search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Arsitektur Pura Dalem Balingkang, Salah Satu Daya Tarik Utama Wisatawan Tiongkok (5)
Kamis, 26 Desember 2019, 08:40 WITA Follow
image

beritabali.com/ist/net

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Dari seluruh bahasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa keberadaan arsitektur Palinggih Ratu Ayu Mas Subandar di Pura Dalem Balingkang secara arsitektonis tidaklah ada perbedaan dengan arsitektur palinggih atau bangunan lain yang tradisional Bali, yang secara struktur terdiri dari tiga bagian (tri angga): kepala (raab atau atap), badan (pengawak) dan kaki (bebaturan), dengan bahan alami lokal. Hanya saja hiasan yang dipasang lebih didominasi oleh warna merah dan dilengkapi pernak-pernik yang menjadi ciri khas dari budaya Tionghoa. 

Unsur budaya Tionghoa juga ada di pintu cangapit (bentuk gerbang dari zaman Bali Mula atau Bali Aga) berupa ornamen Patra Cina. Namun, secara keseluruhan, berdasarkan tipe berbagai jenis bangunan di Pura Dalem Balingkang, dapat dikatakan sebagai bentuk hasil integrasi dari arsitektur berbagai periode sejarah arsitektur tradisional Bali, mulai dari arsitektur Bali Mula dan Bali Aga, Bali Zaman Mpu Kuturan, Bali Zaman Majapahit, Bali Zaman Danghyang Nirarta, dan Bali Zaman Kekinian. Hal ini disebabkan karena kembali dibangunnya Pura Dalem Balingkang adalah oleh Dewa Agung Mayun Sudha yang merupakan Raja Pejeng, Gianyar, yang sengaja menampilkan warisan integrasi simbol sejarah semua periode arsitektur di Bali, yang telah memperkaya khasanah dan identitas arsitektur tradisional Bali.

Dalam kasus palinggih gedong Ratu Ayu Mas Subandar, warga pemuja yang datang dari dua budaya diberi kebebasan untuk memberi hiasan dan cara memuja sesuai dengan kebudayaan pemujanya, tanpa harus dipertentangkan. Artinya, ekstensitas dan intensitas hubungan antar etnis Bali dan etnis Tionghoa dapat ditunjukkan melalui aneka media simbolik, dari simbol profan sampai simbol sakral. Semua ini bisa terjadi tidak terlepas dari adanya peran dan usaha penting dari raja-raja Bali Kuna yang secara berkesinambungan telah meletakkan dan memberi contoh dasar-dasar kuat menuju kehidupan bernegara dalam toleransi tinggi untuk membina kedamaian dan keharmonisan kehidupan masyarakat demi tercapainya kesejahteraan rakyat Bali. 

Terlebih contoh nyata yang diberikan oleh sosok raja Sri Haji Jayapangus Harkajalañcana dengan kedua permaisurinya Paduka Bhatari Sri Prameswari Indujaketana dan Paduka Sri Mahadewi Sasangkajacihna, yang memerintah bersama dari keraton Balingkang. Keberhasilan dalam membina toleransi dan keharmonisan dalam pemerintahan sosok raja sejoli ini yang kemudian melahirkan berbagai kekayaaan bentuk seni akulturasi yang bermutu tinggi, yang dapat diwarisi sampai kini di Bali.

Nilai-nilai budaya dan nilai sejarah yang terkandung dari keberadaan Pura Dalem Balingkang seperti yang telah panjang lebar diuraikan di atas terutama dari segi toleransi atas keberagaman budaya, proses asimilasi, dan integrasi etnis Bali dan Tionghoa, serta terjadinya akulturasi budaya yang secara langsung dan tidak langsung telah memperkaya kebudayaan Bali dan Indonesia umumnya adalah menjadi potensi kuat untuk dikembangkan menjadi salah daya tarik wisata budaya potensial, khususnya bagi warga Negara Tiongkok untuk datang ke Balingkang dan Bali umumnya. Ini menjadi penting dalam rangka Pembangunan Pariwisata Budaya Berkelanjutan di Bali dan Indonesia umumnya.

Secara semiotik, adanya hubungan simbolik mengindikasikan, bukan saja sebatas kedekatan hubungan melainkan juga potensinya untuk integrasi dan akulturasi. Sebagai fakta historis dari laporan kajian sejarah belum banyak merekam adanya pola hubungan konflik horisontal antar etnis Bali dengan etnis Tionghoa di Bali. Tentu hal ini merupakan potensi penting dan modal sosial yang sangat berharga dalam upaya mengkonstruksi pola hubungan ke arah lebih harmonis-integratif secara lokalitas, nasionalitas dan universalitas bagi keamanan dan kedamaian negara. 

Kedekatan hubungan yang berpotensi integrasi dan akulturasi harus dapat dipelihara bersama oleh semua pihak yang hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia, tanpa harus meniadakan yang lain. Semua pihak yang berkepentingan dalam mendudukan politik kebudayaan yang sehat ini harus bisa bahu membahu melestarikan tinggalan sejarah ini dan semangat dari nilai-nilai yang dikandungnya dalam bentuk lebih modern seperti Festival Balingkang saat ini.

Namun sebagai saran, yang perlu diperhatikan saat ini adalah harus ada jalan bagus sebagai akses keluar masuk wisatawan menuju Balingkang. Fasilitas umum berupa parkir yang luas dan memadai untuk kendaraan wisatawan dalam jumlah besar, kendaraan khusus dari Penulisan ke Balingkang mengingat medannya yang sempit dan agak terjal, fasilitas kebersihan di tempat-tempat umum yang bertingkat internasional, dan fasilitas toilet atau MCK yang cukup dan bertaraf internasional, pusat cinderamata khas Bali-Tionghoa seperti Barong Landung, pusat penukaran uang money changer. Keberadaan fasilitas pendukung ini juga harus dibarengi dengan kesiapan SDM lokal dalam mendukung pariwisata, seperti penguasan bahasa asing khususnya Mandarin, manajemen pariwisata, hotel dan restoran, sikap mental masyarakat lokal yang cocok dalam pariwisata. Untuk itu dibutuhkan perencanaan matang sesegera mungkin dari berbagai pihak terkait secara koordinatif dalam satu visi dan misi yang jelas dan tegas.[[Prof. Anastasia Sulistyawati/selesai]
 

Reporter: bbn/tim



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami