Politik Adat Bali yang Eksklusif
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Webinar malam minggu, 1 Agustus 2020, Kelompok Belajar Bersama (KBB) Fakultas Hukum, Universitas Udayana menghadirkan tema yang menarik, “Mendudukkan Desa Adat dalam Penanganan Pandemi Covid-19 di Bali”. Dalam situasi krisis, komunitas desa adat di Bali, betul-betul menjadi tulang punggung pemerintah dalam penanggulangan pandemi ini.
[pilihan-redaksi]
Berbagai kebijakan lahir dengan dalih untuk “memberdayakan” desa adat seluruh Bali yang secara langsung berada di garis depan pandemi, selain tentunya para dokter dan tenaga medis.
Pelibatan desa adat dalam penangangan pandemi mendapatkan sambutan dan pujian presiden. Inilah salah satu contoh aktifnya komunitas (adat) yang berkontribusi dalam pengendalian pandemi. Namun, seluruh “panduan” kontribusi tersebut telah dirancang oleh negara (pemerintah provinsi Bali) dengan berbagai kebijakannya yang menjadikan desa adat sebagai obyek untuk “penyelenggara” di lapangan. Negara bertindak sebagai raja yang menata (negara mawatata) di tengah kompleksitas desa adat (desa mawacara).
Jika kita melacak lebih dalam, relasi negara dan desa adat di Bali penuh dengan ketegangan dan pasang surut. Namun, sebagai umumnya relasi berlangsung, ia tidak pernah lepas dari ketimpangan dan berbagai macam kepentingan untuk menguasai. Relasi harmonis mungkin akan terlihat di depan pentas, namun dibaliknya intrik dan kepentingan menjadi Hasrat yang tidak terelakkan pasti terjadi. Saya memaknai sangat politis, tidak naif melihatnya harmonis atau bahkan pelibatan ataupun pemberdayaan yang tulus ikhlas.
Konstruksi pemerintah kolonial Belanda tidak bisa dilepaskan dalam konteks ini. Pemerintah colonial Belanda pada tahun 1930-an sudah mengintroduksi perbedaan antara pemerintah dinas dan pemerintah adat di tingkat desa. Introduksi dan pengaturan ini dimaksudkan untuk memelihara agama dan kebudayaan (adat) Bali dalam sebuah negara otentik.
Sementara dinas adalah institusi administrasi modern yang dikonstruksi pemerintah kolonial Belanda untuk tetap menancapkan kekuasaannya di desa-desa Bali. Pemisahan adat dan dinas ini terus berlangsung hingga Orde Baru, ketika negara melakukan kooptasi yang menguasai desa, dimana desa adat betul-betul ditundukkan oleh negara.
Pasca reformasi 1998 dan UU No.22/1999 tentang desentralisasi menjadi angin segar untuk mengkonstruksi kembali relasi negara dengan desa, terkhusus desa adat dengan desa dinas. Inilah momentum yang sangat penting dimana dinamika yang kencang terjadi dari euphoria kebangkitan adat di Indonesia pasca reformasi. Perda No. 3/2001 mengeluarkan sebuah peraturan mengenai desa adat yang mencerminkan keprihatinan orang-orang Bali kelas menengah perkotaan, yang percaya bahwa kebudayaan Bali harus dilindungi dari sifat-sifat jahat globalisasi.
Kebudayaan Bali di mata orang-orang Bali kelas menengah perkotaan berakar di desa, dan desa didasarkan pada adat, maka adat dianggap sebagai batu pondasi kebudayaan Bali. Perda tersebut banyak dikritik karena didasarkan pada ide-ide kolonial Belanda mengenai sifat otonom dan republic dari desa Bali mencerminkan keinginan romantis akan otentisitas kultural (Nordholt, 2014:520-522; Warren, 2004).
Eksklusif
Politik adat membuatnya tidak terlepas dari medan kekuasaan. Pengalaman kooptasi desa adat oleh berbagai otoritas supra-desa menunjukkan desa adat sebenarnya bisa “berpolitik” dengan modal social budaya yang dimilikinya. Membincangkan desa adat sebagai medan kekuasaan, desa adat sebenarnya telah berpolitik dan “dipolitiki”.
Desa adat berpolitik ketika desa adat berperan sebagai subyek (actor, agency) politik dalam pertarungan kekuasaan dengan individu maupun entitas supra-lokal. Sedangkan desa adat dipolitiki terjadi ketika desa adat menjadi medan penaklukan kekuatan politik lokal dan supra-lokal.
Politik suryak siyu sangat gamblang terjadi pada masa Orde Baru, salah satunya dengan mengkontruksi kebijakan memasukkan negara ke desa. Politik memasukkan negara ke desa dilakukan melalui stratagi korporatisme negara. Dalam strategi ini, semua kelembagaan social-politik di tingkat desa dikendalikan melalui jaringan birokrasi desa (Dwipayana, 2004: 54-56). Ruang-ruang demokrasi local yang ada di desa adat disumbat dengan berbagai instrumen.
Yang terjadi kemudian adalah penyeragaman dimana cengkraman otoritas negara, tanpa disadari, merasuk dengan mempengaruhi ekspresi desa adat, dan yang terpenting adalah cara berpikir dan perilaku orang Bali di desa adat.
Mengajukan desa adat untuk “berpolitik” pasti akan menghadapi berbagai tantangan. Salah satu tantangan terbesarnya adalah mengkonstruksi kesadaran orang Bali di desa adat untuk “merdeka”. Kemerdekaan untuk berekspresi ini sangatlah penting. Desa adat bisa menjadi oposisi dan penyeimbang bagi kekuasaan negara. Politik komunitas desa adat memang bisa menjadi pedang bermata dua.
Desa adat bisa menjadi kekuatan yang militan dengan menjadi penjaga kuasa negara atau justru terfragmentasi. Jebakan paling menantang sudah tentu adalah mengatasi para elit desa adat yang sering berselancar untuk meraih kuasa ekonomi politik. Saya beranjak dari argumen Tania Li (2010: 405) yang melihat implikasi adat menjadi sebuah alat etnoteritorialisasi dan resiko manipulasi elit terhadap adat untuk tujuan politik.
Hanley dan Davidson (2007) juga berargumen bahwa kompleksitas kebangkitan politik adat selalu membayang namun penuh dengan adaptasi modernitas. “Menggunakan cara-cara modern untuk menjadi tradisional” ditengarai menjiwai gerakan-gerakan kebangkitan masyarakat adat selama ini.
Saya juga melihat sentimen etnopolitik dan etnoteritorialisme tersebut rentan terperangkap pada eksklusifisme kebudayaan dan agama Bali. Kesatuan etnis itulah pada gilirannya didasarkan pada agama. Kebudayaan Bali semakin kental dipresentasikan sebagai eksklusif Hindu. Perspektif ini tentunya menghadapi tantangan di tengah globalisme Bali yang diangkut oleh pariwisata dan kapitalisme global.
I Ngurah Suryawan
Antropolog dan Dosen Ilmu Pemerintahan, Universitas Warmadewa, Bali
Reporter: bbn/opn