Wajah Desa Mandiri Pasca Pandemi
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Pelaksanaan Festival Kebudayaan Desa-Desa Nusantara yang menjadi bagian dari Kongres Kebudayaan Desa pada Juni - Juli 2020 memberikan pekerjaan rumah yang menantang di tengah pandemi Covid-19.
[pilihan-redaksi]
Tantangan tersebut berkaitan dengan transformasi yang dialami oleh desa-desa di Indonesia dengan karakteristik dan kekayaan yang luar biasa. Desa-desa di nusantara telah memiliki pengalaman yang kaya dalam merespon perubahan, sekaligus juga berjuang menghadapi kekuatan supra-desa yang selalu berhasrat untuk menguasai.
Festival Kebudayaan Desa-Desa Nusantara dilakukan secara daring ini bertujuan untuk memberikan gambaran kondisi terkini pada 19 sub-kultur desa di Indonesia. Membaca kembali kehidupan-kehidupan di desa-desa sub-kultur, dengan demikian berarti merayakan warna-warni kebudayaan nusantara. Di tengah kompleksitas persentuhan budaya dunia, masyarakat harus terus menghidupkan serta menguatkan kebudayaan Indonesia.
Dalam panduan diskusinya, Festival Kebudayaan Desa-Desa Nusantara melihat bahwa kesadaran masyarakat untuk menjaga budaya lokal sekarang ini terbilang masih sangat minim. Masyarakat lebih memilih budaya asing yang lebih praktis dan sesuai dengan perkembangan zaman. Budaya lokal juga dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman, selagi tidak meninggalkan ciri khas dari budaya aslinya.
Kurangnya pembelajaran budaya merupakan salah satu sebab dari memudarnya budaya lokal bagi generasi muda. Oleh karena itu, pembelajaran tentang budaya, harus ditanamkan sejak dini. Namun sekarang ini banyak yang sudah tidak menganggap penting mempelajari budaya lokal. Hal ini dibuktikan dengan dalam setiap rencana pembangunan pemerintah, bidang sosial budaya masih mendapat porsi yang sangat minim.
Padahal melalui pembelajaran budaya, kita dapat mengetahui pentingnya budaya lokal dalam membangun budaya bangsa serta bagaimana cara mengadaptasikan budaya lokal di tengah perkembangan zaman yaitu era globalisasi (Sedyawati, 2006: 28; ToR Festival Kebudayaan Desa-Desa Nusantara, 2020).
Kondisi yang ambigu ini tidak hanya dialami oleh desa, tetapi juga keseluruhan negara bangsa yang bergerak menuju perubahan. Oleh sebab itulah, sangatlah diperlukan usaha-usaha untuk memikirkan dan sekaligus merumuskan berbagai kompleksitas kebangsaan tersebut dengan perspektif dari desa. Kongres Kebudayaan Desa adalah upaya untuk merumuskan kembali tatanan Indonesia baru dari desa, sedangkan Festival Kebudayaan Desa-Desa Nusantara adalah bagian dari perayaan kebudayaan, perayaan nusantara.
Cengkraman dan Perubahan
Desa dengan wilayah dan seluruh sumber daya yang dimililikinya memiliki sejarah panjang pencengkraman yang dilakukan oleh kekuasaan. Pada masa Orde Baru, dalam bingkai birokratisasi negara, terjadi pergeseran makna pamong desa dari pamong yang populis menjadi perangkat desa yang birokratis dan tidak lagi berakar dan berpihak kepada masyarakat. Pamong menjadi tangan-tangan negara yang membebani dan mengendalikan masyarakat.
Desa kemudian berubah menjadi sekadar kepanjangan tangan negara, dan bukan lagi tempat bagi warga untuk membangun komunitas bersama. Di sini desa tidak lagi local-self-government, tetapi sekadar sebagai local-state government. Kepala desa tidak lagi sebagai “pamong desa”, tetapi berubah menjadi “fungsionaris negara” (aparatur negara) karena tidak lagi menjadi pengayom atau pemimpin masyarakat desa karena lebih banyak menjalankan tugas negara (Dwipayana dan Sutoro Eko 2003: 5; Cahyono, 2012: 352).
Pada sisi lain, modernisasi dan pembangunan ekonomi yang telah mulai diperkenalkan ke perdesaan semasa Orde Baru telah membuka perubahan bagi desa, termasuk peluang dan kesempatan bagi lahirnya patron-patron baru di tingkat lokal, di antaranya ialah patron-patron di luar desa (supra village patron). Modernisasi juga memengaruhi orientasi masyarakat desa dari komunalistik menjadi individualistik dan materialistik.
Hal itu mengubah secara fundamental karakter dari hubungan patrimonial dan hierarkis oleh pertimbangan “kebaikan hati”, proteksi, dan “tuntunan moral” dari patron terhadap client-nya, menjadi hubungan yang lebih rasional atas dasar kalkulasi ekonomi untung-rugi. Namun, terjadinya “rasionalisme” dalam pemikiran masyarakat desa tersebut tidak berarti bahwa hal-hal yang bernuansa “tradisi” dan “perasaan” sama sekali ditinggalkan oleh warga desa (Sayogyo dan Pudjiwati 2002: 24: Cahyono, 2012: 358).
Demokratisasi di perdesaan merupakan kekuatan baru untuk “melawan” praktik-praktik otoritarianisme dan dominasi yang dilakukan oleh elite desa. Sasaran utama demokratisasi desa adalah membuat penyelenggaraan pemerintah desa lebih akuntabel, responsif, dan terlegitimasi; membuat parlemen desa bekerja sebagai institusi perwakilan dan intermediary (artikulasi, agregasi, formulasi kebijakan, dan kontrol); serta memperkuat partisipasi masyarakat terhadap proses pemerintahan dan pembangunan desa. Partisipasi juga berbicara tentang keterlibatan kelompok-kelompok marginal, terutama kaum miskin, yang selama ini terpinggirkan oleh proses politik yang elitis (Tim Lapera 2000: 153; Blair 1998: 21; Cahyono, 2012: 352).
Perubahan yang melaju kencang terjadi di perdesaan, salah satu faktor pentingnya adalah dampak industrialisasi pesat yang terjadi di daerah perkotaan yang berpengaruh kepada daerah perdesaan. Daya Tarik industri atas angkatan kerja di daerah perdesaan mengakibatkan kekurangan tenaga kerja di sector pertanian. Hal ini menyebabkan pemecahan yang layak untuk diambil adalah mekanisasi pertanian.
Tentu saja hal ini berdampak luar biasa. Rasionalisasi, mekanisasi, dan komersialisasi sector pertanian berkembang dengan cepat dan menghasilkan produk pertanian ke seluruh dunia. Petani-petani dan perilakunya dalam usaha taninya dirubah dan diserasikan dengan proses industrialisasi yang berlangsung.
Tjondronegoro (2008) melihat perubahan desa dari narasi kehidupan petani gurem yang serba kekurangan. Merekalah petani gurem yang masih mengharapkan perlindungan dari petani-petani kaya. Hal ini mengakibatkan hubungan patron-klien tidak mudah dirubah. Ketergantungan kedua golongan tersebut masih berlangsung karena juga redistribusi tanah dan pengusaannya belum berhasil. Kemandirian petani tergantung dari asset yang dimiliki atau dikuasainya.
Petani pada umumnya adalah mahluk rasional, tetapi bagi petani gurem pertimbangan-pertimbangan rasional dipengaruhi oleh serba kekurangan asset dan modal. Yang dimilikinya adalah tenaga kerja, itu merupakan modal utama, akan tetapi karena modal tersebut dalam keadaan melimpah, petani menghadapi kesulitan memasarka tenaga kerjanya sendiri. Ia tawarkan dan jual tenaga kerjanya dengan harga murah, bahkan kadang-kadang di bawah garis kemiskinan, sehingga ia meninggalkan kesan pada kita “mengeksploitasi dirinya”.
Dalam keadaan melarat, petani gurem berbagi kemiskinan, tukar-menukar tenaga kerja dan bergotong royong yang menjadi lembaga jaminan dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya, karena ia tahu bahwa ia tak akan dapat memenuhinya dengan usahanya sendiri. Karena itu, solidaritas mencirikan golongan petani gurem selama serba kekurangan asset dan modal, tetapi belum pasti lembaga seperti ini bertahan apabila kebutuhan seperti itu sudah mulai terpenuhi.
Jika mengimajinasikan desa yang mandiri, salah satu actor yang mesti dilihat adalah para petani dengan kompleksitas permasalahannya. Menggerakkan petani, berarti menumbuhkan dahulu keyakinan dan keinginan pada dirinya. Bukan sekadar menyodorkan teknologi baru, karena belum pasti teknologi baru itu sudah benar-benar layak dan menguntungkan bagi si petani gurem.
Semakin lama semakin dihayati bahwa pendekatan massal tidak selalu efektif, malah pendekatan melalui kelompok kecil lebih cepat dan efektif. Kelompok kecil di kalangan masyarakat petani kecil memang memiliki potensi dan daya hidup yang bersifat demokratis dan sederhana. Orang ingin dihargai juga sebagai pribadi dan hal ini lebih mudah dapat dicapai dalam kelompok kecil. Juga soal kendali social sering dalam kelompok kecil lebih efektif (Tjondronegoro, 2008: 8 - 13).
Pandemi Covid-19 ini menjadi momentum arus balik memikirkan peradaban desa masa depan desa yang mandiri dan bermartabat. Imajinasi desa yang mandiri pasca pandemi berkelidan dengan titik nadir peradaban kapitalisme global dengan jargon new-normal-nya. Desa menjadi ladang eksploitasi pembangunan yang merusak tatanan kehidupan desa.
Pandemi Covid-19 ini sebenarnya bisa menjadi momentum menjadikan kerentanan desa sebagai peluang untuk perbaikan. Mengubah kerentanan desa berarti juga menyelematkan kota. Perubahan peradaban di desa memerlukan transformasi di perkotaan dan relasi yang setara dan saling menguatkan (presentasi Melani Budianta, Arus Bali: Membangun Peradaban Desa Masa Depan, 2020).
Penulis
I Ngurah Suryawan
Antropolog dan Dosen Ilmu Pemerintahan, Universitas Warmadewa, Bali
Reporter: bbn/opn