search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Dari Jaman Kerajaan, Bali Sudah Akrab dengan Kekerasan
Minggu, 24 Juli 2011, 11:07 WITA Follow
image

google.com

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Ribuan warga terlibat bentrok di Kota Bangli, Bali (19/7/2011) lalu dan menyebabkan seorang warga tewas dan belasan orang luka-luka. Sebelum di Bangli, bentrok antarwarga juga terjadi di Desa Adat Lemukih. Sedikitnya 13 rumah dibakar. Apakah Bali baru jadi beringas akhir-akhir ini?

Ribuan warga terlibat bentrok di Kota Bangli, Bali (19/7/2011) lalu dan menyebabkan seorang warga tewas dan belasan orang luka-luka. Bentrokan antara warga Desa Songan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli dengan warga Banjar Kawan, Kota Bangli itu diduga dipicu oleh persoalan yang sepele, yakni perkelahian antar siswa kedua desa itu.

Sebelum di Bangli, bentrok antarwarga juga terjadi di Desa Adat Lemukih  (22/10/2010). Sedikitnya 13 rumah dibakar. Bentrokan antarwarga itu dipicu konflik lama seputar sengketa tanah antara warga Desa Adat Lemukih dengan warga pemegang sertifikat tanah.

Selain contoh kasus di Bangli dan Lemukih, masih ada beberapa kasus tawuran lainnya yang terjadi di Bali, mulai dari yang berat hingga yang sepele. Misalnya rebutan tapal batas, salah paham saat pesta minuman keras, merasa dihina, dan faktor penyebab lainnya.

Dari beberapa contoh kasus bentrok antarwarga itu muncul pertanyaan, apakah Bali baru beringas atau baru akrab dengan kekerasan akhir-akhir ini ?

Ternyata Bali sudah akrab dengan kekerasan sejak jaman kerajaan dulu. Bentrok antar warga yang terjadi di Bali saat ini, sebenarnya dari dulu sudah ada.

Geoffrey Robinson, penulis dari University of California Los Angeles, Amerika Serikat, mengupas panjang lebar soal kekerasan di Bali ini dalam buku  'The Dark Side of Paradise; Political Violence in Bali' atau Sisi Gelap Pulau Dewata. Dalam buku terbitan LKiS Jogjakarta tahun 2006 ini, Robinson menulis bahwa kekerasan di Bali sudah ada sejak zaman kerajaan, kolonial, revolusi, Orde Lama, hingga Orde Baru. Pada zaman kerajaan-kerajaan di Bali dulu misalnya, antar kerajaan Bali sudah sering terjadi konflik, seperti saat  kerajaan  Badung menyerang Mengwi, kerajaan Klungkung menyerang Gianyar, dan berbagai konflik lainnya. Konflik atau kekerasan berdarah-darah juga berlanjut hingga masa penjajahan Belanda.

Namun sejarah kekerasan paling dasyat di Bali adalah kekacauan politik pada 1965. Ratusan ribu warga Bali saat itu dibantai hanya karena perbedaan pandangan politik, dalam hal ini hanya karena berbeda partai.

Dalam buku setebal 523 halaman ini, Robinson mengajukan gugatan serius terhadap citra Bali yang seakan-akan tampak "apolitis" dan terkesan damai dan eksotis. Robinson juga mengutak-atik citra Pulau Bali sebagai "daerah budaya" yang sepenuhnya bebas dari campur tangan politik.

Robinson kemudian melacak citra tersebut ke sejarah Bali masa silam. Ia mencatat bahwa citra Bali selama ini yang jauh dari hiruk pikuk politik sebenarnya lahir dari kepentingan kolonial, dan karenanya tidak netral. Agen global lewat investasi pariwisata, negara dan elite-elite lokal yang berkaitan ke pusatlah yang memantik kepentingan. Bali tak boleh "liar", dan harus dihindarkan sejauh mungkin dari apapun yang berbau politik. Dengan mewacanakan Bali yang harmonis, damai, ajek, dan homogen, akan dengan mudah secara umum Bali didisiplinkan.

Menurut Robinson, pencitraan itu secara luas diterima pada akhir dekade 1920-an, yakni ketika kekuasaan kolonial Belanda berada di puncak dan restorasi "tradisi" Bali menjadi ciri sentral strategi kolonial Belanda konservatif bagi pemerintahan tak langsung. Menjelang dekade 1930-an, memorandum birokratis para pejabat kolonial Belanda mulai melukiskan rakyat Bali sebagai memiliki pembawaan yang lebih berminat kepada seni, budaya, dan agama-tari, musik, lukis, ukir, upacara, festival dan seterusnya-ketimbang politik.

Asumsi yang umumnya diam-diam diterima di lingkaran kolonial (dan komunitas artistik dan antropologis asing di Bali) adalah bahwa "budaya" dan "politik" merupakan kategori yang sama ekslusifnya, dan bahwa rakyat yang "berbudaya" tidak bisa sekaligus "politis". Sepanjang "budaya" Bali tetap kuat, demikian kelanjutan dalih ini, pengaruh politis akan lemah.

Persepsi tersebut sangat kuat memengaruhi kebijakan kolonial di Bali sejak sekitar tahun 1920 hingga runtuhnya kekuasaan Belanda pada 1942, dan ini mengakibatkan sejarah kekerasan atau konflik di Bali praktis tak pernah tersentuh. Padahal, kata Robinson, Bali sebelumnya juga dikenal sebagai daerah yang akrab dengan konflik dan kekerasan. Pembantaian, peperangan antarkerajaan, dan permusuhan bukan hal aneh bagi Bali kala itu.

Robinson menambahkan bahwa pada masa pra-kolonial Bali berada dalam kondisi persaingan politik dan peperangan yang nyaris terus-menerus di antara para pangeran kecil (raja) dan dipertuan. Selama Revolusi Nasional (1945-1949) sekitar 2.000 orang Bali tewas, kira-kira sepertiganya berperang di pihak Belanda. Tak lama setelah kemerdekaan, 1950-1951, geger baku-hantam dan baku-bunuh memakan ratusan korban jiwa.

Pada awal 1960-an, antagonisme antara dua partai besar-partai Komunis (PKI) dan partai Nasionalis (PNI)-serta konflik pahit menyangkut perombakan penguasaan tanah (land reform) memicu konfrontasi massa yang sengit, bakar-bakaran, gontok-gontokan, dan bunuh-bunuhan. Situasi ini kemudian memuncak pada pertengahan 1960-an, ketika terjadi pembantaian massal atas ratusan ribu tertuduh komunis tanpa pengadilan yang jelas.

Tidak hanya itu, persaingan puri, isu kasta dan ketimpangan ekonomi juga muncul sebagai titik-titik api utama konflik politik di Bali. Kendati dalam beberapa hal Bali tampak homogen, tapi variasi internal turut mempengaruhi pola konflik politiknya.

Tapi sejak modernitas masuk ke Bali pada tahun 1930-an, orang-orang Barat (kolonial) merubah Bali sebagai sejenis "Surga Terakhir" yang masih polos dan otentik; tidak seperti Barat yang telah cemar dengan modernitas. Keanggunan Bali, pemandangan alamnya yang masih hijau, perempuannya yang bertelanjang dada waktu itu, dan adat-istiadatnya yang lestari-semua itu bermunculan dalam brosur-brosur, travelog, dan kuliah-kuliah para pelancong Barat yang sempat berkunjung ke Bali.

Citra Bali itu sedemikian meresap dalam benak banyak orang sehingga mengaburkan kenyataan sebenarnya. Dari citra yang beredar, misalnya, disebutkan bahwa Bali adalah wilayah yang penduduknya sejahtera, tidak pernah terserang endemi kemiskinan. Padahal, kata Robinson, pada dekade-dekade awal abad ke-20, Bali luar biasa melarat.

Melalui buku ini, Robinson telah mengisi kekosongan hasil-hasil penelitian antropologis sebelumnya tentang sejarah politik Bali modern. Ia berusaha menjelaskan transformasi konflik politik, ekonomi, dan sosial di Bali sepanjang masa kolonial (1882-1942), pendudukan Jepang (1942-1945), Revolusi Nasional (1945-1949) dan tahun-tahun pascakemerdekaan, yang memuncak dalam pembantaian 1965-1966. Di samping itu, buku ini juga menawarkan kritik historiografis yang diperluas terhadap wacana akademis, populer, dan pemerintahan resmi tentang masyarakat dan politik Bali.

 



Buku Robinson menyiratkan bahwa di balik angan-angan orang perihal Bali yang harmonis dan damai, ternyata menyimpan jejak sejarah yang menunjukkan betapa Bali juga negeri yang pernah dilanda kekerasan dan anarki politik. Inilah sisi "lain" Bali yang meruntuhkan "mitos" tentang kestabilan Bali dan identitas ke-Bali-an. Oleh karena itu, kajian buku ini berupaya mendemistifikasi Bali, menyingkirkan romansanya, dan mengembalikan, ke tempatnya yang sah, konflik dan kekerasan yang sesekali telah memberi ciri pada politik pulau Bali sepanjang abad ke-20. (litbang bbcom/berbagai sumber)
 

Reporter: bbn/net



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami