Kehadiran Negara dan Ancaman Pengawasan
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
The public is not to see where power lies, how it shapes policy, and for what ends. Rather, people are to hate and fear one another (Noam Chomsky, 1997)
Fenomena pandemi Covid-19 menghadirkan berbagai macam kontestasi kebijakan. Pemerintah sebagai otoritas menghasilkan berbagai macam kebijakan guna memerangi wabah ini. Kebijakan yang dihasilkan dan praktiknya, dengan demikian adalah cermin dari wajah negara dan sekaligus karakteristik politik otoritas dalam penanganan wabah ini.
Noam Chomsky, yang saya kutipkan di awal tulisan ini, dengan gamblang mengungkapkan bahwa politik dan kebijakan adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Di mana ada kebijakan, maka di situ terdapat kekuatan politik. Di dalamnya kita bisa melihat berbagai macam kepentingan dan aktor politik yang “bekerja” dan membentuk intersection (hubungan). Bahkan tidak jarang dengan terang-benderang kita dipertontonkan kebijakan yang khusus dibuat untuk melegakan sahwat legitimasi politik.
Oleh sebab itulah, setiap kebijakan sebetulnya tidaklah bersifat benar-benar netral (baca: bebas kepentingan). Eksistensi sisi politis dari sebuah kebijakan itu yang pada praktiknya mewarnai kehidupan manusia di mana pun mereka tinggal dan berada. Maka tidak heran jika hubungan yang saling berkelidan ini membuat kabur antara politics dan policy goals, tujuan kebijakan.
Politik pada dasarnya berbicara tentang tujuan seperti memperjuangkan nilai dan jabatan berhadapan dengan lawan politik, sementara kebijakan bertujuan untuk menghasilkan solusi (tentu dengan pertimbangan politis) terhadap masalah penting yang perlu mendapat perhatian bersama untuk diselesaikan, tanpa memandang latar belakang politik. Kebijakan adalah untuk kemaslatan umat manusia.
Namun, perspektif public policy (kebijakan publik) berkata lain. Kebijakan itu sendirilah yang menentukan politik tersebut. Policies determine politics (kebijakan menentukan seperti apa politik) adalah pernyataan yang sangat familiar bagi penekun studi kebijakan publik. Dalam salah teorinya yaitu redistributive, Theodore Lowi (1972) berpendapat bahwa sebuah kebijakan ada untuk redistribusi dan alokasi costs and benefits yang bersifat unequal dan bertemu dalam arena politik.
Kehadiran Negara
Dunia yang sedang panik seperti sekarang ini terang mengharapkan kehadiran negara dengan berbagai macam kebijakannya. Apparatus negara semuanya dikerahkan untuk menangani wabah ini. Negara sebagai otoritas sangat diperlukan untuk menjamin keamanan dan keselamatan warga negara sebagai bentuk tanggung jawabnya. Sebagai institusi yang memiliki kekuasaan dari rakyatnya, negara wajib memperoleh kepercayaan publik dalam penanganan wabah ini.
Saat itulah negara sering dikatakan “hadir” saat warganya mengalami kesulitan dan butuh pertolongan. Warga negara telah menyerahkan hak yang dimilikinya sebagai warga negara kepada otoritas negara. Namun, itu kata teori yang normatif. Kenyataan di lapangan, negara dengan segala perangkatnya di seluruh wilayah kadang tidak memiliki kapasitas untuk meraih kepercayaan publik.
Kebijakan Bali pada masa pandemi lahir berkelidan dengan pertarungan berbagai kepentingan ekonomi politik plus pariwisata. Pada titik inilah benar argument Chomsky yang menyebutkan bahwa penentuan kebijakan menunjukkan karakteristik politik itu sendiri.
Ketergantungan sekaligus ketakutan ambruknya pariwisata berakibat Bali lebih memikirkan “menyelamatkan” pariwisata daripada nyawa rakyatnya sendiri. Kapasitas dinas-dinas yang belum memiliki data, terkhusus PMI (Pekerja Migran Indonesia) dan penduduk miskin menambah kisruh penyebaran local serta jaringan pengaman sosial di tengah masyarakat. Jargon pemberdayaan membuat desa adat menjadi bamper penanganan pandemi di garda depan, selain tentunya dokter dan tenaga medis lainnya. Negara lamban untuk memutuskan berbagai kebijakan yang berorientasi menyelamatkan nyawa manusia.
Pada sisi yang lain, berbagai ketidakjelasan sekaligus ketidaktegasan kebijakan tersebut membuat saya berpikir bahwa negara sebenarnya sedang berhitung biaya dan manfaat/keuntungan (costs and benefits) yang didapatkan bagi kekuasaannya jika kebijakan tersebut dijalankan. Berbagai macam alokasi dan distribusi (kebijakan dan anggaran) yang sebelumnya terjadi kini coba dialihkan untuk penanganan pandemi ini.
Untuk meraih kepercayaan publik, kepemimpinan yang kuat serta kebijakan yang tidak anti-intelektual sangatlah penting. Untuk melakukan itu, Bali memiliki sumber daya manusia yang melimpah dalam berbagai bidang. Pada kondisi seperti ini, menjadi sangat penting kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan dalam menangani pandemi. Selain tentunya tetap berpegang kepada sisi niskala, kearifan pengetahuan lokal warisan leluhur Bali dalam merespon gering (wabah).
Secara simbolik, Gubernur Bali dalam hal ini, sangatlah penting kehadirannya di tengah masyarakat, bukan hanya melakukan konferensi pers dengan membuat instruksi, himbauan, atau keputusan bersama. Di sinilah ujian sebenarnya kepemimpinan yang mengakar kuat tersebut. Pada masyarakat yang masih paternalistik seperti Indonesia dan Bali, kehadiran simbolik pemimpin sangatlah penting dalam merasakan kecemasan dan ketakutan masyarakat di tapak. Kepemimpinan yang kuat konon salah satunya adalah yang menjejak bumi, sehingga kakinya betul-betul menapak pertiwi tidak hanya mengawang-ngawang di langit.
Pada masa pandemi ini, kita menyaksikan secara terang-benderang perdebatan tentang rakyat yang mengalami dilema. Mereka harus membuat keputusan antara keselamatan (kesehatan) atau privasi mereka diganggu karena pengawasan yang ketat. Rakyat terpaksa tunduk dan menyerahkan diri terhadap otoritas negara yang melakukan pengawasan secara ketat terhadap gerak-geriknya.
Pengawasan
Namun, hati-hati dalam menyerahkan diri sepenuhnya kepada pengawasan dari otoritas. Tentu rakyat harus tetap kritis dan berhati-hati melihat kebijakan dan introduksi negara. Pada titik inilah saya ingin mengutip peringatan Yuval Noah Harari bahwa pandemi Covid-19 ini menjadi potensi kuat kebangkitan otoritarianisme atau totalitarianisme dengan hadirnya surveillance state atau negara pengawasan.
Saya kira Harari terinspirasi oleh ide Michel Foucault tentang panopticon. Konsep ini awalnya dikemukan oleh Jeremy Bentham pada tahun 1870-an yang melihat seluruh narapidana ditempatkan dalam sel-sel berbentuk melingkar mengitari sebuah menara penjaga. Segala gerak-gerik mereka tak bisa lepas dari pengawasan para penjaga. Model semacam itu dianggap amat efektif untuk mendisiplinkan para narapidana karena mereka selalu sadar bahwa dirinya sedang diawasi.
Foucault kemudian mempopulerkan konsep tentang panopticon dalam bukunya Surveiller et Punir/Discipline and Punish: The Birth of the Prison (1975). Tak hanya dipakai sebagai model penjara, panopticon digunakan secara luas sebagai kontrol sosial terhadap masyarakat. Kontrol itu dilakukan lewat simbol-simbol dan aturan yang berlaku bagi seluruh warga. Sekalipun tak ada “penjaga” yang mengawasi, mereka selalu takut akan hukuman. Foucault juga menyebut, kini warga negara tidak sadar bahwa diri mereka sedang diawasi. Manusia tidak dipandang sebagai subjek yang bebas, melainkan “mahluk kriminal” yang harus selalu diawasi.
Entah sampai kapan pandemi Covid-19 akan berakhir. Namun, melalui gering agung ini kita diberikan pelajaran untuk selalu awas dan kritis terhadap tingkah polah otoritas negara. Kita bisa menuntut negara untuk memenuhi kewajibannya dalam menangani wabah ini. Namun, jangan lupa untuk tetap kritis akan ancaman kooptasi dan pengawasan terhadap ruang privat kita.
Reporter: bbn/opn