Di Balik Luka dan Rasa Bersalah: Kisah Perempuan Muda Melawan Depresi dan Kehampaan Makna Hidup

bbn/ilustrasi/Di Balik Luka dan Rasa Bersalah: Kisah Perempuan Muda Melawan Depresi dan Kehampaan Makna Hidup.
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Seorang perempuan muda berusia 23 tahun datang dengan keluhan keinginan untuk mengakhiri hidup. Bukan sekadar pikiran sesaat, tapi hasrat yang mengendap, hadir sepanjang hari, dan memuncak di malam yang sepi.
Ia bahkan sempat mencoba bunuh diri dengan mengonsumsi obat berlebih. Ia menjelaskan bahwa pernah merasa senang yang berlebih di awal tahun. Ia saat itu merasa impulsif membeli barang barang yang tidak dibutuhkan dan banyak bicara.
Selama dua minggu terakhir, ia merasakan kesedihan yang menetap, kehilangan semangat, kehilangan minat terhadap hal-hal yang dulu bermakna. Ia merasa sulit berkonsentrasi dalam bekerja. Namun di balik semua itu, ada satu ungkapan penting yang ia sampaikan berupa perasaan bersalah dan jijik pada diri sendiri setelah hubungan seksual yang terjadi di masa ketika ia merasa terlalu impulsif dan terlalu gembira.
Menurutnya ia adalah orang yang tiap ada masalah harus bercerita ke orang lain untuk dapat menenangkan dirinya. Ia mengatakan bahwa apabila ada masalah cenderung melampiaskan dengan menangis atau menyakiti diri sendiri.
Luka Diri dan Rasa Bersalah
Dalam pendekatan psikodinamik, gejala yang dialami oleh perempuan 23 tahun ini mencerminkan konflik intrapsikis yang mendalam antara dorongan bawah sadar (id), pengatur realitas (ego), dan pengendali moral internal (superego). Rasa jijik terhadap diri sendiri dan penyesalan setelah melakukan hubungan seksual merefleksikan fungsi superego yang sangat keras dan menghukum.
Superego yang kaku ini kemungkinan besar terbentuk dari nilai-nilai moral dan norma sosial yang diinternalisasi sejak masa kanak-kanak, yang kini menghasilkan rasa bersalah yang begitu dalam dan keinginan untuk menghukum diri melalui pikiran bunuh diri.
Di sisi lain, saat fase “senang berlebihan” yang digambarkan pasien, tampak adanya dominasi dorongan id yang menuntut pemuasan instan, terlihat dari perilaku impulsif seperti berbelanja berlebihan dan melakukan hubungan seksual dengan dua pria secara cepat dan tanpa pertimbangan rasional.
Ego dalam kasus ini tampaknya tidak mampu secara efektif menengahi desakan antara dorongan impulsif dan tuntutan moral yang ekstrem, sehingga mengalami ketegangan emosional yang besar dan ketidakstabilan suasana hati. Lebih jauh, kecenderungannya untuk selalu merasa perlu bercerita kepada orang lain sebagai cara untuk menenangkan diri mengarah pada dinamika relasi objek yang belum matang.
Ketergantungan emosional ini mencerminkan pola hubungan masa kecil yang mungkin tidak aman atau tidak konsisten, di mana kebutuhan untuk validasi dan pengakuan tidak terpenuhi secara stabil. Dalam konteks ini, relasi seksual impulsif dengan dua pria dapat dipahami bukan hanya sebagai pelampiasan hasrat, melainkan juga sebagai upaya tidak sadar untuk mendapatkan koneksi emosional dan rasa harga diri meski kemudian berujung pada rasa bersalah dan penghukuman diri.
Menemukan Makna di Tengah Kehampaan
Penderitaan manusia tidak hanya berasal dari gejala psikologis semata, tetapi dari kekosongan pencapaian diri, suatu kondisi di mana seseorang kehilangan arah, merasa hampa, dan tidak lagi menemukan makna dalam hidup. Sebagai makhluk paling adaptable, manusia tetap memiliki kebebasan batin untuk memilih sikapnya terhadap penderitaan.
Dalam kasus ini, ia mengalami loss of meaning yang akut. Ia menyebut bahwa dirinya tidak berguna, merasa kotor setelah relasi seksual, dan menyakiti diri sebagai bentuk ekspresi rasa bersalah. Namun, tindakan menyakiti diri atau keinginan untuk mati bukan sekadar gejala penyakit, tetapi ekspresi dari krisis makna di mana seseorang tidak lagi merasa bahwa hidupnya bernilai untuk dijalani.
Fase manik yang dialami di masa lalu, dengan perilaku seksual impulsif, dapat dilihat sebagai bentuk pelarian dari kehampaan eksistensial. Ketika manusia tidak menemukan makna sejati, ia akan mencoba mengisinya dengan kesenangan, kekuasaan, atau distraksi. Namun semua itu bersifat sementara dan tidak menyentuh kebutuhan terdalam manusia akan makna. Ketika kesenangan itu sirna, yang tersisa adalah kehampaan yang lebih menyakitkan.
Dalam kasus ini perlu diajukan pertanyaan yang cukup dalam, "Untuk apa penderitaan ini?" Dalam konteks ini, pertanyaan yang diajukan bukanlah “Mengapa saya mengalami ini?”, tetapi “Apa yang hendak saya lakukan dengan pengalaman ini?” Makna tidak ditemukan dalam kebebasan dari penderitaan, tetapi dalam cara kita merespons penderitaan tersebut.
Rasa bersalah yang menghantuinya bisa menjadi pintu menuju pemahaman yang lebih dalam tentang nilai dirinya, tentang batasan dan kerentanannya, dan tentang pilihan-pilihan hidup yang lebih selaras dengan martabat batinnya. Ia perlu diajak untuk menemukan makna personal di balik krisis yang dialaminya, mungkin dalam bentuk tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, komitmen untuk menyembuhkan, atau kontribusi terhadap orang lain melalui pemahaman mendalam atas penderitaannya.
Jika ia dapat menemukan “mengapa” hidupnya tetap layak dijalani, maka ia akan memiliki kekuatan untuk menanggung “bagaimana”-nya, seberat apa pun beban itu. Dengan menemukan makna dalam luka, maka penderitaan dapat menjadi jalan menuju transformasi batin, bukan akhir dari kehidupan.
Memulihkan jiwa yang terkoyak
Pada kasus ini dengan keluhan utama keinginan bunuh diri, perilaku menyakiti diri, depresi berat, serta riwayat fase manik dan gejala psikotik di masa lalu, membutuhkan penanganan yang komprehensif dan integratif. Tahap awal intervensi harus difokuskan pada stabilisasi mood dan keamanan pasien.
Dalam hal ini, farmakoterapi menjadi langkah penting, terutama dengan penggunaan mood stabilizer yang dapat mengendalikan fluktuasi suasana hati bila terdapat indikasi gangguan bipolar. Antipsikotik atipikal juga dapat dipertimbangkan mengingat adanya riwayat halusinasi auditori dan impulsivitas yang berat. Penggunaan antidepresan harus dilakukan secara hati-hati karena berisiko memicu episode manik bila pasien memiliki bipolar yang tidak terdiagnosis sebelumnya.
Di samping terapi farmakologis, psikoterapi individual sangat dianjurkan, terutama terapi dialektik perilaku (DBT) yang efektif untuk menangani perilaku menyakiti diri, ketidakstabilan emosi, dan krisis identitas. Jika ada dugaan trauma masa kecil atau relational trauma, maka terapi berbasis trauma seperti Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR), sensorimotor psychotherapy, atau Spiritual Hypnosis Assisted Therapy (SHAT) sangat relevan untuk membantu pasien mengurai memori emosional implisit dan membangun narasi diri yang lebih sehat.
Di sisi lain, terapi psikodinamik juga memiliki peran dalam menggali konflik bawah sadar, pola relasi yang berulang, dan mekanisme pertahanan diri yang maladaptif seperti self-blame atau hukuman diri. Selain itu, keterlibatan dalam kelompok dukungan (support group), terutama kelompok perempuan dengan pengalaman serupa atau pemulihan dari gangguan mood, dapat membantu mengurangi rasa terisolasi dan membangun koneksi emosional yang aman.
Jika memungkinkan, intervensi keluarga juga dapat dilakukan untuk memberikan edukasi tentang gangguan kejiwaan yang dialami pasien serta membentuk lingkungan yang suportif dan bebas stigma. Akhirnya, intervensi spiritual, bila sesuai dengan nilai pribadi pasien, dapat digunakan sebagai sumber kekuatan dan refleksi, melalui praktik kontemplatif atau pendekatan berbasis kearifan lokal dan religiositas. Keseluruhan pendekatan ini perlu dilakukan secara bertahap dimulai dari fase stabilisasi, dilanjutkan dengan pemrosesan trauma, dan diakhiri dengan penguatan identitas, relasi sehat, dan pencarian makna hidup yang berkelanjutan.
Mencegah untuk tidak mengulangi
Pencegahan terhadap perilaku bunuh diri dan krisis emosional berat seperti pada kasus ini dapat dimulai dari deteksi dini gangguan suasana hati, terutama pada remaja dan dewasa muda yang mengalami fluktuasi emosi, impulsivitas, dan kesulitan mengelola konflik batin.
Edukasi mengenai gejala awal gangguan bipolar, depresi, serta trauma psikologis harus diberikan tidak hanya kepada individu, tetapi juga kepada keluarga dan lingkungan kerja, agar mereka mampu mengenali tanda-tanda peringatan seperti menarik diri, perubahan perilaku mendadak, kehilangan minat, atau ucapan bernada putus asa.
Skrining psikologis rutin, terutama di lingkungan pendidikan dan tempat kerja, dapat menjadi alat bantu deteksi dini. Pada individu dengan riwayat perilaku impulsif atau menyakiti diri, sangat penting untuk memiliki rencana keamanan (safety plan) yang disusun bersama profesional, termasuk daftar orang yang bisa dihubungi saat krisis, tempat aman, serta aktivitas pengalih perhatian yang sehat.
Di keluarga, orang tua atau orang terdekat sebaiknya membuka ruang bicara yang aman dan tidak menghakimi. Ketika seseorang sedang mengalami masalah, yang paling dibutuhkan adalah didengarkan dan dipahami, bukan disalahkan. Di tempat kerja atau komunitas, penting dibuat grup dukungan atau kegiatan refleksi yang membantu orang merasa diterima dan tidak sendirian.
Selain itu, kita perlu mengurangi stigma bahwa masalah kejiwaan adalah aib. Banyak orang takut minta bantuan karena takut dicap lemah atau “tidak normal.” Padahal, mencari pertolongan adalah langkah berani untuk sembuh.
Pemerintah dan layanan kesehatan juga perlu memastikan bahwa bantuan psikologis tersedia, mudah diakses, dan tidak mahal. Dukungan kebijakan publik diperlukan untuk memperluas akses terhadap layanan kesehatan jiwa yang terjangkau, tanpa diskriminasi, dan berbasis trauma serta nilai-nilai lokal.
Terpanggil untuk peduli
Bunuh diri bukanlah tanda kelemahan, melainkan jeritan terakhir dari jiwa yang merasa tidak lagi didengar dan dimengerti. Di balik setiap kisah tragis, sering tersembunyi rasa sakit yang lama terpendam, keputusasaan yang tak terlihat, dan harapan yang nyaris padam. Tapi harapan itu belum benar-benar hilang ia hanya menunggu ditemukan kembali, lewat kehadiran, kepedulian, dan uluran tangan dari kita semua.
Kita tidak perlu menjadi psikolog atau psikiater untuk menyelamatkan nyawa. Cukup dengan hadir, mendengarkan tanpa menghakimi, dan meyakinkan seseorang bahwa hidupnya tetap berharga, kita sudah membuka jalan menuju pemulihan. Mari kita bersama menjadi bagian dari perubahan membangun masyarakat yang lebih peka, lebih manusiawi, dan lebih siap menjadi tempat pulang bagi jiwa-jiwa yang lelah. Tak ada satu pun dari kita yang layak merasa sendirian di dunia ini. (Prof Dr dr Cokorda Bagus Jaya Lesmana, SpKJ(K), MARS)
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/tim