search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Reorganisasi Ruang di Masa Pandemi
Minggu, 16 Agustus 2020, 21:05 WITA Follow
image

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Festival Nusa Penida (FNP) pertama diadakan pada tahun 2014. Sejak saat itulah booming pariwisata di Gumi Nusa menyiapkan dirinya. Praktis sejak tahun 2015, Gumi Nusa menggeliat. Nusa Penida mulai menyaingi bahkan melampaui Nusa Lembongan. 

[pilihan-redaksi]
Namun apa lacur, belum genap tujuh tahun euphoria itu berlangsung, sejak Maret 2020, dunia terpapar pandemi Covid-19. Seluruh konstelasi dunia berubah, apalagi “hanya” pariwisata. Dunia bersiaga penuh menangkal wabah yang disebut Gering Agung Covid-19 di Bali. Tidak terkecuali gugusan pulau kecil bernama Nusa Penida, Lembongan, dan Ceningan. 

Euphoria yang terhenti itu sungguh menyesakkan. Taruhan besar untuk menggantungkan hidup terhadap pariwisata harus dibayar mahal. Perubahan lingkungan dengan pembangunan infrastuktur home stay, bungalow, restaurant, dan toko-toko kelontong menjamur. Resikonya, hutang cicilan kredit di bank dan LPD tidak dapat ditunda. 

Sementara wabah belum terlihat akan berakhir. Sebagai sebuah perbandingan, seorang pengusaha home stay di Ubud Gianyar hanya kuat bertahan hingga Juni. Setelahnya, jika pandemi tidak berakhir, ia terpaksa akan melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) terhadap para karyawannya. 

Menyeruaknya bisnis pariwisata di Nusa Penida meninggalkan situasi kegetiran masa pandemi. Jika sebelumnya Serawan (2020) melukiskan bahwa rompok-rompok sebagai ruang agraris sudah disulap menjadi bungalow dan restaurant sebagai bukti kemajuan, kini, momen kemajuan (pariwisata) tersebut sepi litig, sunyi senyap. Namun, nasi sudah menjadi bubur, ruang-ruang agraris telah tergerus. Harapannya tinggal pada pariwisata. 

Saat pariwisata sekarat seperti sekarang, kemana lagi harapan masyarakat Nusa? Apakah masyarakat Nusa Penida kembali ke pertanian atau perkebunan? Memang wilayah pegunungan belum begitu massif terjamah perubahan infrastruktur pariwisata. Sektor lain jauh berubah kini. 

Pada saat inilah situasi yang tepat untuk mengerem laju pariwisata yang kebablasan, sembari juga menyiapkan sektor lainnya sebagai penyeimbang. Sebagai wilayah pesisir yang dinamis dan mengalami boom pariwisata, kepulauan Nusa Penida memerlukan kebijakan plus pelaksanaan yang ketat terkait dengan tata ruang dan pengelolaan pulau pesisir secara komprehensif. Hanya dengan itulah Nusa Penida bisa menjadi contoh wilayah pesisir yang kuat, kokoh, dan mandiri dalam perkembangannya. 

Reorganisasi Ruang
 
Narasi yang disampaikan oleh Serawan (2020) tentang transformasi ruang di Nusa Penida sangat menarik. Nusa Penida pernah mengalami masa kejayaan saat rumput laut menjadi primadona. Ruang yang dijadikan sebagai basis aktivitas itulah yang disebut rompok-rompok (rumah sangat sederhana untuk mendukung aktivitas pertanian rumput laut maupun perkebunan) sebagai simbol kejayaan agraris. 

Namun, nasibnya kini hanya menjadi kenangan para tetua. Rompok-rompok kini terlindas menjadi penginapan seperti hotel, hostel, cottage, villa dan lain sebagainya. Serawan (2020) melanjutkan bahwa ekspansi di daerah pesisir tampak sangat agresif. Hampir tidak ada sisa rompok-rompok berdiri di sepanjang pesisir pantai utara Nusa Penida. 

Berbeda dengan tahun 80-an hingga tahun 200-an, rompok-rompok berjejer memenuhi lekuk garis pesisir pantai. Bangunan dengan dinding bedeg dan atap daun kelapa ini sangat mendominasi. Awalnya, deretan bangunan ini didominasi oleh rompok-rompok nelayan. Namun, ketika budidaya rumput laut meroket, rompok nelayan seolah-olah tenggelam. Diganti dengan, rompok-rompok petani rumput laut bak jamur di musim hujan. 

Jika kita melihat apa yang terjadi di Nusa Penida, Rachman (2015: 41-42) menyebutkan bahwa ekspansi sistem produksi kapitalis (pariwisata) memerlukan reorganisasi ruang (spatial reorganization) yang khusus agar produksi yang bercorak kapitalistik bisa meluas secara geografis (geographic expansion). Istilah yang dimaksudkan di sini lebih luas maknanya dari istilah yang disebut oleh pemerintah sebagai “penataan ruang”. 

Ruang dalam “reorganisasi ruang” ini yang dimaksud adalah: pertama, ruang imajinasi dan penggambaran, termasuk perancangan teknokratik yang diistilahkan master plan dan grand design. Kedua, ruang material dimana kita hidup; ketiga, praktik-praktik keruangan dari berbagai pihak dalam membuat ruang, memanfaatkan ruang, memodifikasi ruang, dan melenyapkan ruang, dalam rangka berbagai upaya memenuhi berbagai keperluan, termasuk mereka yang berada dalam posisi sebagai bagian negara, atau korporasi, atau rakyat. 

Reorganisasi ruang dilakukan secara terus-menerus oleh perusahaan-perusahaan terutama bahkan masyarakat yang menjadi “kapitalis kecil” untuk terus melipatgandakan keuntungan dan menghindari kerugian. Keuntungan itu pada dasarnya diperoleh dari privatisasi tanah dan sumber daya alam, pemisahan antara penghasil dan pemilik barang yang dihasilkan, dan eksploitasi tenaga kerja untuk menghasilkan barang dagangan yang bernilai tambah.  

I Ngurah Suryawan 
Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan, Universitas Warmadewa, Bali. 
Peneliti di Warmadewa Research Centre (WaRC). 

Reporter: bbn/opn



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami