Kontradiksi Dampak Pandemi: Ekonomi atau Polusi?
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Kegentingan akibat pandemi telah menyita perhatian publik dan selalu menjadi topik hangat selama beberapa bulan terakhir. Ancaman krisis ekonomi, pengangguran, kemiskinan, dan indikator kesejahteraan lain seolah menjadi mimpi buruk yang selalu membayangi.
[pilihan-redaksi]
Pandemi membuka mata kita bahwa nampaknya ada yang keliru jika kita hanya menakar bahwa kesejahteraan hanya didasari indikator ekonomi. Apa kabar polusi dan emisi yang selama musim pandemi justru menurun drastis di beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Bogor? Bukankah ini pertanda bahwa kita harus membayar biaya yang cukup mahal untuk menikmati udara bersih tanpa polusi. Lantas, apa sebenarnya yang kita kejar dari pertumbuhan ekonomi?
Paradigma pembangunan berkelanjutan yang dihadiri oleh 120 kepala negara di Rio de Janeiro Brasil pada 20-22 Juni 2012 menjadi ujung tombak valuasi nilai ekonomi jasa lingkungan ke dalam konsep ekonomi ramah lingkungan. Meskipun bukan secara eksplisit diakibatkan oleh pandemi, sejatinya tidak berlebihan apabila situasi sekarang digunakan sebagai analogi biaya yang diperlukan untuk kondisi polusi seperti saat ini.
Berdasarkan World Meteorological Organization (WMO), selama masa pandemi Covid-19, emisi gas rumah kaca (GRK) mengalami penurunan hingga 6 persen seperti dikutip dari Liputan6.com. Fakta berikutnya dilansir dari kumparan.com tentang hasil kajian dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) melaporkan bahwa jenis polutan Nitrogen dioksida (NO2) mengalami penurununan sekitar 40 persen dibandingkan tahun 2019.
Fenomena ini disinyalir akibat menurunnya aktivitas ekonomi dan sosial di ibu kota selama masa pandemi yang berakibat pada penurunan emisi secara drastis. Tinjauan Big Data Dampak Covid-19 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik juga melaporkan bahwa peningkatan kualitas udara terjadi di Kawasan Bogor dan Surabaya. Pada bulan April, Kawasan Bogor mengalami peningkatan kualitas udara yang signifikan dibandingkan kondisi pada bulan Januari (dengan peningkatan kualitas mencapai 44,9 persen). Fenomena ini diduga akibat penerapan kebijakan pembatasan sosial dan penutupan kawasan wisata di daerah Bogor selama pandemi.
Di sisi lain, penanganan dampak pandemi telah menyebabkan target APBN mengalami defisit sebesar 6,34 persen hingga direvisi dua kali dengan Peraturan Presiden (Perpres) No 72 Tahun 2020 dari sebelumnya diatur dalam Perpres No 54 Tahun 2020. Dampak dari revisi tersebut mengakibatkan revisi pendapatan negara tahun 2020 dari yang awalnya ditargetkan 2.233,2 triliun rupiah menjadi 1.699,9 triliun rupiah.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, APBN merupakan salah satu instrumen untuk merespon kebutuhan yang terus membengkak akibat pandemi Covid-19 dan tanpa dapat diperkirakan kapan akan berakhir. Kebijakan ini merupakan kebijakan yang tidak biasa (extraordinary) yang diambil oleh pemerintah untuk memulihkan stabilitas perekonomian nasional dan penganggulangan kesehatan yang tidak dapat ditunda.
Dari total keseluruhan perkiraan anggaran belanja tersebut, sebanyak 695,2 triliun rupiah sudah direalisasikan untuk mendukung upaya penanganan pandemi di berbagai sektor yakni kesehatan, relaksasi pajak, insentif usaha mikro kecil dan menengah, serta berbagai skema perlindungan sosial.
Menyoal kedua fenomena yang terjadi di kala pandemi, seolah ada biaya yang tidak murah yang harus dikorbankan untuk mendapatkan salah satu diantara ekonomi dan polusi. Mesipun pandemi telah mengobrak-abrik pondasi perekonomian global di sisi lain kehadirannya mengundang minimalisir polusi. Ternyata trade off yang disyaratkan cukup mahal untuk melihat cerahnya langit Jakarta yang selalu mendung misalnya sebagai contoh.
Sebaliknya ada tuntutan hidup yang tidak hanya berhenti di kebutuhan udara bebas polusi. Roda perekonomian harus tetap berjalan. Ekonomi dan upaya pencegahan polusi harus berjalan ke titik keseimbangan. Konsep inilah yang dianjurkan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan atau sering dikenal dengan istilah ekonomi hijau. Kompensasi jasa lingkungan dalam menyediakan barang non ekonomis untuk pemenuhan kebutuhan dasar manusia harus diperhitungkan secara fair dan akuntabel.
Selama ini pemaknaan kesejahteraan hanya menakar capaian dari ekonomis. Barang bebas seperti udara, air, dan cuaca bukan berarti bebas dieksploitasi dengan alasan mengejar capaian kesejahteraan yang diukur dari capaian ekonomi. Momentum pandemi menjadi penting sebagai awal untuk refleksi ke arah mana pembangunan ekonomi akan dibawa nanti pada saat fase new normal life dimulai.
Glen Peters, peneliti dari Pusat Penelitian Iklim dan Lingkungan Internasional di Oslo Norwegia mencatat bahwa secara umum, emisi global pada 2020 diperkirakan turun sebesar 0,3 persen masih lebih rendah dibandingkan saat krisis 2008-2009 seperti dikutip dari BBC.com. Ada kemungkinan angka ini melambung lagi, tapi tidak akan sebesar dulu, jika usaha untuk mengembalikan perekonomian difokuskan pada sektor seperti energi terbarukan.
Saat ini mungkin seluruh negara di dunia sedang berusaha untuk mengupayakan mengembalikan stabilitas ekonomi dalam negeri masing-masing termasuk Indonesia. Pemulihan ekonomi nasional memang prioritas, namun sebaiknya laju emisi gas rumah kaca saat pemulihan ekonomi tetap diantisipasi dan tidak terlupakan. Jangan sampai akibat akselerasi ekspansi ekonomi yang bablas justru menjadi alasan eksploitasi lingkungan yang lepas kendali.
Indonesia masih menjadi salah satu anggota negara-negara masih berkomitmen untuk mencapai target pengurangan emisi hingga 29 persen dalam National Determined Contribution (NDC) di tahun 2030. Dengan demikian pembangunan berkelanjutan dan ekonomi hijau seyogyanya masih terus diupayakan.
Masa pandemi mengajarkan kita banyak hal tentang hidup berdampingan dengan lingkungan. Tidak ada yang menginginkan cara yang sporadis seperti ditunjukan pandemi mengorbankan semuanya termasuk nyawa manusia. Baiknya momen pandemi diambil sebagai refleksi arah pembangunan yang seimbang antara capaian ekonomi dan kualitas lingkungan hidup. Tidak harus dimulai dari hal-hal besar. Start small and start from now!
I Gede Heprin Prayasta
Mahasiswa Magister Ilmu Ekonomi
Universitas Udayana
Reporter: bbn/opn