search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Memposisikan Pengobatan Tradisional Bali
Sabtu, 9 Februari 2019, 06:00 WITA Follow
image

beritabali.com/unud.ac.id

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Rencana program pengembangan pengobatan tradisional yang digulirkan Gubernur Bali I Wayan Koster mendapat reaksi yang beragam dari masyarakat. Termasuk rencana memasukkan pengobatan tradisional menjadi bagian dari pelayanan kesehatan tingkat puskesmas dan rumah sakit. Bahkan untuk melestarikan warisan pengobatan leluhur yaitu usada, Pemerintah Provinsi Bali telah menandatangani komitmen hibah Program Pengembangan Pusat Pengolahan Pasca Panen Tanaman Obat (P4OT) oleh Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI pada Kamis (1/11) lalu. Semua rencana tersebut tentu menjadi bagian dari program di bidang kesehatan yang akan dikembangkannya di Bali dalam lima tahun ke depan.

Upaya mengangkat kembali pengobatan tradisional Bali ini pastinya memiliki dasar alasan dan tujuan yang jelas. Berdasarkan penelitian Ni Made Sri Muryani, Indah Winarni, dan Setyoadi yang dituangkan dalam sebuah artikel ilmiah berjudul “Balinese Traditional Treatment (Balian) In Patients With Mental Disorders” yang dipublikasikan dalam Belitung Nursing Journal, Volume 4, nomor 4 tahun 2018 disebutkan bahwa orang Bali masih mempertahankan tradisi, di mana mereka menggunakan obat-obatan medis dan tradisional pengobatan pada saat bersamaan. Hasil ini penelitian menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat sangat kuat terhadap penggunaan pengobatan tradisional, termasuk dalam merawat pasien dengan gangguan mental. Ini ditunjukkan oleh sikap masyarakat yang tetap menggunakan pengobatan tradisional, meskipun sudah menggunakan obat-obatan medis.

Sedangkan Mu’jizah dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, dalam artikelnya berjudul “Naskah Usada Sebagai Kearifan Lokal Masyarakat Bali” yang dipublikasikan dalam Dialektika (Jurnal Bahasa, Sastra, Dan Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia), Volume 3, nomor 2 tahun 2016 menyatakan bahwa usada menjadi sistem acuan bagi masyarakat Bali dalam menjaga kesehatan dan menjadi kearifan lokal dalam pengobatan penyakit yang sebagian besar menggunakan flora, fauna, dan mantra. Selain itu, usada Bali sebagai kekayaan pengetahuan lokal dipelihara masyarakat Bali sebagai pemilik tradisi, baik lontarnya maupun pengetahuannya. Khazanah usada merupakan sistem pengobatan yang sangat beragam. Oleh sebab itu, masyarakat Bali memelihara kekayaan pengetahuan lokal ini dengan baik.

Dewa Komang Tantra dan I Wayan Rasna dalam artikel berjudul “Implementasi Usada Sebagai Kearifan Lokal Bali Dalam Meningkatkan Minat Masyarakat Dan Wisatawan Mengonsumsi Kuliner Lokal Untuk Meningkatkan Ekonomi Kreatif Masyarakat Bali” yang disampaikan dalam Seminar Nasional Riset Inovatif (Senari) Ke-4 Tahun 2016 menuliskan bahwa usadha “ilmu pengobatan” tradisional Bali belum banyak digarap secara ilmiah, baik untuk kepentingan pengobatan maupun untuk konsumsi minuman secara lokal, apalagi global. Bali memiliki sekitar 50.000 lontar usada yang merupakan sumber pengobatan herbal yang belum tergarap. Sangat aneh tentunya, Bali yang memiliki banyak sumber, baik sumber tertulis tentang pengobatan maupun sumber daya alam untuk meramu jamu, justru kebanjiran produk herbal yang berasal dari luar Bali maupun mancanegara. Pada hal kalau usadha ini digarap secara seksama bukan saja dapat membantu meringankan beban ekonomi masyarakat karena obat usadha sebagai obat herbal di samping tidak banyak memerlukan biaya, juga dampak kimianya tidak ada, tetapi dapat membantu kesehatan masyarakat. Namun di antara yang banyak itu, tidak semua jamu (loloh) dapat digunakan sebagai kuliner yang dapat djual kepada konsumen. Salah satu yang tidak dapat dijual sebagai kuliner kepada konsumen adalah akar pohon pisang meskipun dia digunakan sebagai jamu dalam pengobatan demikian juga data tanaman obat yang bersumber dari dukun.

Upaya memposisikan pengobatan tradisional Bali agar sejajar dengan pengobatan medis tentu memerlukan proses penyelarasan, baik dari segi implementasi hingga secara aturan hukum. Sebagai contoh rencana memposisikan balian dalam pengobatan di tingkat puskesmas dan rumah sakit, tentu tidak seperti membalik telapak tangan. Nyoman Prastika dari Fakultas Kesehatan Program Studi Kesehatan Ayurweda, Universitas Hindu Indonesia, Denpasar dalam artikel berjudul “Yoga Sastra, Laku Mistik Balian Usada Bali” yang dipublikasikan dalam Dharmasmrti volume XVII, Nomor 02 tahun 2017 memberikan batasan mengenai pengertian balian yang didefinisikan sebagai orang yang mempunyai kemampuan untuk mengobati orang sakit secara tradisional. Kemampuan untuk mengobati ini diperoleh dengan berbagai cara (keturunan, taksu, pica, belajar atau nyastra, dan berbagai cara lain). Permasalahannya kemudian, apakah semua jenis balian ini bisa mendapatkan kesempatan yang sama dalam memberikan pelayanan dalam tempat pelayanan kesehatan konvensional?

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 103 tahun 2014 tentang pelayanan kesehatan tradisional, khususnya pasal 2 ayat (1) poin b memang disebutkan bahwa “membangun sistem kesehatan tradisional komplementer yang bersinergi dan dapat berintegrasi dengan pelayanan kesehatan konvensional di fasilitas pelayanan kesehatan”. Dalam pasal 7 dijabarkan jika pelayanan kesehatan tradisional dibagi menjadi 3 bagian yaitu pelayanan kesehatan tradisional empiris, tradisional komplementer dan tradisional integrasi. Pasal 8 memberikan batasan jika pelayanan kesehatan tradisional empiris adalah penerapan pelayanan kesehatan tradisional yang manfaat dan keamanannya terbukti secara empiris. Kemudian dalam pasal 10 diberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan komplementer adalah pelayanan kesehatan tradisional dengan menggunakan ilmu biokultural dan ilmu biomedis yang manfaat dan keamananya terbukti secara ilmiah. Sedangkan pasal 14 menyatakan Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi merupakan pelayanan kesehatan yang mengombinasikan pelayanan kesehatan konvensional dengan Pelayanan Kesehatan Tradisional Komplementer. Jadi balian, khususnya balian taksu dan pica masuk pelayanan kesehatan tradisional yang mana? Walaupun hanya sebatas definisi, namun menjadi pedoman dasar mengenai dapat tidaknya balian melaksanakan tugasnya di tempat pelayanan kesehatan. Apalagi jika memperhatikan secara etika seorang balian terkait boleh atau bersedia-tidaknya untuk melakukan pelayanan di tempat pelayanan kesehatan konvensional.

Apabila kemudian dilihat dari sumber daya manusia, pasal 30 dan 31 dalam PP pelayanan kesehatan tradisional memberikan batasan jika penyehat tradisional empiris merupakan tenaga yang ilmu dan keterampilannya diperoleh melalui turun-temurun atau pendidikan nonformal. Sedangkan tenaga kesehatan tradisional komplementer merupakan tenaga kesehatan yang ilmu dan keterampilannya diperoleh melalui pendidikan tinggi di bidang kesehatan paling rendah diploma tiga. Jika  kemudian aturan ini diterapkan dalam implementasinya di masyarakat tentu tidak akan sejalan dengan balian ketakson dan pica, karena belum tentu mendapatkan pengetahuan secara turun-temurun, apalagi melalui pendidikan formal. Belum lagi jika berbicara tentang hak , mengingat dalam PP pelayanan kesehatan tradisional disebutkan tenaga kesehatan tradisional dalam memberikan Pelayanan mempunyai hak menerima imbalan jasa. Hal ini tentu harus dipastikan, standar yang akan digunakan dalam memberikan imbalan. Mengingat selama ini masyarakat Bali ketika berobat ke balian hanya mengenal istilah sesari yang besarnya berdasarkan keikhlasan.

Jika kemudian menyimak pasal 39 PP pelayanan kesehatan tradisional disebutkan bahwa setiap penyehat tradisional yang memberikan Pelayanan Kesehatan Tradisional Empiris wajib memiliki Surat Terdaftar Penyehat Tradisional (STPT). Dimana STPT berlaku untuk jangka waktu 2 (dua) tahun dan dapat diperbaharui kembali selama memenuhi persyaratan. Permasalahannya kemudian, apakah tugas seorang balian akan dihentikan hanya gara-gara tidak memiliki STPT? Belum lagi terdapat kewajiban untuk bagi tenaga kesehatan tradisional yang menjalankan praktik untuk memiliki Surat Izin Praktik Tenaga Kesehatan Tradisional, yang selanjutnya disingkat SIPTKT. Alangkah baiknya fungsi dan tugas seorang balian diletakkan sesuai dengan proporsinya dan tidak dicampur adukkan dengan tenaga kesehatan tradisional seperti yang terdapat dalam PP pelayanan kesehatan tradisional. Semestinya keberadaannya di inventarisasi dan dipadupadankan dengan pelayanan kesehatan konvensional yang ada.

Masa Gubernur Bali Made Mangku Pastika  telah dikeluarkan Keputusan Gubernur Bali Nomor 532/03-B/HK/2016 tentang Pembentukan dan Susunan Keanggotaan Tim Pembina dan Pengawasan Pelaksanaan Kesehatan Tradisional Provinsi Bali. Keputusan gubernur tertanggal 13 Januari 2016 seharusnya ditindaklanjuti dan diimplementasikan. Keputusan gubernur tersebut dibuat dengan pertimbangan untuk melakukan pengawasan dan pembinaan penyenyelenggaraan pelayanan pengobatan tradisional. Selain itu untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dari pelayanan dan informasi berupa iklan pengobatan tradisional yang tidak bertanggungjawab dan menyesatkan.

Hingga saat ini iklan pengobatan tradisional yang menyesatkan masih marak di lembaga penyiaran di Bali. Apalagi jasa pelayanan kesehatan tradisional yang memasang iklan tersebut cenderung tidak memiliki ijin, sehingga menjadi kewajiban bagi pemerintah bersama KPI untuk melakukan penertiban dan penindakan. Apalagi aturan terkait siaran kesehatan pada lembaga penyiaran juga telah dituangkan dalam peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran. Pada pasal 11 ayat (3) disebutkan program siaran yang berisi tentang kesehatan masyarakat dilarang menampilkan penyedia jasa pelayanan kesehatan masyarakat yang tidak memiliki izin dari lembaga berwenang”. Berdasarkan bunyi pasal tersebut, maka lembaga penyiaran berhak menayakan izin dari jasa pelayanan kesehatan yang ingin berpromosi. Lembaga penyiaran hanya boleh menyiarkan (program atau iklan) seputar jasa pelayanan kesehatan masyarakat (pengobatan tradisional atau pengobatan modern) yang sudah melalui proses perizinan dari lembaga yang berwenang. Langkah ini merupakan upaya untuk memberikan perlindungan kepada publik.

Penertiban iklan pengobatan tradisional yang menyesatkan sudah sepatutnya dilakukan dalam upaya melindungi potensi pengobatan tradisional yang ada di Bali. Setiap orang dan lembaga pada dasarnya memiliki hak yang sama untuk berpromosi di lembaga penyiaran. Tentunya jasa atau produk yang dipromosikan harus memenuhi legalitas. Legalitas menjadi penting sebagai tanggungjawab sosial bagi lembaga penyiaran terhadap masyarakat atas iklan atau informasi yang disampaikan. Dalam Undang-Undang no. 32 tahun 2002 tentang penyiaran, terutama pasal 36 ayat (5) poin a ditegaskan bahwa “isi siaran dilarang bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong”. Pelanggaran terhadap pasal 36 ayat (5) seperti yang tertuang dalam padal 57 adalah berupa pidana penjara 5 tahun dan atau denda Rp.1 miliar untuk penyiaran radio. Sedangkan untuk penyiaran televisi pidana penjara selama 5 tahun dan atau denda Rp. 10 miliar.

Oleh :

I Nengah Muliarta

Pemred Beritabali.com

Reporter: bbn/mul



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami