search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Pekak Jegog, Mengenalkan Jegog ke Mancanegara
Senin, 6 Agustus 2012, 23:45 WITA Follow
image

Beritabali.com

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, JEMBRANA.

Gambelan Jegog adalah alat musik yang terbuat dari pohon bambu berukuran besar. Mendengar kata Jegog tentu tidak lepas dari nama seorang seniman jegog asal Jembrana yakni Ketut Suwentra ( 64 ) atau dikenal dengan nama Pekak Jegog. Melalui  Yayasan Suar Agung  yang dibinanya, Jegog telah berkali – kali tampil ke luar negeri.

Beritabali.com berkesempatan berbincang  langsung  sehari setelah Festival Budaya Jembrana berakhir, di kediamannya Kelurahan Sangkaragung, Jembrana. Berpenampilan sederhana, ia berkisah soal seluk beluk kesuksesan Jegog melanglang buana.

“Konon yang menciptakan kesenian ini Kiyang Linduh dari dusun Sebual, Jembrana. Saya mengenal Jegog ketika saya hampir selesai sekolah di sekolah Kokar Denpasar tahun 1970, Sejenis sekolah SMA atau guru Karawitan. Menjelang  akhir sekolah saya  dikirim ke Osaka ( Jepang ) menjadi seniman Gong Kebyar dalam rangka expo budaya seluruh dunia. Dari situ saya mendengar Jegog diputar di pavilium, disana saya beranggapan Jegog harus bangkit “ , paparnya dengan suara berat.

Berawal dari sana,  ia lantas memperolah kenalan wanita jepang . Wanita tersebut akhirnya dijadikannya istri sekaligus yang mendukung Jegog semakin berkembang, begitu juga pihak keluarga istrinya. Sangat membantu pengenalan Jegog di negeri Sakura. Pementasan Jegog  pertama kali tampil di luar negeri , tepatnya di Saporo , Jepang pada tahun 1981.

Inspirasi dan motivasi Pekak Jegog tak henti mengalir untuk memoles Jegog tumbuh kreatif. Ia berlanjut memunculkan sebuah karya seni dari sebuah bahan skripsi yang ia buat ketika melanjutkan sekolah di ASTI ( sekarang ISI ) yakni membuat sebuah garapan tari pengiring.  Tarian tersebut merupakan Tari Makepung  yang dipentasakan ketika  semacam Pesta Kesenian Bali tahun 1984. Semenjak itu Gambelan Jegog semaikn mencuat. Diberbagai even kenegaraan nasional maupun international Jegog mendapat sambutan baik.

“Tari Mekepung  yang saya pakai ujian di ASTI diminta oleh bupati Jembrana untuk tampil dalam sebuah even nasional, kala itu bapak bupati Ardana. Saya poles tarian itu menjadi 150 kru sapi, lapangan alun –alun Dauh Waru penuh waktu itu, dari situlah Jegog mulai muncul “, ujar suami dari Makita Kazuka.

Yayasan Suar Agung

Akhirnya pada tanggal 3 Mei 1984 terbentuklah sebuah Yayasan yang berawal atas adanya Sekehe Demen yang sebelumnya telah ada. Pemberian nama Suar Agung pun tercetus langsung dari Pekak Jegog. Nama tersebut berawal dari garapan sebuah tari. Suar yang artinya sinar dan Agung artinya maha agung.

Hingga kini Yayasan Suar Agung telah memiiliki 120 anggota yang terbagi dalam tiga kelompok yakni, kelompok anak – anak, remaja, dan werde ( tua- tua ). Mereka sudah sering kali tampil di berbagai ajang seni budaya, di dalam maupun luar negeri. Bahkan dalam pembukaan piala word cup di Perancis  tahun 1998 Jegog Suar Agung  ikut adu kebolehan dalam sebuah even akbar tersebut.

Selama pentas diluar negeri, hampir tidak ada kesulitan yang ditemuinya bersama kru lain yang berjumlah 28 sampai 30 personel. Begitu juga perlengkapan tabuh yang dibawa, semua telah di atur sedemikian rupa atas peran serta pihak seponsor dan ofisial. “ Dalam hal beradaptasi kami semua baik – baik saja di luar negeri. Yang jadi soal hanya ketika tiba disana, persoalan makanan sangat sering kami alami. Menemui nasi agak sulit, Kita hanya makan roti, mana kenyang “, ujarnya lirih.

Jegog Suar Agung terakhir kali tampil ke luar negeri  ketika pasca tsunami. Mereka menghibur para Korban yang terkena musibah di bagian wilayah Sendae, Jepang. Selama tampil para pengunjung menyambut jegog penuh antusias.

Bahan Baku

Pekak Jegog menganggap Gambelan Jegog merupakan hiburan yang sangat merakyat dan mudah dicerna. “Musik ini  sangat menyentuh hati. Begitu dia berbunyi sudah bergetar, karena speednya bambu. Tempo inilah seperti detak jantung, makanya dunia menyukai “, ujar bapak lima anak ini.

Dalam hal menjaga kwalitas suara bambu,  biasanya Pekak Jegog membutuhkan waktu tiga bulan untuk mengolah bambu agar bisa menghasilkan kwaltas suara yang baik. Biasanya bambu yang telah didapat terlebih dahulu disendarkan dalam ruang teduh agar proses pengeringan murni dari udara bebas, karena jika terkena sinar langsung akan merusak permukaan bambu menjadi retak. Kwalitas suara yang didapat pun kurang bagus.

Dirinya telah mempersiapkan beberapa lahan pribadinya untuk melakukan reboisasi beberapa jenis bambu untuk antisipasi kelangkaan bambu. Mengingat kendala bahan baku sudah dirasakannya mulai susah di temui, terutama bambu ukuran besar. Kerapkali ia sampai datang ke perbukitan di daerah Tabanan untuk memperoleh bambu kwalitas baik.

“ Saya degungkan kepada pemerintah untuk melestarikan sang bambu juga, jangan Jegognya saja yang dilestarikan, kalau Jegog tanpa bahan baku ya repot ? Nelayan juga pakai bambu, makanya sekarang harga kemahalan ”, keluhnya. Pekak Jegog menambahkan, daya tahan bambu dalam setiap gambelan memiliki tingkat kerusakan yang berbeda.

 

 

Jika gambelan sering dipertunjukan dalam sebuah tari –tarian akan memperpanjang usia bambu yang rusak. Dan apabila Jegog di pentaskan untuk Mebarung  usia bambu hanya sanggup bertahan sekitar empat kali pertunjukan.  

Reporter: bbn/net



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami