search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Bukan Air Kemasan, Data Ungkap Sachet Jadi Masalah Utama Sampah Plastik di Bali
Sabtu, 5 Juli 2025, 21:46 WITA Follow
image

bbn/dok beritabali/ilustrasi/Bukan Air Kemasan, Data Ungkap Sachet Jadi Masalah Utama Sampah Plastik di Bali.

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Larangan produksi dan distribusi air kemasan di bawah satu liter oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali menuai sorotan. 
Pasalnya, data terbaru menunjukkan jenis sampah plastik terbanyak di Bali bukan berasal dari botol PET, melainkan dari sachet dan kantong plastik yang justru belum tersentuh regulasi.

Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (SIPSN KLHK) 2024, sebanyak 68,82 persen sampah di Bali merupakan limbah organik, sementara 31,18 persen sisanya adalah sampah anorganik. Dari total anorganik tersebut, 13,64 persen di antaranya berupa sampah plastik.

Audit sampah yang dilakukan Sungai Watch di tahun yang sama mencatat komposisi sampah plastik di Bali terdiri dari 16,2 persen plastik bening, 15,2 persen kantong plastik, 5,5 persen sachet, dan hanya 4,4 persen botol PET.

Mantan anggota DPRD Bali, Anak Agung Susruta Ngurah Putra menilai, pelarangan air kemasan di bawah satu liter tidak akan menyentuh akar persoalan sampah plastik di Pulau Dewata.

"Sebenarnya yang jadi masalah bukan plastik tetapi manusianya. Orang yang tidak disiplin di dalam hal membuat sampah," katanya.

AA Susruta menyebut tugas pemerintah adalah memastikan masyarakat disiplin membuang sampah plastik di tempat yang benar, bukan melarang produk yang justru menghidupi banyak pihak dari industri hingga daur ulang.

Di satu sisi, ia tetap mendukung upaya Pemprov Bali mengurangi sampah plastik, namun menurutnya larangan air kemasan hanya menjadi kebijakan simbolik yang tidak berbasis data.

"Jadi mari kita bergerak ke solusi yang lebih sistemik yakni mengelola bukan melarang dan memberdayakan bukan menghapus," katanya.

Lebih jauh, kebijakan ini dinilai berpotensi melemahkan ekonomi sirkular yang kini tengah berkembang. Selain itu, berisiko meningkatkan kerentanan sosial bagi pemulung dan pekerja pabrik daur ulang, menurunkan kenyamanan wisatawan, serta gagal menyasar jenis sampah plastik paling merusak yakni sachet.

Koordinator Program Sensus Sampah Plastik BRUIN, Muhamad Kholid Basyaiban menegaskan bahwa sachet termasuk limbah residu yang sangat sulit didaur ulang. Hasil brand audit BRUIN pada April 2024 menunjukkan kemasan sachet sangat dominan di Bali, bersama limbah unbranded seperti kantong kresek dan styrofoam.

"Kalau ngomongin sachet waktu kami melakukan brand audit sampah di Bali itu juga dominan. Sampah-sampah ini nggak bisa didaur ulang juga. Mereka ini sampah-sampah residu," tegas Kholid.

Meski mendukung Surat Edaran (SE) Gubernur Bali soal pengurangan limbah plastik sekali pakai, Kholid menyayangkan langkah diskriminatif yang tidak menyertakan pelarangan distribusi sachet.

"Justru sampah sachet yang tidak memiliki nilai ekonomi dan tidak bisa didaur ulang sama sekali tidak ada larangan bagi produsen untuk menjual dan mendistribusikan produknya di Bali," katanya.

Sementara itu, Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) menegaskan, botol air kemasan di bawah satu liter merupakan material yang paling dicari oleh industri daur ulang plastik. Pelarangan distribusi air kemasan dinilai sangat merugikan pelaku usaha daur ulang di Bali.

"Ada kekhawatiran masyarakat tidak bisa melakukan usaha daur ulang dari mengumpulkan, memilah, dan lainnya. Akibatnya, akan ada penurunan produksi karena bahan sulit didapat, dan pemulung susah," kata Sekretaris Jenderal ADUPI, Eddie Supriyanto.

Padahal, berdasarkan data SWI (Sustainable Waste Indonesia) dan IPR (Indonesian Plastic Recyclers), kontribusi daur ulang plastik terhadap produksi resin plastik nasional mencapai 19 persen, dengan nilai ekonomi dari pengumpulan hingga proses daur ulang setidaknya menyentuh Rp 19 triliun per tahun.

Editor: Redaksi

Reporter: bbn/tim



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami