yang disebabkan oleh inflasi berarti konsumen mencelupkan ke dalam tabungan mereka," kata Kepala Ekonom EY Parthenon Gregory Daco dalam sebuah catatan.

Ini nantinya akan berdampak pada negara-negara yang mengekspor produknya ke AS. Pasalnya, AS juga merupakan importir terbesar dunia dan bagi Indonesia, negara adidaya itu juga menjadi mitra dagang yang besar.

3. Pasar Saham yang Memburuk

Pasar saham sekarang berada di jalur untuk tahun terburuk mereka sejak 2008. Ini didalangi oleh langkah The Fed yang menaikan suku bunga sehingga mengganggu pasar.

Kebijakan itu cukup mendorong penurunan yang brutal. Indeks saham terbesar di Wall Street seperti S&P 500 turun hampir 24 persen untuk tahun ini. Indeks lainnya juga turun hingga 20 persen pada periode yang sama.

Pasar obligasi juga disebut mengalami gangguan. Inflasi, bersama dengan kenaikan tajam suku bunga oleh bank sentral, telah mendorong harga obligasi turun.

Pada hari Rabu lalu, imbal hasil pada Treasury AS 10-tahun secara singkat melampaui 4 persen, mencapai level tertinggi dalam 14 tahun. Lonjakan itu diikuti oleh penurunan tajam sebagai tanggapan atas intervensi Bank of England di pasar obligasinya sendiri.

Imbal hasil obligasi Eropa juga melonjak karena bank sentral mengikuti jejak The Fed dalam menaikkan suku bunga untuk menopang mata uang mereka sendiri.

4. Perang, Inflasi, dan Kebijakan 'Ngawur'

Tidak ada negara yang mengalami fenomena bencana ekonomi, keuangan, dan politik lebih parah daripada Inggris.

Seperti negara-negara lain di dunia, Inggris telah berjuang dengan lonjakan harga yang sebagian besar disebabkan oleh kejutan kolosal Covid-19, diikuti oleh gangguan perdagangan yang diciptakan oleh serangan Rusia ke Ukraina. Ketika Barat memotong impor gas alam Rusia, harga energi melonjak dan pasokan berkurang.

Masalah tidak berhenti di situ. Sepekan yang lalu, Perdana Menteri (PM) Liz Truss yang baru dilantik mengumumkan rencana pemotongan pajak besar-besaran. Namun, untuk mengkompensasi potensi pendapatan yang hilang dari pemotongan ini, Truss memutuskan untuk berutang.

Keputusan itu memicu kepanikan di pasar keuangan dan menempatkan Downing Street dalam kebuntuan dengan bank sentral independennya, Bank of England (BOE). Pasalnya, bank sentral itu telah dan masih akan terus menaikan suku bunga.

Ini kemudian mendorong investor di seluruh dunia berbondong-bondong menjual obligasi Inggris dan menjatuhkan pound ke level terendah terhadap dolar dalam hampir 230 tahun.

BOE melakukan intervensi darurat untuk membeli obligasi Inggris pada hari Rabu dan memulihkan ketertiban di pasar keuangan. Itu membendung pendarahan, untuk saat ini. Tapi efek riak dari gejolak Trussonomics menyebar jauh melampaui kantor pedagang obligasi.

Di sisi lain, warga Inggris, yang sudah berada dalam krisis biaya hidup dengan inflasi 10% sekarang panik atas biaya pinjaman yang lebih tinggi. Kenaikan suku bunga pun dapat memaksa jutaan pembayaran hipotek bulanan untuk properti naik ratusan hingga ribuan pound.

5. Ramalan 'Awan Gelap' Resesi

Sementara konsensusnya adalah bahwa resesi global kemungkinan terjadi pada tahun 2023, masih sulit untuk memprediksi seberapa parahnya atau berapa lama itu akan berlangsung.

Beberapa ekonomi, terutama AS dengan pasar tenaga kerja yang kuat dan konsumen yang tangguh, akan mampu menahan pukulan lebih baik daripada yang lain.

"Kami berada di perairan yang belum dipetakan dalam beberapa bulan ke depan," tulis ekonom di Forum Ekonomi Dunia (WEF) dalam sebuah laporan minggu ini.

Di sisi lain, negara-negara berkembang yang memiliki utang dengan negara maju akan kesulitan untuk membayar utangnya karena kenaikan suku bunga.

"Semua wilayah akan terpengaruh, tetapi bel alarm paling sering berbunyi untuk negara-negara berkembang, banyak di antaranya mendekati default utang," kata UNCTAD dalam Laporan Perdagangan dan Pembangunan 2022.(sumber: cnbcindonesia.com)

Editor: Robby

Reporter: bbn/net



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami