search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Klaim Sah Ketua Yayasan, Chandra: Berbagai Upaya Wirawan Agar Diakui Legalitasnya
Kamis, 29 November 2018, 21:00 WITA Follow
image

beritabali.com/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Tidak ingin disalahkan terkait kisruh Yayasan Dwijendra, Ketua Yayasan Dwijendra yang lama, DR. Drs. Made Sumitra Chandra Jaya akhirnya angkat bicara. Menurutnya, sampai saat ini dia masih sah sebagai Ketua Yayasan Dwijendra dan terdaftar di Menkumham. 

Ia mengaku merasa dizolimi oleh Ketut Wirawan dkk yang ingin menguasai yayasan dengan berbagai cara. Menurut Chandra, bukannya dia tidak mau diganti atau kukuh sebagai Ketua Yayasan. Namun soal pergantian dirinya harus ada aturan hukum yang jelas. Pasalnya, sampai saat ini dirinya masih sah sebagai Ketua Yayasan dan tercatat dalam Akta nomor 24 tahun 2013 tertanggal 20 September 2013, di Kemenkumham. 
 
 
Diterangkannya, ada upaya-upaya pihak lawan dalam hal ini Ketut Wirawan untuk diakui legalitasnya, melakukan pembukaan blokir Akta Notaris, namun ditolak oleh Kemenkumham. “Jadi, Wirawan sudah bersurat ke Kemenkumham untuk membuka dan mendaftarkan Aktanya nomor 12 tahun 2018, tapi ditolak,” beber Chandra didampingi kuasa hukumnya I Nyoman Sudiantara dan Iswahyudi SH, Kamis (29/11). 
 
Diungkapkannya, mengenai pendaftaran perubahan Akta Notaris harus dilakukan secara online, sebagaimana Peraturan Menteri Hukum dan Ham nomor 2 tahun 2016, terkait system Administrasi Badan Hukum. “Jadi, apabila dalam waktu 14 hari sejak Akta Notaris terbit, tidak bisa didaftarkan di Kemenkumham, maka Akta Notaris batal demi hukum. Silahkan dicermati, apakah Akta Notaris yang dipegang Wirawan nomor 12 tanggal 12 Maret tahun 2018 sudah mendapatkan pendaftaran? Itulah yang menunjukkan legalitas,” ujarnya.
 
Dengan terdaftarnya yayasan Dwijendra di Kemenkumham, otomatis baik organ yayasan dari mulai Pembina, Pengurus dan Pengawas masih terdaftar dan sah menurut hukum. “Jika dia mau mendaftarkan akta itu sekarang, sudah pasti ditolak oleh sistem karena sudah lewat 14 hari,” sebutnya. 
 
Dikatakan Chandra, pemblokiran oleh Kemenkumham berdasarkan adanya laporan perbuatan melawan hukum di Pengadilan. Intinya adalah, bila blokir terhadap yayasan bisa dibuka, ketika ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau inkrach. “Selama itu tidak Inkrach, yayasan dengan Akta nomor 24 tanggal 20 September 2013, nama Chandra tetap tercantum sebagai Ketua Yayasan,” urainya. 
 
Ia juga mempertanyakan mengapa dia diberhentikan tanggal 12 Maret 2018, padahal masa jabatannya berakhir 20 September 2018. Menurutnya, selama ini dia tidak pernah diberikan kesempatan untuk membela diri. Pun selama menjadi Rektor, Chandra tidak pernah berbuat kesalahan yang bersifat merugikan yayasan. Ia pun menduga, pergantian dirinya ini ada hubungannya dengan laporan terhadap Karlota dan Mulyadi ke Ditreskrimsus Polda Bali
 
“Saya gugat pergantian ini ke Pengadian dan sampai saat ini masih dalam proses hukum. Saya merasa dizolimi. Begitu saya mengajak mereka bergabung di Dwijendra, tiba-tiba 4 orang Pembina memberhentikan saya. Ini tindakan biadab buat saya, saya ditusuk dari belakang,” ujarnya. 
 
Terkait adanya permintaan pengawas meminta laporan keuangan, menurut Chandra semuanya sudah diatur dalam anggaran dasar laporan tahunan yang ditanda-tangani oleh pengawas dan pengurus. “Jadi kalau pengawas menyalahkan saya tidak membuat laporan, itu juga kan menjadi kesalahan pengawas. Kenapa disalahkan, karena Ketua Pengawas terapiliasi dengan dokter Karlota yang sedang bermasalah dengan hukum. Jadi ini adalah konspirasi,” bebernya. 

Soal pengangkatan Ketut Wirawan sebagai Rektor, menurut Chandra itu terjadi tahun 2004 saat terjadi kemelut di yayasan. Kebetulan dia menjadi PJS Rektor selama 6 bulan, dan kemudian mengangkat Wirawan menjadi Rektor selama 2 periode. Namun, selama diangkat jadi Rektor, Wirawan tidak menunjukkan kualitasnya sebagai Rektor. 
 
Bahkan, dia tidak pernah mau menandatangani ijazah mahasiswa yang selesai di wisuda. Tak hanya itu, Chandra juga menemukan adanya 80 mahasiswa bodong alias tidak pernah mengikuti proses belajar mengajar dengan benar, namun mau diwisuda untuk mendapatkan ijazah. 
 
”Saya periksa satu persatu, kapan mulai kuliah, mana nilainya. Saya tolak mereka untuk ikut wisuda. Ada 80 mahasiwa saya suruh keluar semua. Ada yang nangis katanya sudah bayar. Saya bilang selama saya jadi Rektor tidak ada jual beli ijazah,” tegasnya.

Reporter: bbn/bgl



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami