search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Krisis Ekologis di Balik Ekowisata?
Minggu, 23 Agustus 2020, 21:00 WITA Follow
image

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Usaha membangkitkan pariwisata Bali terus mendapatkan perhatian utama negara. Normalisasi baru memberikan perhatian yang besar untuk penerapan protokol kesehatan dalam pembukaan destinasi wisata. 

Program Bali Bangkit seolah-olah hanya berbicara tentang kebangkitan pariwisata. Tidak lebih. Pada momentum inilah muncul berbagai terobosan dengan menetapkan desa-desa wisata. Terbaru, empat desa wisata yang dominan mengandalkan potensi wisata alam (ekowisata) dan satu kelurahan di Kabupaten Gianyar ditetapkan menjadi desa wisata berdasarkan SK Bupati Nomor 762/E-02/HK/2020 tentang Penetapan Desa Wisata di Kabupaten Gianyar. Desa tersebut adalah Desa Manukaya, Desa Tampaksiring, Desa Sayan, Desa Bedulu dan Kelurahan Beng. Potensi lingkungan menjadi modal untuk menjadikan suatu desa menjadi Desa wisata

Hampir seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Bali mengembangkan desa-desa wisata sebagai alternatif dari pariwisata massal, investasi besar, dan gemerlap. Namun kini, pengembangan desa-desa wisata lebih ekspansif. Negara melalui pemerintah kabupaten memberikan legitimasi melalui Surat Keputusan (SK). 

Selain berhubungan dengan anggaran negara, status desa juga diverifikasi melalui legitimasi dari kalangan akademisi dan praktisi pariwisata. Arah pengembangan pariwisata Bali kini seolah-olah dicitrakan partisipatif, ramah lingkungan, dan berbasis sumber daya alam lokal, sehingga menguntungkan komunitas tempatan. 

Namun, arah yang seolah-olah menjanjikan tersebut berada dalam konteks pengembangan pariwisata nasional dan global yang tidak betul-betul menjanjikan. Ekowisata dianggap sebagai alternatif dari kebijakan pembangunan yang ekstratif atas sumber daya alam. Asumsi dasarnya adalah ramah dan melestarikan alam.    
        
Dalam konteks nasional misalnya, sebelum dihantam pandemi Covid-19, sektor pariwisata menjadi angin segar karena tren postif yang ditunjukan dari pendapatan devisa negara. Sebanyak 11.166,3 juta US$ didapatkan, dengan menempatkan komoditas pariwisata pada poisisi ke empat dalam perolehan devisa negara di bawah komoditas minyak dan gas bumi, batu bara, dan minyak kelapa sawit (Kemenpar 2015). 

Mengacu kepada data ini, Presiden Jokowi langsung menyambutnya dengan rencana ingin menciptakan “10 Bali Baru”. Bali dianggap sebagai trade mark wisata Indonesia yang paling unggul. Bali-bali baru tersebut mencakup wilayah Danau Toba (Sumatera Utara), Borobudur (Jawa Tengah), Bromo-Tengger-Semeru (Jawa Timur), Tanjung Lesung (Banten), Kepulauan Seribu (Jakarta), Tanjung Kelayang (Bangka- Belitung), Mandalika (NTB), Wakatobi (Sulawesi Tenggara), Komodo (NTT), dan Pulau Marotai (Maluku Utara). 

Destinasi tersebut merupakan 10 dari 88 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) yang mempunyai karakteristik yang khas masing-masing dan mempunyai prospek tinggi untuk menjadi Bali-Bali lainnya. Ke sepuluh destinasi tersebut merupakan prioritas pengembangan kawasan pariwisata nasional, dengan lindungan Badan Otoritas Pariwisata (BOP) yang ditunjuk langsung melalui Peraturan Presiden.

Kementrian Pariwisata (2016) memberikan empat argumen yang mendasari pentingnya KSPN dijalankan. Pertama, KSPN adalah bagian dari Program Prioritas Nawacita. Kedua, sebagai sumber devisa non-ekstratif Sumber Daya Alam (SDA). Ketiga, potensi investasi untuk peningkatan ekonomi nasional yang belum maksimal. Keempat, sebagai upaya mendongkrak “politik” daya saing Indonesia di pentas global. 

Ancaman Krisis Ekologis

Gincu ramah lingkungan dan partisipatif dari desa wisata ataupun ekowisata ternyata berkubang dalam situasi krisis ekologis yang memprihatinkan di wilayah perdesaan. Analisis yang dilakukan oleh Agusta dan Soetarto (2012) dengan menggunakan data BPS menunjukkan bahwa terjadi penurunan tajam desa-desa produktif pangan (persawahan) menjadi desa-desa perkebunan dan pertambangan. Temuan ini menjadi gejala penanda dasar dari massifnya sektor perkebunan dan pertambangan merampas wilayah desa-desa, terutama di wilayah luar Pulau Jawa. 

Analisis yang diungkapkan oleh dua akademisi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) ini semakin menguatkan semakin massifnya konversi lahan produktif di perdesaan. Guremisasi petani juga semakin tinggi akibat ekspansi pembangunan berbasis infrastruktur, ekspansi industri ekstraktif, pengembangan perkebunan dan kehutanan skala luas, dan kebijakan konservasi dan ekowisata yang mengabaikan ruang hidup masyarakat di kawasan perdesaan. Kini, kemungkinan itu semakin massif. 

Salah satu hal mendasar yang menjadi sebabnya adalah orientasi pembangunan kepada pertumbuhan ekonomi yang melayani kepentingan pasar global. Perspektif pembangunan ini tentu saja mengabaikan tiga prinsip utama pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan yaitu: pertama, keselamatan rakyat; kedua, keberlanjutan layanan alam; ketiga, produktifitas rakyat perdesaan. 

Akibat dari pengingkaran ini adalah terjadi kerusakan krisis social-ekologis yang ditandai dengan konflik agrarian justru di sumber-sumber kekayaan alam di perdesaan. Situasi seturut yang terjadi kemudian adalah menajamnya beragam ketimpangan struktur agraria (penguasaan, kepemilikan, distribusi, dan akses) atas sumber-sumber agraria dan meningkatnya kerusakan lingkungan di wilayah perdesaan (Cahyono, 2017). 

Persoalan yang sangat pelik di wilayah perdesaan adalah perampasan ruang hidup baik land grabing maupun green grabbing. Land grabbing maupun green grabbing berfungsi besar bagi perubahan fungsi dan ruang kawasan perdesaan dari peruntukan ekonomi produktif berbasis lokal dengan pengembangan ekonomi pasar global dengan modal besar.

Dalam konteks global, percepatan produksi, konsumsi dan distribusi ekonomi negara-negara maju telah memicu reorganisasi ruang kapital. Situasi ini memaksa negara-negara berkembang untuk melayani dan mengikuti ritme kebutuhan ekonomi global dengan cara pengerukan sumberdaya alam dan finansialisasi alam. Satu proses ekonomistik yang mengkomodifikasi seluruh kekayaan alam sebagaimana barang dagangan biasa.   

Kita juga menyaksikan situasi yang terus berubah, yang berkaitan dengan urbanisasi berbasis industri pariwisata di daerah perdesaan, maupun di pulau-pulau kecil seantero nusantara. Konteks Bali, Segitiga Nusa Penida, Nusa Lembongan, dan Nusa Ceningan menjadi contohnya.          


I Ngurah Suryawan
Antropolog dan Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan, Universitas Warmadewa 

Reporter: bbn/opn



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami