search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Kemenangan Beruntun KMP dan Politik Rigid Ibu Mega
Jumat, 13 Maret 2015, 00:00 WITA Follow
image

bbn/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, NASIONAL.

Politik, kata orang, pada hakikatnya adalah bagaimana membagi kekuasaan. Pembagian itu seyogyanya dilakukan secara elegan, sehingga semua pihak setidaknya merasa diberi peran proporsional dan tidak dibiarkan kehilangan muka.

Tetapi tampaknya tidak demikian dengan Ketua Umum PDI Perjuangan, Ibu Megawati Sukarnoputri. Tampaknya, Ibu Mega lebih melihat politik seperti apa yang diuar-uarkan seorang jendral Prusia abad 18 yang terkenal sebagai ahli perang dan pemikir strategis, Carl von Clausewitz. Bagi Clausewitz, yang yakin bahwa perang hanyalah kelanjutan dari politik, politik hanyalah prakondisi alias langkah-langkah sebelum perang. Sesuatu yang bila dihubungkan dengan doktrin perang ‘si vis pacem parra bellum’—jika menghendaki perdamaian, bersiaplah perang, maka situasi batiniahnya tetaplah perasaan terancam, tidak aman dan penuh curiga.

Karena itulah, barangkali, Ibu Megawati sulit untuk membuka komunikasi politik, bahkan manakala komunikasi itu sudah tak lagi bersifat mubah, melainkan wajib hukumnya. Wajib, karena komunikasi itu menjadi conditio sine qua non atawa syarat mutlak sebagai langkah awal didapatnya dukungan. Dalam kisruh politik antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) saat ini, katakanlah pihak itu adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Partai Demokrat.

Alih-alih segera membuka komunikasi dengan SBY, yang memungkinkan pihaknya mendapatkan dukungan Fraksi Partai Demokrat yang resminya tidak bergabung dengan KMP, Ibu Mega membiarkan angin politik berembus kemana ia mau. Pada pembahasan pimpinan DPR lalu, saat posisi KIH berada di tubir jurang kekalahan setelah tiga kali dipecundangi KMP dalam kasus pengesahan Undang-undang MD3, Tata Tertib DPR, dan Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah, sebenarnya Megawati sudah layak beranjak dari sikap ‘PW’ (istilah anak muda untuk ‘posisi wueenak’ alias duduk nyaman) di kediamannya di Kebagusan.

Ia harus legowo untuk mendatangi junior-juniornya, para elit KMP. Atau bila tak hendak berhadapan langsung dengan ‘lawan’, menjalin kontak dengan SBY—yang kata-katanya sangat bertuah mengarahkan haluan politik Fraksi Demokrat, pun tak kurang menjanjikan. Bukan tak mungkin, karena sesama tokoh yang pernah jadi presiden, SBY akan rikuh menolak keinginannya.

Namun kita tahu apa yang kemudian terjadi. Ibu Megawati bergeming, tetap diam di kediaman. Sekian banyak saran, harapan dan keinginan dilontarkan kepadanya oleh para petinggi Koalisi Indonesia Hebat. Semua tak membuat Ibu Mega tergerak berangkat.

Megawati seolah menjadi true believer yang salah menerjemahkan amanat Bung Karno yang beliau katakan dalam pidato pada peringatan Mualid Nabi Muhammad di tahun 1963. “Kita tidak akan mundur setapak, tidak akan surut sejari!” Megawati salah menempatkan diri, karena seolah berharap SBY-lah yang datang kepadanya. Akhirnya kita saksikan, untuk keempat kalinya--dengan kekalahan pada pemilihan pimpinan DPR itu, KIH terjajar.

Tak ada satu pun kursi pimpinan DPR disisakan buat mereka. Semua direbut KMP, hingga Puan Ketua Fraksi PDIP DPR RI, Puan Maharani secara terbuka menunjukkan sikap kecewanya. “Kursi pimpinan DPR dirampas dari kami,” kata Puan, di hadapan sekian banyak awak media massa, pekan lalu.

Pakar komunikasi politik, Heri Budianto, saat itu pun sudah menegaskan kekecewaan. Karena dalam pandangan dia, KIH tidak selayaknya kalah begitu rupa. "Jika Bu Mega dan Pak SBY sudah dipertemukan jauh-jauh hari, PDI-P dan koalisi tidak akan mengalami kegagalan bertubi-tubi seperti ini," ujar Heri, saat itu.

Benar, saat itu presiden terpilih Joko Widodo langsung melakukan manuver dengan bertemu dengan SBY untuk mengajak Demokrat berkoalisi.Persoalannya, bukan hanya SBY, Demokrat, partai-partai di DPR, KMP, bahkan publik pun tahu bahwa suara KIH masih tergantung apa suara Mega. Alhasil, gayung presiden terpilih Joko pun tak bersambut.

Dini hari tadi kita kembali menyaksikan ‘kemenangan’ KMP atas KIH. Di satu sisi banyak yang menilai hal itu baik untuk perpolitikan negeri, dengan alasan yang terjadi akan membangun sistem check and balance dalam kehidupan politik ke depan. Pemerintah yang dikuasai KIH, pada dinamikanya diharapkan berdinamika dengan DPR dan MPR yang didominasi KMP, sehingga terjadi proses tesis-sintesis yang lebih dinamis. Dialektika inilah yang akhirnya diharapkan bisa membawa perubahan ke arah yang lebih baik.

Tetapi tentu saja, tak semua pihak bisa menerima fakta tersebut. Kenyataan yang terjadi di MPR dini hari tadi tak urung membuat banyak simpatisan PDIP meradang.

"Baru babak awal membangun pertahanan, Megawati sudah kalah menempatkan satu pun kader terbaik dalam parlemen, baik DPR maupun MPR," ujar Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus melalui siaran persnya Rabu (8/10/2014) pagi. Petrus mengaku, jauh-jauh hari sudah meminta Megawati ‘turun gunung’. Itu karena siapa pun sadar, Megawati memegang peranan penting dalam Koalisi Indonesia Hebat. Sayang, semua luput dilakukan. "Megawati tidak pernah mendengar aspirasi publik sih," ujar dia. 

Reporter: bbn/net



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami