search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Pala Bungkah dan Pala Gantung, Bentuk Implementasi Pelestarian Tanaman
Selasa, 25 Desember 2018, 14:35 WITA Follow
image

beritabali.com/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Penggunaan umbi tanaman yang biasa disebut masyarakat Bali sebagai pala bungkah dan buah-buahan atau pala gantung dalam upacara agama merupakan sebuah bentuk pelestarian tanaman. 

Dimana agar pala bungkah dan pala gantung selalu tersedia untuk digunakan sebagai upacara maka masyarakat Bali memiliki kewajiban untuk menanam dan menjaga kelestarian tanaman upacara tersebut. “Bahan yadnya itu ada filisofinya, bahan upacara dimaksudkan untuk pelestarian” papar pemerhati Budaya I Made Nurbawa saat ditemui di Tabanan pada Selasa (25/12).

Dalam sebuah artikel yang berjudul “Gumi Banten: Unit Pembibitan Tanaman Ritual (Upakara)” yang ditulis I Ketut Sardiana dan dipublikasikan dalam Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah, Volume 1, nomor 1 tahun 2010 disebutkan bahwa terdapat sekitar 300 jenis tanaman upakara, dan sebagian diantaranya telah mulai langka. 

Tanaman tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam empat belas kelompok, diantaranya: ragam kelapa, ragam bambu, kayu, daun, bunga, ragam pisang, buah (pala gantung), umbi (pala bungkah), dan lain-lain.

Sardiana menuliskan sebelum dasawarsa 80-an, untuk mendapatkan jenis buah, bunga, daun dan kayu sarana upakara tidak sulit karena di satu wilayah desa adat dapat dipastikan sudah terpenuhi kebutuhan tersebut. 

?

Ketika lahan pertanian mulai terdesak fungsi hunian dan kegiatan agraris mulai bergeser ke pola industri wisata, ketersediaan tanaman upakara seolah terbengkalai. Berbagai jenis tanaman lalu menjadi langka dan sulit didapat.  Keberadaan tanaman kelengkapan upakara tersebut semakin lama menjadi semakin langka dan sulit didapat serta dikenali oleh masyarakat banyak. 

Kalaupun masih ada sulit diketahui keberadaannya kecuali bagi kalangan tertentu seperti tukang banten dan ancangan (warga desa yang mendapat tugas khusus mencari berbagai kelengkapan upakara/sesajen).

Upacara yadnya tidak hanya bermakna sebagai sarana permohonan yang vertikal kepada Tuhan, tetapi juga bermakna untuk menanamkan nilai-nilai yadnya itu kepada diri manusia sendiri. 

Hal itu berarti bahwa penggunaan tumbuh-tumbuhan dan hewan sebagai sarana upacara yadnya sesungguhnya bertujuan untuk menanamkan nilai pelestarian alam pada jiwa setiap umat. Dari bunga, buah dan daun di Bali dibuat suatu bentuk sarana persembahyanan seperti canang, kewangen, bhasma dan bija.

Semua itu adalah sarana persembahyangan yang berasal dari unsur: bunga, daun, buah dan air. Sarana persembahyangan tersebut memiliki arti dan makna yang dalam dan merupakan perwujudan tattwa Hindu.

Reporter: bbn/mul



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami