search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Banten Bebangkit Selam, Bukti Persaudaraan Hindu-Islam di Angantiga
Rabu, 22 Mei 2019, 06:20 WITA Follow
image

beritabali.com/kb.alitmd.com

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, BADUNG.

Beritabali.com, Badung. Persaudaraan antara umat Hindu dan Islam di Desa Angantiga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung sudah terbangun sejak awal abad ke-18. Pada hari raya Idul Fitri raja Carang Sari datang ke Masjid bersilaturahmi dengan umat Islam, sebaliknya saat odalan di Pura Kerajaan Carang Sari masyarakat Islam menyuguhkan banten bebangkit selam.

[pilihan-redaksi]

Demikian terungkap dalam artikel ilmiah berjudul “Kearifan Sistem Religi Lokal Dalam Mengintegrasikan Umat Hindu-Islam di Bali” yang dipublikasikan dalam Jurnal Sejarah Citra Lekha, Volume3, Nomor. 2 tahun 2018. Artikel ditulis oleh I Made Pageh dari Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja.

I Made Pageh menuliskan banten bebangkit selam menggunakan daging ayam sebagai inti suguhannya. Kerekatan ini berlangsung hingga era globalisasi saat ini, dilakoni dengan hidmat, dan saling menerima dan memberi dengan ikhlas satu sama lainnya, baik dalam pemerintahan, penguburan, maupun pelaksanaan ritual keagamaan.

Sedangkan Peneliti Balai Litbang Agama Semarang, Joko Tri Hariyanto dalam artikel berjudul “Norma Sosial Nyama Braya Bagi Kerukunan Umat Beragama: Studi terhadap Masyarakat Angantiga Bali” yang dipublikasikan dalam Jurnal Multikultural & Multireligius, Volume X, Nomor 2 tahun 2011 menuliskan banten atau bebangkit artinya sesajian, sehingga bebangkit selam berarti sesajian yang tidak menggunakan makanan atau daging yang diharamkan oleh muslim, seperti babi, dan menggantinya dengan itik atau ayam. Istilah mengacu pada aturan makanan orang Islam, yang mengharamkan babi.

[pilihan-redaksi]

Dalam prakteknya di masa lalu, pihak penguasa kerajaan atau puri meminta bantuan kepada orang-orang kampung yang saat itu adalah pembantu atau masih memiliki hubungan dengan pihak puri untuk membuatkan sesajian. Sebagai muslim, maka sesajian yang dibuatkan tidak menggunakan daging yang diharamkan, dan sesajian itu disebut banten selam. Dimana bebangkit selam merupakan salah satu sesaji yang diperuntukan bagi acara yang sangat sakral atau untuk dewa yang khusus.

Perayaan hari besar agama baik Islam maupun Hindu, di Angantiga juga melibatkan dua umat tersebut untuk saling membantu kelancaran perayaan. Pada saat umat Islam melaksanakan shalat Idul Fitri atau Idul Adha, di mana jamaah di masjid Baiturrahman meluber sampai ke jalan raya di depan masjid, maka pecalang dari banjar adat Hindu Angantiga yang membantu mengamankan lokasi, menutup jalan dan mengarahkan masyarakat non-muslim untuk melewati jalan yang lain sehingga tidak menganggu kekhusyukan uamt Islam dalam menjalankan shalat Idul Fitri ataupun Idul Adha.

Demikian pula sebaliknya, pada saat hari raya Nyepi, di mana umat Hindu wajib untuk melaksanakan nyepi dengan tidak keluar rumah, tidak menyalakan api, tidak melakukan kerja, maka umat Islam Angantiga yang dikoordinir pengurus kampung turut membantu mengamankan suasana Nyepi. Umat Islam di lingkungan Angantiga turut menjaga ketentraman lingkungan dengan tidak melakukan aktivitas yang mengganggu hari Nyepi, bahkan untuk pergi ke tetangga yang agak jauh di lingkungan Angantiga pun keluar tidak menggunakan sepeda motor tetapi jalan kaki.

Joko Tri Hariyanto juga menuliskan bahwa warga kampung Islam Angantiga banyak yang mata pencahariannya bercocok tanam. Petani muslim pun ikut bergabung dalam lembaga pengelolaan air di tingkat banjar yang disebut Subak. Dalam tradisi subak ada upacaya mapag yeh atau menyambut air. Acara ini dilakukan pada saat awal musim tanam. Bagi umat Hindu, mapag yeh dilakukan di Pura Subak lengkap dengan sesajiannya. Bagi anggota subak yang beragama Islam, mapag yeh juga dilakukan, tetapi di hari yang berbeda dengan umat Hindu. Umat Islam menyelenggarakan mapag yeh dengan berdoa di rumah salah satu anggota subak yang muslim atau dilaksanakan di lokasi dekat dengan sawah mereka menurut tata cara Islam.

Joko Tri Hariyanto dalam artikelnya juga menyebutkan bahwa berdasarkan naskah Lontar Purana yang tersimpan di Puri Carangsari, Kampung Islam Angantiga ini telah ada sejak tahun 1442. Berdasarkan lontar tersebut dan penuturan turun temurun dari orang-orang tua di Kampung Angantiga, leluhur kampung Angantiga ini adalah tiga orang pengembara dari Bugis. Ketiga orang ini diminta bantuannya oleh raja Ida Gusti Ngemangkurat Kacung Gede, penguasa puri Carangsari yang saat itu bernama kerajaan Pungingpuspo untuk mengamankan daerah bernama Bangkian Jaran dari berbagai marabahaya.

Ketiga tokoh Bugis yang kebetulan beragama Islam itu akhirnya berhasil mengamankan wilayah Bangkian Jaran sehingga oleh Raja diperkenankan untuk menggunakan wilayah tersebut sebagai tempat tinggalnya sambil menjaga lokasi tersebut. Daerah itu kemudian oleh pihak puri atau Raja disebut Angantiga. Angantiga ini berasal dari bahasa Bali halus yang mengandung penghormatan. Angan artinya raga atau diri manusia, dan tiga artinya tiga dalam bahasa Bali halus, yang bahasa umumnya telu. Karena itu pemberian nama Angantiga ini merupakan bentuk penghormatan Puri terhadap ketiga orang Bugis yang telah membantu kerajaan Pungingpuspo ini.[bbn/ Citra Lekha & Jurnal Multikultural & Multireligius/mul]

Reporter: bbn/mul



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami