Ketika Jiwa Menari antara Euforia dan Kesedihan: Memahami Gangguan Bipolar Lebih Dalam

bbn/ilustrasi/Ketika Jiwa Menari antara Euforia dan Kesedihan: Memahami Gangguan Bipolar Lebih Dalam.
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Dalam dunia yang kian menuntut kesempurnaan, terutama bagi para mahasiswa profesi kesehatan yang sedang bergulat antara idealisme dan kenyataan, kita menemukan satu cerita yang mungkin diam-diam mewakili banyak suara lain yang tak terdengar.
Seorang perempuan, 24 tahun, berdiri di ambang batas antara kelelahan fisik dan mental yang sulit dijelaskan. Lima hari tanpa tidur, ia merasa tubuhnya lelah tapi pikirannya tak bisa berhenti berlari. Ada kalanya ia merasa penuh semangat, rajin, bahkan tidak membutuhkan tidur.
Di lain waktu, ia jatuh dalam kesedihan yang dalam, menangis, merasa putus asa tanpa sebab yang jelas hingga ada pikiran bunuh diri. Dunia emosinya berayun ekstrem antara energi tinggi yang tidak wajar dan kesedihan yang dalam hingga ingin menyerah.
Ia menjadi mudah tersinggung, bicara cepat, dan merasakan tekanan untuk "melakukan sesuatu" meski tak tahu apa. Di balik senyumnya sebagai mahasiswi keperawatan yang sedang menjalani praktik, ia menyimpan badai dalam jiwanya.
Kisah ini bukan sekadar cerita satu orang. Ia adalah gambaran dari banyak jiwa muda yang bergulat dengan gangguan bipolar suatu kondisi yang masih sering disalahartikan sebagai "kurang kuat" atau "terlalu sensitif". Padahal, dari kacamata psikiatri, gangguan ini memiliki dasar biologis yang nyata.
Antara Mania dan Kesedihan Mendalam
Gangguan bipolar adalah gangguan suasana perasaan, ditandai oleh fluktuasi antara episode mania atau hipomania dan depresi. Kasus perempuan ini mencerminkan episode campuran, di mana gejala panik dan depresif muncul bersamaan. Tidak ada satu penyebab tunggal dari gangguan bipolar, melainkan gabungan dari unsur biologis, genetik, psikologis, dan lingkungan yang kompleks.
Secara genetik, risiko seseorang untuk mengalami gangguan bipolar meningkat jika memiliki riwayat keluarga dengan kondisi serupa, seperti gangguan bipolar atau depresi berat. Studi ilmiah menunjukkan bahwa faktor keturunan memiliki pengaruh yang kuat, dengan estimasi heritabilitas sekitar 60–85%. Namun, tidak semua anak dari orangtua dengan gangguan bipolar akan mengalami kondisi yang sama. Gen hanya memberi kerentanan, bukan kepastian.
Dari sisi neurobiologis, gangguan bipolar berkaitan dengan ketidakseimbangan zat kimia otak, terutama neurotransmiter seperti dopamin, serotonin, dan glutamat yang berperan dalam mengatur suasana hati. Gangguan pada struktur otak seperti amigdala, yang mengatur emosi, dan korteks prefrontal, yang mengendalikan pengambilan keputusan dan impuls, juga ditemukan pada banyak pasien bipolar.
Selain itu, kondisi ini juga dikaitkan dengan proses neuroinflamasi serta penurunan kadar BDNF (brain-derived neurotrophic factor), suatu protein penting yang mendukung pertumbuhan dan stabilitas sel-sel otak, sehingga memperburuk ketidakstabilan emosional.
Faktor lingkungan dan stres psikososial turut berperan sebagai pencetus. Peristiwa hidup yang berat seperti kematian orang terdekat, perceraian, kekerasan, kehilangan pekerjaan, atau tekanan akademik sering menjadi pemicu awal munculnya gejala gangguan bipolar.
Bahkan stres kronis seperti kurang tidur, kerja berlebihan, atau konflik interpersonal yang terus-menerus dapat memicu kekambuhan. Hal ini sejalan dengan model diatesis-stres, yang menjelaskan bahwa seseorang dengan kerentanan genetik bisa mengalami gangguan bipolar jika menghadapi tekanan hidup yang berat dan berkelanjutan.
Selain itu, faktor kepribadian dan mekanisme koping juga memainkan peran penting. Sifat perfeksionis, kebiasaan memendam emosi, atau kecenderungan overthinking dapat mempercepat atau memperberat munculnya gejala. Riwayat trauma masa kecil, seperti kekerasan atau pengabaian, diketahui mempengaruhi regulasi emosi dan meningkatkan risiko gangguan mood di kemudian hari.
Konsumsi narkoba, alkohol, atau bahkan obat antidepresan dan obat mood stabilizer tanpa pengawasan bisa menyebabkan munculnya episode manik atau memperburuk ketidakseimbangan emosi pada individu yang rentan. Riwayat percobaan bunuh diri, seperti yang pernah dialami perempuan ini, merupakan prediktor risiko yang sangat serius. Ditambah tekanan akademik dan perfeksionisme, risiko ini meningkat tajam.
Perempuan dan Gangguan Bipolar: Beban Ganda yang Tak Terlihat
Perempuan dengan gangguan bipolar menghadapi sejumlah tantangan yang berbeda dibandingkan laki-laki, baik dari segi pola gejala, respons terhadap pengobatan, maupun tekanan sosial yang menyertainya. Secara klinis, perempuan lebih sering mengalami episode depresif dibandingkan episode manik, sementara laki-laki cenderung lebih sering menunjukkan gejala mania atau hipomania.
Selain itu, perempuan juga lebih rentan mengalami rapid cycling, yaitu munculnya empat atau lebih episode mood dalam satu tahun. Pola ini seringkali lebih sulit dikenali dan ditangani, karena gejalanya dapat menyerupai gangguan depresi dan mudah terabaikan.
Fase-fase reproduksi dalam kehidupan perempuan juga memainkan peran besar dalam kestabilan mood. Menjelang menstruasi, sebagian perempuan melaporkan memburuknya gejala bipolar akibat fluktuasi hormonal. Selama kehamilan, meskipun sebagian pasien mengalami stabilitas mood, penelitian menunjukkan bahwa hingga 70% perempuan mengalami kekambuhan, terutama dalam bentuk episode depresif.
Kondisi ini dapat berlanjut bahkan memburuk setelah persalinan, di mana risiko psikosis postpartum (puerperal psychosis) meningkat secara signifikan sebuah kegawatdaruratan psikiatri yang biasanya muncul dalam satu hingga dua minggu setelah melahirkan. Transisi menuju menopause, khususnya pada fase perimenopause, juga dikaitkan dengan penurunan kadar estrogen yang drastis dan peningkatan risiko depresi.
Tak kalah penting, perempuan dengan bipolar juga menanggung beban sosial dan stigma ganda. Di satu sisi, mereka dituntut untuk tetap menjalankan peran sebagai ibu, istri, dan pekerja dengan baik, meskipun sedang dalam kondisi emosional yang tidak stabil.
Di sisi lain, mereka sering kali dianggap sebagai “perempuan yang lemah”, “tidak mampu mengendalikan diri”, atau bahkan “bermasalah secara moral”. Menjadi perempuan dengan bipolar bukan hanya menghadapi penyakit, tapi juga berjuang agar suaranya tetap didengar di tengah dunia yang sering tidak mengerti kompleksitasnya.
Terapi Gangguan Bipolar
Farmakoterapi atau pengobatan dengan obat merupakan dasar utama dalam penanganan gangguan bipolar. Namun pasien gangguan bipolar bukan sekadar penerima obat. Mereka adalah pribadi utuh yang perlu mengenali gejala, membangun rutinitas sehat, dan menetapkan tujuan hidup yang realistis dan bermakna.
Untuk itu psikoterapi memiliki peran yang tak tergantikan dalam memperpanjang masa remisi, mencegah kekambuhan, memperbaiki fungsi sosial, serta meningkatkan pemahaman dan kepatuhan terhadap pengobatan. Psikoterapi membantu pasien mengembangkan keterampilan dan strategi hidup yang memungkinkan mereka menjalani kehidupan yang lebih stabil, bermakna, dan adaptif.
Salah satu pendekatan yang paling dikenal adalah Cognitive Behavioral Therapy (CBT).
