Hoaks dan Narkoba Berpotensi Memecah Kerukunan
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, TABANAN.
Bali menjadi contoh kerukuan antarumat beragama. Kemajemukan ini selalu terjaga dengan baik. Namun, di tengah kemajuan teknologi informasi banyak tantangan yang berpotensi memecah kerukunan antarumat beragama.
[pilihan-redaksi]
Terlebih, di tengah pengaruh Narkoba yang tidak terbendung, sehingga berpotensi memicu konflik antarumat. Hal itu terungkap dalam talkshow dengan tema "Jaga Kerukunan Tanpa Hoaks dan Narkoba" bertempat di Gedung Diva Graha, Kebun Raya Bedugul, Tabanan, Sabtu (19/10).
Diskusi yang diselenggarakan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Hindu (IKH) IHDN Denpasar ini melibatkan puluhan masyarakat dari Pancasari, Tabanan. Turut hadir, Wakil Rektor III IHDN Denpasar, Dr. Drs. Ida Bagus Gede Candrawan, M.Ag., Ketua Prodi IKH IHDN Denpasar, Dr.I Gede Sutarya, Sst.Par.,M.Ag., dan Sekretaris IKH IHDN Denpasar, Dr. I Dewa Ayu Hendrawathy Putri, S.sos., M.Si.
Kegiatan yang dikemas santai menghadirkan dua narasumber, yakni Kepala Bidang P2M BNN Bali, AKBP I Ketut Suandika, SH., MH., dan Panit 1 unit 2 subdit V Ditreskrimsus Polda Bali, Iptu Andi Prasetyo, SH.
Wakil Rektor III, IB Gede Candrawan, dalam sambutanya mengapresiasi pengabdian masyarakat mandiri yang membahas mengenai kerukunan antarumat beragama.
Terlebih, di tengah ketebukaan informasi yang dapat menjadi pemicu terjadinya konflik. Karena itu, melalui talkshow ini diharapkan memupuk kerukunan antarumat.
Kepala Bidang P2M BNN Bali, AKBP I Ketut Suandika, SH., dalam paparannya mengatakan Indonesia, terutama Bali memiliki tantangan berat dalam melawan peredaran Narkoba.
Bahkan, penyebaranya hingga ke desa-desa, sehingga berpotensi merusak kerukunan. "Orang yang kena narkoba pasti tidak bisa rukun. Sama istri saja tidak rukun, apalagi dengan masyarakat. Tidak ada lagi batasan umur, pekerjaan bahkan aparat keamanan juga ada yang terkena narkoba," katanya.
Menurutnya, tak sedikit masyarakat yang menjadi pengguna obat telarang berawal dari obsesi ingin terlihat gagah, ingin menurunkan berat badan, bahkan karena ingin terlihat cantik. "Harus waspada, karena makanan juga ada yang mengandung narkoba. Misalnya, obat kuat agar terlihat gagah padahal umurnya sudah 58 tahun. Obat penghalus kulit atau obat diet juga kena narkoba. Mareka-mereka terobsesi jadi tanpa sadar kena narkoba," jelasnya.
Ketut Suandika mengakui, peredaran narkoba telah menyebar hingga ke pelosok-pelosok desa. Karena itu, pihaknya berharap desa ada memasukan Narkoba dalam awig-awig atau perarem desa.
"Jangan kira disini (Tabanan -red) tidak ada peredaran Narkoba. Di Desa Candikuning juga sudah terpapar Narkoba. Karena itu, kami harapkan bahaya Narkoba ini dimasukan dalam awig atau perarem," harapnya.
Dengan terbentuknya awig-awig tetang penanggulangan bahaya narkoba, kata Ketut Suandika, fungsi pecalang dapat dimaksimalkan. "Bukan berarti desa adat bisa menindak pengguna Narkoba, tapi jika ada warga yang menggunakan narkoba bisa diantarkan ke BNN untuk direhabilitasi tanpa dikenakan sanksi hukum," tegasnya.
Selain bahaya Narkoba, hoaks juga berpotensi memecahbelah kerukunan antarumat beragama. Bahkan, Panit 1 unit 2 subdit V Ditreskrimsus Polda Bali, Iptu Andi Prasetyo, SH., mengatakan peredaran informasi hoaks di Bali setiap harinya mencapai 10 kasus.
"Bayangkan per hari 10 ada kasus hoaks bayangkan kalau sebulan. Mereka menggunakan akun palsu," ucapnya.
Menurutnya, informasi hoaks biasanya disebar dengan secara masif dengan akun media sosial yang berbeda, sehingga berita yang disebarkan dianggap benar. "Ketika informasi disebar dan disiarkan secara berulang-ulang akan menjadi benar, padahal, berita itu belum tentu benar. Sayangnya, masyarakat tidak melihat sumber beritanya dan kapasitas menyebarnya," jelasnya.
Kendati demikian, Andi Prasetyo mengakui tidak dapat membendung berita hoaks. Terlebih, untuk memenangkan penyebar berita bohong harus membuktikan secara detail sumber beritanya.
"Kalau di media sosial sulit ditindak, karena dapat dihapus. Namun, kalau di media mainstream ketika memuat informasi hoaks harus diklarifikasi atau hak jawab," sebutnya.
Andi Prasetyo mengakui, Indonesia tengah menghadapi perang dunia maya, sehingga dibuatkan UU NO 1 / 1946 tentang Peraturan hukum pidana. Undang-undang ini isinya barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya 10 tahun.
Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya 3 tahun.
"Jika dia media yang tercatat di dewan pers tidak dapat ditindak secara hukum, namun dengan hak jawab. Namun, kalau tidak terdaftar bisa kita tindak sesuai undang-undang," pungkasnya.
Reporter: bbn/rls