Imaji Bali di Media dan Upaya Pembalikan Wacana
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Paska pandemi Covid-19, Pulau Dewata Bali kerap menjadi korban penggambaran negatif oleh media.
Dari media lokal hingga internasional, dari media konvensional hingga daring, destinasi wisata dunia ini tidak pernah luput dari berbagai pemberitaan. Sepanjang tahun 2024 saja, ada setidaknya beberapa pembingkaian berita negatif mengenai Bali yang ditampilkan.
Pertama, Bali digambarkan sebagai destinasi wisata yang jumlah kunjungan wisatawannya telah melampaui kapasitas, atau kerap disebut sebagai overtourism. Kondisi ini menyebabkan berbagai masalah, seperti menurunnya kualitas hidup, persoalan lingkungan, hingga perubahan lanskap di daerah tersebut.
Kedua, seiring dengan kondisi overtourism tersebut, pemberitaan mengenai Bali kerap diramaikan dengan kasus-kasus turis yang berulah – dari mengganggu ketertiban, tinggal lebih lama dari ijin yang diberikan, hingga penyalahgunaan ijin tinggal.
Persoalan ini kerap dikaitkan dengan lemahnya penegakan hukum dan birokrasi yang korup. Ketiga, persoalan transportasi yang tak kunjung mendapatkan solusinya, seperti kemacetan, kurangnya sarana dan prasarana transportasi publik, hingga kurangnya kesadaran warga untuk beralih menggunakan transportasi publik yang lebih berkelanjutan.
Kemudian, memasuki awal tahun 2025, pemberitaan media nasional juga diramaikan dengan persoalan pungutan terhadap pendatang, termasuk bagi warga Hindu Bali yang berasal dari luar daerah. Isu ini marak setelah KPK dan Ombudsman RI menemukan dugaan potensi penyelewengan dalam penarikan pungutan tersebut.
Meski pada 2024 kunjungan wisatawan asing ke Bali mencatatkan angka 6,3 juta atau naik sebanyak 19,5 persen dari tahun sebelumnya, bukan tidak mungkin pemberitaan negatif yang bertubi-tubi terkait penyelenggaraan kehidupan publik di Bali ini dapat menurunkan minat wisatawan untuk berkunjung.
Apalagi, wisatawan membutuhkan jaminan atas rasa aman dan nyaman selama periode kunjungan mereka disamping atraksi utama yang ditawarkan. Situs web perjalanan Fodor, misalnya, memasukkan Bali ke dalam daftar tempat-tempat yang sebaiknya tidak dikunjungi untuk berwisata pada 2025.
Setiap tahunnya, situs ini menerbitkan “No List” yang menjelaskan tempat-tempat yang harus dihindari wisatawan pada tahun berikutnya karena mereka perlu istirahat dari pariwisata. Tempat-tempat ini tidak buruk, jelas Fodor lebih lanjut. Namun, keindahan alam, budaya, dan sejarah mereka adalah yang menyebabkan mengapa mereka menjadi begitu populer.
Baca juga:
Kemenpar Bantah Bali Alami Overtourism
Tetapi, ketika pengalaman pengunjung atau wisatawan lebih diprioritaskan dibanding kesejahteraan penduduk setempat, konsekuensi lingkungan, sosial, dan politik pun terjadi. Konsekuensi ini tidak hanya berdampak pada penduduk setempat, tetapi juga bagi pengunjung.
Khusus untuk Bali, Fodor memberikan catatan bahwa tempat ini telah mengalami plastic apocalypse (kiamat plastik) karena pembangunan yang cepat dan tak terkendali yang didorong oleh pariwisata yang berlebihan. Ini pun bukan pertama kalinya Fodor menempatkan Bali ke dalam daftar hitam tersebut.
Dalam konteks pengelolaan kehidupan publik, opini yang berkembang di media massa dapat menjadi sumber masukan (input) bagi sistem politik untuk berbenah. Menurut pakar politik David Easton (1992), input dapat berupa tuntutan dan dukungan, yang setelah mengalami proses konversi akan berubah menjadi output atau kebijakan.
Oleh karena itu, pembingkaian negatif media terhadap Bali selayaknya kita terima secara terbuka sebagai kritik yang membangun dan sebagai titik pijak kita dalam mengembalikan citra Bali sebagai destinasi wisata dunia yang dicirikan oleh keindahan alamnya, keramahan penduduknya, kekayaan tradisinya, dan konsep wisatanya yang berkelanjutan.
Namun, pengelolaan citra dan reputasi tidak bisa bersandar pada pepesan kosong. Alexander Buhmann dan Diana Ingenhoff (2014) dalam tulisan mereka yang berjudul “The 4D Model of the Country Image: An Integrative Approach from the Perspective of Communication Management” menyebutkan bahwa citra terbentuk atas 4 dimensi.
Pertama, dimensi fungsional yang mencakup keyakinan mengenai daya saing suatu negara. Kedua, dimensi normatif yang mencakup keyakinan mengenai integritas suatu negara. Dimensi ini terdiri dari penilaian khusus mengenai tanggung jawab sosial dan ekologis suatu negara.
Ketiga, dimensi estetika yang terdiri dari penilaian mengenai daya tarik budaya dan tradisi suatu negara, serta keindahan lanskap dan pemandangannya. Keempat, dimensi emosional yang merupakan komponen efektif dari konstruksi citra suatu negara, terdiri dari perasaan menyukai dan terpesona terhadap suatu negara. Dimensi ini merupakan hasil dari keyakinan kognitif yang dimiliki oleh seseorang mengenai suatu negara.
Mengacu pada keempat dimensi pembentuk citra tersebut, artinya, komunikasi publik yang dilakukan oleh pemerintah untuk merespon pembingkaian negatif mengenai Bali di atas harus dibarengi dengan upaya atau langkah nyata dalam membenahi berbagai persoalan tersebut.
Janji pemerintah untuk menjadikan Bali sebagai jantung industri pariwisata tanah air dengan menekankan peningkatan layanan pariwisata dan pengelolaan jumlah pengunjung merupakan langkah awal yang baik untuk pengelolaan reputasi Bali di mata dunia ini. Pemerintah Provinsi Bali, misalnya, telah membentuk Satuan Tugas Percepatan Pelaksanaan Tata Kelola Pariwisata yang bertugas untuk mengawasi perilaku wisatawan dan kegiatan pariwisata di Bali pada 2023 lalu.
Satgas ini terdiri atas gabungan unsur pemerintah, masyarakat, serta pelaku pariwisata di Bali. Menyusul, pada 18 Oktober 2024, pemerintah pusat membentuk Satuan Tugas Penerapan Pariwisata Berkualitas di Bali yang juga melibatkan lintas kementerian dan lembaga, pemerintah daerah, hingga asosiasi pariwisata, serta terdiri atas pelaksana pusat dan daerah.
Namun, sejauh mana kinerja dan performa satuan-satuan tugas ini masih harus menjadi bahan evaluasi, mengingat usia mereka yang masih teramat pendek. Apalagi, satgas kedua bentukan pemerintah pusat baru saja dibentuk dua hari menjelang transisi pemerintahan dari Presiden Joko Widodo ke Presiden Prabowo.
Di sini lah tugas publik, termasuk media massa, untuk terus mengawasi kinerja dan performa lembaga-lembaga publik baru ini agar dapat melaksanakan tugasnya untuk mewujudkan pariwisata Bali yang berbasis budaya, berkualitas, dan bermartabat.
Selain itu, ibarat penanganan kebakaran, satuan-satuan tugas khusus tersebut harus diposisikan sebatas pemadam kebakaran untuk memastikan situasi bahaya dapat dikendalikan dan dipadamkan dengan cepat.
Artinya, satuan tugas semacam itu merupakan penanganan di bagian hilir dari berbagai persoalan yang terjadi, khususnya yang menyangkut pengelolaan wisatawan dan pengoptimalan kebijakan Visa-On-Arrival (VOA), moratorium perizinan usaha pariwisata, dan pengendalian alih fungsi lahan.
Yang tidak kalah penting lagi sebetulnya adalah kebijakan di hulu, yang dalam konteks ini, melibatkan pengaturan lintas sektoral, seperti grand-design pembangunan pariwisata di Indonesia, kebijakan terkait lingkungan, reformasi hukum dan birokrasi, dan sebagainya, yang menjadi akar dari beragam persoalan hari ini.
Hanya dengan pembenahan-pembenahan dari hulu ke hilir tersebut, komunikasi publik pemerintah untuk meng-counter berbagai pemberitaan negatif mengenai Bali dan mengelola reputasi Bali sebagai destinasi wisata berkelanjutan akan mendapatkan pijakannya yang solid.
Penulis
Dewi Yuri Cahyani
Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Udayana
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/opn