Arsitektur Pura Dalem Balingkang, Salah Satu Daya Tarik Utama Wisatawan Tiongkok (3)
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Masalah yang ada dibahas dalam penulisan ini, adalah mengenai arsitektur dan makna simbolik palinggih Ratu Mas Subandar di Pura Dalem Balingkang, serta potensi arsitektur Pura Dalem Balingkang sebagai salah satu daya tarik utama wisatawan dalam rangka pengembangan pariwisata berkelanjutan di Bali.
Pura Dalem Balingkang (PDB) yang secara etimologi mengandung kata Pura dapat diartikan istana, Dalem berarti Raja, Bali adalah Pulau Bali, dan kata Kang berarti Raja, secara keseluruhan Pura Dalem Balingkang bisa berarti istana raja Bali Kuna (Mahendra, 1987: 32). Raja Bali Kuna yang dimaksud adalah Raja Sri Haji Jayapangus, yang juga lebih dikenal dengan sebutan Dalem Balingkang.
Dalam perspektif arsitektur, secara struktur fisik palinggih Ratu Ayu Mas Subandar tidaklah jauh berbeda dengan palinggih Pura Dalem Balingkang lainnya yang tradisional Bali, yaitu berbentuk gedong yang terdiri atas tiga bagian (konsep Tri Angga) yaitu bagian dasar atau bebaturan (kaki), bagian pengawak atau badan, bagian atas (kepala) atau raab (atap). Demikian pula dengan bahan pembuatannya adalah bahan alami lokal dari batu padas, bata, kayu, dan ijuk sebagai penutup atap.
Perbedaannya hanya dapat dilihat dari atribut warna dan hiasan yang dipasang di sana lebih didominasi warna merah dan pernak-pernik budaya Tionghoa seperti tedung atau payung, kelambu dan lampion serta adanya hiolo sebagai tempat dupa khusus warga Tionghoa. Namun keberadaan gedong Ratu Ayu Mas Subandar menjadi sangat berarti bila
dilihat dari perspektif makna simbolik arsitekturnya, yang akan dibahas pada tulisan ini.
Arsitektur dari berbagai jenis bangunan di Pura Dalem Balingkang memiliki berbagai variasi bentuk dari berbagai periode sejarah arsitektur tradisional di Bali yang turut mewarnai konsep pembangunannya, mulai dari arsitektur Bali Mula dan Bali Aga (< abad X), Bali Zaman Mpu Kuturan (datang ke Bali tahun 1001 Masehi), Bali Zaman Majapahit (yang menaklukan Bali tahun 1343 Masehi), Bali Zaman Danghyang Nirarta (yang datang ke Bali tahun 1489 Masehi pada masa kekuasaan Dalem Waturenggong), dan Bali Zaman Kekinian (setelah kemerdekaan 1945 sampai kini).
Untuk memudahkan menemukan lokasi palinggih Ratu Ayu Mas Subandar di Pura Dalem Balingkang dibuat papan nama dilengkapi dengan simbol pis bolong, yang di zaman Balingkang disebut Kupang atau Kepeng, terletak tepat di sisi timur laut dari Madya Mandala Pura Dalem Balingkang (Denah No. 21). Digunakannya simbol pis bolong sebagai identitas pengenal atau tetenger lokasi palinggih Ratu Ayu Mas Subandar, adalah bermakna adanya kepercayaan masyarakat pemuja berkaitan pernah adanya peran penting dari Ratu Kang Cing Wie dalam membantu memudahkan perputaran perekonomian masyarakat Bali, dengan mendatangkan uang pecahan kupang (pis bolong) dari Tiongkok ke Bali.
Menurut kepercayaan sebagian masyarakat Bali dan warga keturunan Tionghoa dari generasi tua di masa lampau bahwa palinggih Ratu Ayu Mas Subandar diyakini secara niskala (tidak kasat mata) menjadi tempat produksi pis bolong (kupang), dalam memenuhi kebutuhan sebagai alat tukar perdagangan dan sarana upakara masyarakat Hindu-Buddha di Bali. Pada papan nama gedong linggih Ratu Ayu Mas Subandar di Pura Dalem Balingkang terdapat uang kepeng atau pis bolong dengan ukiran huruf Tiongkok. Aksara Tiongkok tersebut berbunyi Tian Cheng Yuan Bao, dijabarkan perkata sebagai berikut: Tian=? artinya hari/Tuhan; Cheng=? artinya membuat/mendapatkan; Yuan=? artinya yuan (mata uang Tiongkok); dan Bao=? artinya uang/harta.
Sebutan koin ini berasal dari masa akhir Dinasti Tang (923-936) dan selama masa pemerintahan Tiancheng, menyebutkan koin dengan tian cheng yuan bao berarti uang Tiongkok untuk pemujaan atau milik Tuhan. Pis bolong ini diperkirakan sudah menjadi alat pembayaran yang sah pada zaman Balingkang di Bali, dan Ratu Sri Mahadewi Sasangkajacihna (Kang Cing Wie) ditugaskan khusus untuk mengatur masalah keuangan dan perdagangan antar pulau serta mengelola pelabuhan atau pabean, termasuk dalam mendatangkan uang kepeng dari negeri Tiongkok sehingga diberi gelar Ratu Ayu Mas Subandar.
Keberadaan palinggih Ratu Ayu Mas Subandar ini berbeda dengan Ratu Gede Subandar di Pura Batur, Kintamani dan pura lain di Bali. Menurut dugaan para pakar kepurbakalaan, awal mula beredarnya pis bolong Tiongkok di Bali sudah terjadi pada abad ketujuh Masehi, yaitu sebagai nilai tukar (ekonomi) atau sebagai alat pembayaran. Tetapi dalam perkembangannya kemudian, hingga kini justru fungsi ritualnya (nilai budayanya) yang menonjol (Widana, 1997: 246). Bukti peninggalan dan cerita sejarah berkaitan dengan keberadaan pis bolong (Tiongkok) inilah banyak dikaitkan dengan keberadaan Pura Dalem Balingkang. Pendukung dan pemuja Pura Dalem Balingkang (PDB) adalah masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Gebog Satak dan Gebog Domas Balingkang, yang berada di sekitar Kintamani, Bangli sampai Buleleng Timur dan orang-orang Tionghoa di desa Pegunungan Kintamani.
PDB juga banyak dipuja masyarakat Tionghoa di Bali lainnya, karena diduga pernah ada hubungan historis politik perdagangan antara Bali dan Tiongkok di masa lalu. Pemuja utama lain di luar Kelompok Gebog Satak dan Gebog Domas adalah warga masyarakat Desa Petak, khususnya keluarga Puri Petak, Gianyar. Hal ini sangat berkaitan erat dengan sejarah kembali berdirinya Pura Dalem Balingkang, yang sebelumnya hanya ada cangapit (gerbang kuna periode bali aga) dan batu andesit belah dua sebagai pusat pemujaan, yang diperkirakan yoni.
Sesuai dengan data arsitektur di lapangan, berdasar informasi dari I Nengah Kandi, sebagai salah satu pemangku dari Pura Dalem Balingkang, di Pura Dalem Balingkang terdapat pintu gerbang peletasan (keluar) berupa Cangapit, gerbang dari periode Bali Mula atau Bali Aga berbentuk sebuah bangunan bertiang delapan beratap ijuk dengan kerangka atap dan daun pintu dari kayu jati, yang lubang pintunya tepat berada di tengah diapit masing-masing oleh dua plangkan (balai-balai) pada sisi depan dan sisi belakangnya, sebagai tempat para penjaga gerbang istana. Daun pintu peletasan ini berisikan ornamen ukiran berbentuk patra cina (jenis motif stiliran berbentuk bunga dan daun yang ada di negeri Tiongkok) dan dikatakan masih aslinya dari masa lampau. Demikian pula pada bagian tiang kerangka atapnya (tugeh) terdapat hiasan berbentuk singa bersayap (Singa Ambara Raja), yang menjadi simbol keturunan Sri Kesari Warmadewa dan Ugrasena (Kesari = Ugra = Singa) yang menjadi raja pertama dan kedua kerajaan Bali Kuna Singa Mandawa, yang kemudian oleh Panji Sakti juga dijadikan lambang kota Singaraja, yang didirikan (Paramartha, 2017: 1).
Menurut pemangku Kandi, pada gedong palinggih Ratu Ayu Mas Subandar Pura Dalem Balingkang terdapat sebuah batu alam belah dua berbentuk seperti alat kelamin perempuan, yang diperkirakan batu tersebut adalah yoni. Dengan demikian palinggih gedong Ratu Ayu Mas Subandar secara simbolik berfungsi sebagai simbol ibu atau pradhana dari masyarakat Bali umumnya dan khususnya warga keturunan Tionghoa di Bali, sekaligus tempat penyimpanan simbol dari unsur pradhana dalam agama Hindu-Buddha. Sedangkan yang berfungsi sebagai bapak atau purusa-nya (pasangan pradhana) dari dari masyarakat Bali umumnya dan khususnya warga keturunan Tionghoa di Bali adalah Palinggih Pajenengan Bhatara Dalem Balingkang
Keduanya merupakan simbol Rwa Bhineda (dua unsur berbeda atau berlawanan tetapi selalu berpasangan) seperti Purusa-Pradhana, Ibu-Bapak, Pertiwi-Akasa, Jaba-Jeroan, laut–gunung/darat, warga Bali pendatang - warga Bali Mula dan Bali Aga (keturunan Tionghoa- keturunan Bali) menjadi satu dalam akulturasi yang harmonis sebagai umat Hindu-Buddha Bali.
Jejak sejarah raja-raja Bali Kuna ini tidak pernah ada berita adanya pertentangan yang menjurus pada perpecahan negara. Semua dapat disatukan berkat kebijaksanaan raja-rajanya, seperti dalam kasus penyatuan sekta-sekta di Bali oleh Mpu Kuturan atas inisiatif Raja Udayana dan permaisurinya Mahendradatta.[Prof. Anastasia Sulistyawati/ bersambung]
Reporter: bbn/tim