Terapi ini membantu pasien mengenali dan mengubah pola pikir negatif serta perilaku yang tidak sehat, yang sering kali memperburuk gejala gangguan bipolar. Selain itu, Family-Focused Therapy (FFT) berfokus pada keterlibatan keluarga dalam proses pemulihan.
FFT bertujuan mengurangi emosi negatif dalam keluarga (dikenal sebagai expressed emotion), yang dapat memperburuk kondisi pasien. Psikoedukasi menjadi fondasi dari hampir semua pendekatan psikososial yang efektif. Psikoedukasi meliputi pengenalan terhadap gejala bipolar, pemahaman tentang fungsi dan efek samping obat, identifikasi pemicu kekambuhan, penerapan gaya hidup sehat (seperti tidur teratur dan manajemen stres), serta membangun harapan yang realistis mengenai pemulihan.
Melalui kombinasi strategi kognitif, edukasi, pelibatan keluarga, dan pengelolaan ritme hidup, psikoterapi membekali pasien dengan alat untuk mengenali, mengelola, dan menyembuhkan dirinya dari dalam. Karena pada akhirnya, obat menyeimbangkan kimia otak, tapi psikoterapi mengembalikan arah hidup.
Mengenali Tanda Awal: Kunci Pencegahan Kekambuhan
Mengenali tanda awal gangguan bipolar merupakan langkah krusial untuk mencegah kekambuhan dan mempercepat proses penanganan. Pada fase manik atau hipomanik, gejala awal biasanya ditandai dengan penurunan kebutuhan tidur, pasien bisa tidur hanya dua hingga empat jam per malam dan tetap merasa penuh energi.
Ada pula peningkatan aktivitas yang tidak biasa, dorongan kuat untuk menyelesaikan banyak hal secara bersamaan, atau munculnya ide-ide besar yang terus-menerus memenuhi pikiran (racing thoughts). Individu juga bisa menjadi lebih banyak bicara, sulit dihentikan, serta mulai menunjukkan perilaku impulsif seperti belanja berlebihan, mengambil keputusan besar secara mendadak, atau merasa sangat percaya diri secara tidak realistis. Dalam beberapa kasus, suasana hati yang tinggi ini disertai dengan iritabilitas, mudah tersinggung, dan kesulitan mengendalikan emosi.
Sementara itu, tanda-tanda awal episode depresif berkembang lebih perlahan dan sering disalahartikan sebagai kelelahan biasa. Gejalanya bisa berupa kehilangan minat atau kesenangan terhadap hal-hal yang sebelumnya disukai, perubahan pola tidur seperti insomnia atau tidur berlebihan, serta kelelahan mental dan fisik yang menetap.
Pasien mungkin juga mengalami kesulitan berkonsentrasi, perasaan bersalah atau tidak berharga, menarik diri dari lingkungan sosial, hingga munculnya pikiran tentang kematian atau keinginan untuk mengakhiri hidup. Karena kemunculannya yang samar, gejala-gejala ini sering baru dikenali setelah kondisinya memburuk.
Untuk mengenali gejala lebih dini, disarankan untuk menggunakan catatan suasana hati atau mood diary secara rutin, mencatat pola tidur, aktivitas harian, dan kejadian penting. Melibatkan orang terdekat juga sangat membantu, karena mereka bisa melihat perubahan yang mungkin tidak disadari oleh pasien sendiri.
Suara Jiwa, Suara Harapan
Gangguan bipolar bukanlah akhir dari segalanya. Dengan pemahaman, empati, terapi yang tepat, dan dukungan yang tulus, badai bisa diredam, dan warna jiwa tetap bisa bersinar. Untuk Anda yang sedang berjuang, atau mendampingi orang terkasih, percayalah bahwa harapan itu nyata, dan hidup tetap bisa dijalani dengan bermakna.
Tanamkan dalam diri, “Saya punya gangguan bipolar, tapi saya bukan gangguan bipolar”. Jika Anda butuh bantuan, jangan ragu untuk mencari pertolongan. Suara Anda layak didengar, dan keberadaan Anda sangat berarti. (Prof Dr dr Cokorda Bagus Jaya Lesmana, SpKJ(K), MARS)
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/tim