search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Pembangunan Kota Denpasar Perlu Ditata Kembali dari Aspek Tata Ruang
Minggu, 19 Januari 2020, 20:00 WITA Follow
image

beritabali.com/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

BEM Fakultas Teknik Universitas Hindu Indonesia, Gelar Screening Film “Derita Sudah Naik Seleher” karya Erick EST pada hari Sabtu [18/01/2020] bermaksud membuka ruang diskusi kepada para mahasiswa yang tinggal pada kawasan Bali Selatan.


Dengan mengundang Erick ES selaku sutradara dan menjadi pemantik saat diskusi bersama I Gusti Putu Anindya Putra Selaku Kepala Pusat Studi (PWK) Perencanaan Wilayah Kota. Menanggapi peliknya perencanaan Pembangunan  Kota Denpasar, pemutaran Film tersebut memberikan edukasi audio visual terhadap Mahasiswa  tentang pengaruh Pembangunan yang berdampak pada budaya dan prilaku masyarakat.

Adi Setyawan selaku Ketua BEM FT UNHI menggelar acara Agni Hitam dengan pemutaran film yang bertempatan di Lapangan Tenis UNHI bertemakan “Denpasar Sedang Tidak Baik Baik Saja”, dengan maksud dan tujuan untuk mengajak mahasiswa lainnya agar berpikir out of the box. Dengan dihadiri oleh Organisasi Internal dan Ekternal kampus.

Pembangunan yang tidak sesuai dengan kapasitas ruang terbuka hijau dan melebihi dari kapasitas aturan tentang tinggi bangunan mempengaruhi jumlah demografi, transportasi bahkan limbah yang terus meningkat setiap tahunnya sehingga berdampak luas terhadap lingkungan. Menurut Erick EST, kapasitas pembangunan yang membludak pada daerah Bali Selatan menjadi penyebab kemacetan dan pertumbuhan demografi yang meningkat.

“Bayangkan untuk menuju wilayah Canggu dari Kota Denpasar membutuhkan waktu sampai sejam. Kalau pembangunan yang di tambah lagi kedepannya maka berapa jam di butuhkan untuk menuju Canggu? Padahal jarak tempuh menuju Canggu tidak jauh,” ungkap Erick.
 
Anindya mengatakan bahwa pembangunan Kota Denpasar masih banyak perlu ditata kembali dari aspek tata ruangnya dengan memaksimalkan SDM yang sadar akan prilakunya, sebab prilaku manusia di setiap Kota akan menjadi budaya yang mengakar oleh sebab itu untuk mempertahankan Adat Budaya Bali mesti dibangun atas aspek konvensional daerah yang berkearifan lokal.

Bagi Erick EST, Bali merupakan wilayah Indonesia yang di kelilingi oleh Pacific ring of fire sehingga rawan terhadap bencana alam.

Pembangunan yang memanfaatkan wilayah pesisir rawan terhadap Tsunami dan Bangunan yang terdiri dari beton  mudah retak bahkan cekalanya sampai roboh.

Rumah beton model minimalis merupakan peninggalan dari Hindia-Belanda yang dulunya menjajah Bangsa Indonesia.

Sebelum pengaruh modernitas tersebut Budaya Lokal Indonesia membangakan konsep rumah dari kayu yang tahan dan fleksible apabila terjadi gempa, hal tersebut sudah dipikirkan dengan matang oleh leluhur nusantara pada jaman itu. Lantas mengapa saat ini kaidah budaya banyak di kesampingkan padahal budaya merupakan identitas yang kuat bagi sebuah bangsa.

 

 

Tanggapan dari Anindya, model arsitektur asta kosala kosali asta bumi menjadi solusi atas kelestarian budaya dengan memaksimalkan mahasiswa Civil Engineer dan Urban Planning dalam melestarikan konsep ruang kebudayaan serta seluruh mahasiswa wajib terlibat aktif dalam hal pengkajian lingkungan. Sehingga prilaku melek terhadap masalah lingkungan mewujudkan harmonisasi Tri Hita Karana, pesan Anindya selaku Kepala Pusat Studi PWK.
 

Reporter: bbn/rls



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami