search
light_mode dark_mode
Gelombang Amarah Kolektif: Membaca Psikologi di Balik Demonstrasi Indonesia 25–31 Agustus 2025

Minggu, 7 September 2025, 12:44 WITA Follow
image

beritabali/ist/Gelombang Amarah Kolektif: Membaca Psikologi di Balik Demonstrasi Indonesia 2531 Agustus 2025.

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Gelombang demonstrasi yang merebak di berbagai kota Indonesia sejak 25–31 Agustus 2025 menunjukkan eskalasi ketegangan yang dahsyat: Komnas HAM mencatat sedikitnya 10 warga sipil meninggal dunia, dengan beberapa korban diduga kuat tewas akibat kekerasan atau bahkan penyiksaan oleh aparat keamanan. 

Selain korban jiwa, terdapat penangkapan masif. Komnas HAM menyebut sekitar 1.683 orang ditahan, sementara data LBH-YLBHI menyatakan hingga 3.337 orang ditangkap, dan 1.042 mengalami luka-luka. 

Aksi ini dipicu oleh maraknya kekecewaan publik terhadap kenaikan tunjangan anggota DPR yang dinilai mencolok, serta tuntutan transparansi dan reformasi politik. Isu-isu seperti reformasi Polri, penolakan RUU Perampasan Aset, dan pelurusan berbagai kebijakan kontroversial turut mengemuka dalam unjuk rasa. 

Demonstrasi berlangsung di setidaknya 107 titik di seluruh Indonesia. Kerusuhan menyebar hingga ke berbagai kota di Jakarta, demonstran bentrok dengan petugas, memicu aksi represif yang mengakibatkan fasilitas umum rusak dan transportasi terganggu. 
Transjakarta dan sebagian jalur MRT terhenti, gedung DPRD sempat dibakar, dan infrastruktur publik hancur. Di Makassar, misalnya, tiga pegawai DPRD tewas terjebak dalam kebakaran gedung, sementara pengemudi ojol Affan Kurniawan, yang bukan bagian dari massa aksi, meninggal setelah terlindas kendaraan taktis Brimob. 

Dalam konteks teknologi, beberapa akun sosial media dan grup online disebut-sebut memainkan peran penting dalam menyebarkan ajakan demo dan menyerukan narasi emosi massa. Sebagian besar dinamika di lapangan lebih didorong oleh kekecewaan nyata terhadap kebijakan elit, bukan oleh manipulasi algoritma buatan. 

Tragedi ini memunculkan pertanyaan kenapa ketidakadilan struktural, luka sosial, dinamika psikologi kolektif, dan pemicu langsung di lapangan dapat membuat keberingasan masa seolah kembali ke jaman barbar.

Dari ketidakadilan ke kemarahan moral

Setiap individu yang turun ke jalan membawa beban emosional yang berat. Dalam psikologi sosial, banyak penelitian menunjukkan bahwa persepsi ketidakadilan merupakan pemicu utama lahirnya kemarahan moral. Ketika masyarakat menyaksikan kebijakan publik yang dianggap timpang misalnya kenaikan tunjangan anggota DPR di tengah kesulitan ekonomi rakyat, muncul perasaan dikhianati. 

Rasa dikhianati ini tidak hanya sekadar kekecewaan rasional, melainkan luka emosional yang menembus identitas diri, seolah-olah harga diri mereka diinjak. Kondisi inilah yang dalam psikologi disebut moral injury, yakni kerusakan rasa moral akibat tindakan atau kebijakan yang dipersepsikan tidak etis. Bangsa manapun yang mengalami hal serupa akan melakukan hal yang sama, tidak memandang apakah dari negara maju atau negara berkembang.

Kemarahan yang muncul dari luka tersebut bukan emosi pasif, melainkan energi penggerak. Emosi negatif, terutama amarah, memiliki sifat menular dan mampu memobilisasi tindakan. Studi neurosains sosial menunjukkan bahwa paparan bahasa emosional dalam konteks politik dapat memicu aktivasi amigdala, bagian otak yang berperan mengatur emosi. 

Aktivasi ini meningkatkan kewaspadaan sekaligus mendorong dorongan bertindak. Dengan demikian, narasi yang beredar di media sosial atau orasi di lapangan tidak sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga berfungsi sebagai pemantik energi emosional yang mempercepat mobilisasi massa.

Namun, amarah saja tidak cukup. Seseorang terdorong turun ke jalan ketika ia percaya bahwa tindakannya dapat membawa perubahan. Faktor ini disebut efikasi. Dalam kerangka Social Identity Model of Collective Action (SIMCA), keterlibatan dalam aksi kolektif ditentukan oleh tiga komponen yaitu injustice, collective identity , dan belief in efficacy. 

Ketika ketiga unsur ini berpadu, individu merasa memiliki alasan moral, ikatan kelompok, dan keyakinan bahwa aksi mereka bermakna. Keyakinan ini semakin menguat saat mereka melihat ribuan orang lain melakukan hal yang sama, sehingga risiko turun ke jalan terasa sebanding dengan kemungkinan perubahan yang diharapkan.

Selain faktor psikologis, aspek biologis dan fisiologis turut berperan dalam mendorong perilaku agresif di tengah kerumunan. Suhu panas, rasa sesak, kelelahan fisik, dan stres dapat memperburuk kendali diri. Hipotesis heat-aggression dalam psikologi menjelaskan bahwa temperatur tinggi cenderung meningkatkan iritabilitas dan agresi. 

Di dalam kerumunan padat yang berjam-jam berada di bawah terik matahari, ambang toleransi individu terhadap gesekan menjadi semakin rendah. Akibatnya, insiden kecil yang seharusnya dapat diabaikan bisa meledak menjadi perkelahian atau bentrokan besar. Semua ini menunjukkan bahwa perilaku individu dalam demonstrasi merupakan hasil interaksi kompleks antara luka emosional, dorongan psikologis, keyakinan kolektif, serta kondisi biologis yang memperkuat intensitas emosi.

Identitas kolektif, polarisasi, dan dinamika lapangan

Massa sering kali dipandang sebagai kumpulan individu yang kehilangan akal sehat, namun pandangan klasik ini sudah lama dikritik. Penelitian modern menunjukkan bahwa perilaku massa justru sangat terstruktur dan dapat dijelaskan melalui teori Elaborated Social Identity Model (ESIM). 

Identitas kolektif dalam massa terbentuk melalui interaksi dengan pihak luar, terutama aparat. Jika aparat bertindak represif dan indiscriminatif, massa yang awalnya heterogen terdiri dari mahasiswa, buruh, maupun warga biasa akan menyatu dalam identitas tunggal sebagai kita yang tertindas berhadapan dengan mereka yang menindas. Identitas kolektif ini memberi legitimasi moral untuk melawan dan memperkuat solidaritas di antara para demonstran.

Di sisi lain, fenomena polarisasi kelompok membuat sikap massa bergeser ke arah yang lebih ekstrem. Dalam kelompok homogen, diskusi dan interaksi memperkuat pandangan yang sudah ada, sehingga opini cenderung menjadi lebih tajam. 

Hal ini terlihat dalam yel-yel di jalan yang saling menguatkan semangat perlawanan. Di dunia maya, algoritma media sosial mempertebal efek ini dengan menciptakan echo chamber, di mana hanya pandangan sehaluan yang terdengar. Akibatnya, kompromi menjadi semakin sulit karena narasi yang berkembang bersifat binary yaitu benar–salah, kita–mereka.

Eskalasi kekerasan biasanya berawal dari insiden pemicu seperti penembakan gas air mata, penangkapan massal, atau kabar hoaks mengenai adanya korban. Menurut ESIM, tindakan aparat yang dipersepsikan tidak sah menurunkan legitimasi di mata massa. Saat legitimasi runtuh, aksi balasan dianggap sah secara moral, sehingga api konflik cepat membesar dan menyebar.

Dalam perkembangan modern, media sosial berperan ganda yaitu sebagai sarana mobilisasi sekaligus akselerator emosi. Riset di berbagai platform menunjukkan bahwa konten bermuatan moral-emosional, terutama yang memicu amarah atau rasa jijik, lebih mudah viral dibanding konten netral. Rumor dan hoaks bahkan menyebar lebih cepat karena sifatnya mengejutkan dan menimbulkan dorongan emosional untuk segera berbagi. Dengan demikian, media sosial berfungsi seperti bensin yang menyiram api emosi, membuat situasi semakin mudah meledak.

Selain itu, kondisi fisik kerumunan turut memperburuk keadaan. Ketika ribuan orang berkumpul dalam ruang padat, muncul efek deindividuasi dimana individu merasa kehilangan identitas pribadi dan larut dalam identitas kelompok. Rasa anonim membuat orang lebih mungkin melakukan tindakan agresif yang biasanya ditahan dalam kehidupan sehari-hari. 

Faktor tambahan seperti suara bising, asap, dan ketegangan visual semakin meningkatkan tekanan psikologis, sehingga potensi munculnya perilaku destruktif semakin besar. Semua ini memperlihatkan bagaimana dinamika psikologis massa terbentuk dari interaksi identitas, situasi, dan medium digital yang memperkuat emosi kolektif.

Upaya agar keberingasan tak terulang

Pada level individu, pemulihan pasca-tragedi perlu dimulai dengan memberikan dukungan psikososial yang berbasis bukti, salah satunya melalui Psychological First Aid (PFA). Pendekatan ini menekankan pada rasa aman, penyampaian informasi yang akurat, penguatan dukungan sosial, serta rujukan ke layanan profesional bila diperlukan. 

Hal ini penting karena paparan terhadap aksi kekerasan dapat memicu berbagai gejala pasca-trauma seperti kilas balik, insomnia, atau hipervigilans. Dukungan klinis maupun komunitas harus diberikan secara berkelanjutan agar luka psikologis tidak diwariskan kepada generasi berikutnya, baik melalui narasi traumatis maupun pola ketakutan yang tidak terselesaikan.

Pada level komunitas, pemulihan dapat difasilitasi melalui ruang dialog yang aman. Forum lintas identitas, seperti musyawarah warga, dapat berfungsi sebagai wadah untuk menyalurkan keluh kesah, memvalidasi pengalaman, dan mencari solusi bersama. 
Selain itu, membangun ekosistem informasi yang sehat menjadi krusial untuk mencegah rumor dan hoaks yang berpotensi memperkeruh keadaan. Strategi prebunking, yaitu memberikan antisipasi informasi sebelum rumor muncul, terbukti lebih efektif dibandingkan debunking yang dilakukan setelah kabar palsu sudah menyebar luas.

Pada level negara dan aparat, kunci utama terletak pada keadilan prosedural. Perlakuan yang bermartabat, transparan, dan proporsional akan meningkatkan legitimasi aparat di mata publik serta menurunkan potensi konflik. Sebaliknya, tindakan indiscriminatif hanya akan memperluas solidaritas massa terhadap kekerasan. 

Pendekatan dialogue policing menjadi alternatif penting: aparat berkomunikasi sejak awal dengan koordinator aksi, membedakan pelaku damai dari perusuh, dan mengutamakan penyelesaian melalui dialog. Model ini telah terbukti efektif di berbagai negara untuk meredam eskalasi kekerasan.

Sementara itu, pada level platform digital, perlu ada upaya serius dalam pengelolaan konten emosional. Algoritma media sosial tidak semestinya hanya mengejar keterlibatan pengguna tanpa memperhatikan risiko polarisasi sosial. Intervensi sederhana seperti penundaan beberapa detik sebelum unggahan dibagikan ulang telah terbukti menurunkan penyebaran rumor. 

Selain itu, figur publik dan influencer memiliki tanggung jawab etis untuk menggunakan pengaruh mereka secara konstruktif. Alih-alih menyalakan api kebencian, mereka diharapkan dapat menyebarkan narasi empati, meredakan emosi, dan mendorong solidaritas sosial yang positif. 

Dengan demikian, peran individu, komunitas, negara, aparat, serta platform digital dapat saling melengkapi dalam membangun jalan pemulihan dan pencegahan konflik di masa depan. Semoga amarah kolektif dapat diolah menjadi energi konstruktif untuk perubahan sosial, bukan menjadi bara kekerasan yang membakar. Dengan demikian, bangsa ini belajar bukan hanya dari luka, tetapi juga dari upaya penyembuhan bersama. (Oleh: Prof Dr dr Cokorda Bagus Jaya Lesmana, SpKJ(K), MARS)

Editor: Redaksi

Reporter: bbn/tim



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami